Sentuhan Doa Ibu

0
61

Sholawat jibril mengalun pelan dari toa masjid yang tak jauh dari rumah. Cuping telingaku tergelitik, ada geliat rasa yang menenangkan saat mendengar sholawat itu timbul tenggelam tersapu rinai hujan.

Aku yang tengah merebahkan diri di depan televisi sontak mengalihkan perhatian pada suara dari toa masjid. Entah ada acara apa, tak biasanya masjid mengalunkan sholawat.

“Loh, Neisha, kok belum siap-siap juga. Ini sudah malam, Nak. Acaranya sebentar lagi dimulai,” kata Ibu yang tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh. Salah satu tangan Ibu membenarkan letak baju di badannya, sementara tangan lainnya memegang payung panjang.

“Siap-siap ke mana, Bu? Acara apa?”

“Kamu itu gimana, sih? Itu loh acara pengajian rutin sebulan sekali di masjid. Ayo ikut.”

“Emm, enggak, ah, Bu. Aku di rumah aja. Capek banget ini, lagian hujan juga. Kenapa Ibu maksain buat berangkat, sih? Nanti kalo masuk angin gimana?”

“Pengajiannya, kan, cuma sebulan sekali, iya kalo bulan depan kita masih ada umur, kalo enggak? Ya udah, Ibu berangkat, tapi kamu jangan lupa salat. Dari tadi di situ terus sampe belum salat Isya’, kan?”

Aku nyengir kuda sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Lalu, kujawab ‘iya’ kepada Ibu.

Wanita yang melahirkanku dua puluh tiga tahun lalu itu menutup pintu setelah tadi mengulangi permintaannya agar tak lalai salat. Pelan Ibu menutup pintu hingga tak terdengar suara berdebum.

Mataku kembali menatap televisi layar datar yang menggantung pada dinding tepat di hadapanku. Namun, alih-alih fokus dengan tayangan televisi, pikiranku justru teringat akan ucapan Ibu tadi.

“Benar juga, ya,” gumamku. “Iya kalo ada umur panjang. Kalo enggak?”

Perkataan itu terus berputar dalam pikiranku. Menciptakan pusaran risau yang mulai menggerogoti perasaanku. Bagaimana jika aku meninggal besok?

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Tidak, tidak! Apa yang sudah aku persiapkan jika ajal itu datang esok hari?

Mulutku mendesah pelan seiring turunnya telapak tangan dari mulutku. Aku mendongak dengan mata melihat ke atas. Bukan menatap langit-langit rumah yang berhias lampu gantung kecil, tapi menatap lorong kecil, gelap, dan panjang yang berujung pada kejadian tadi siang.

*****

Jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul 12.25 WIB dan aku masih berkutat dengan berkas-berkas yang harus selesai tepat pukul 14.00 nanti. Kata atasan tadi ini adalah berkas penting yang tak boleh telat pengerjaannya.

Perutku sudah melilit meminta untuk diisi. Aku biasanya tak pernah lupa sarapan, tapi karena bangun kesiangan membuatku tak sempat melakukannya.

Fokusku mulai terganggu. Beberapa kali ketik salah terus. Kuputuskan untuk cari makan terlebih dahulu.

Makanan pinggir jalan menjadi tujuanku. Aku memesan seporsi ketoprak dan es teh manis. Berkali-kali aku mengecek jam mungil warna gold yang melingkar di pergelangan tanganku. Sebentar lagi jam masuk kerja. Aku terbayang-bayang berkas yang menumpuk di sudut meja.

Mataku memindai sekeliling, tempat duduk belum tersedia. Apa sempat aku menunggu mereka selesai makan?

“Mbak, ini pesanannya.”

Aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Karena tempatnya masih penuh aku putuskan untuk menyantapnya sambil berdiri.

Baru dua kali menyantap ketoprak, aku dikagetkan oleh tepukan di bahuku. Sontak aku menengok setelah menelan ketoprak dengan susah payah.

“Makan enggak boleh sambil berdiri. Bahkan rasul mengajarkan agar kita makan sambil duduk,” kata Bang Andi. Dia memang terkenal alim.

“Buru-buru, Bang. Mana tempatnya penuh lagi. Ada urusan penting yang harus cepat diselesaikan.”

“Sepenting apapun tetap harus sabar. Kita ini umat Rasul. Harusnya sih nyontoh Rasul juga biar masuk surga.”

“Bukannya kita udah dijamin masuk surga, ya, Bang? Kan Rasul yang memohon sendiri sama Allah. Agar umatnya masuk surga semua.”

“Kalo kelakuan kita buruk, apa udah pantas menganggap diri sebagai umat Rasulullah?”

Bang Andi lantas pergi. Meninggalkan aku yang masih berdiri melongo menatap kepergiannya.

Aku mengerjap beberapa kali setelah lamunanku buyar. Kata-kata Bang Andi tadi cukup menohok. Membuatku seperti terjerembab ke dalam ceruk hina yang memalukan.

*****

Astaghfirullahal’adzim.

Selama ini aku terlalu santai dengan kehidupanku. Menganggap diri sudah baik. Namun, itu hanyalah penilaian diri saja. Nyatanya, aku jauh dari apa yang dipikirkan.

Tak ingin larut dalam penyesalan, aku bergegas bangkit. Kamar mandi di dekat mushola dalam rumah menjadi tujuanku. Aku bergegas mengambil air wudhu. Membasuh tiap-tiap anggota badan sembari membaca doa.

Lalu, aku mulai mengumandangkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Membaca bacaan salat dengan khusyuk dan setulus hati dan diakhiri doa.

“Ya Allah. Hamba memohon ampun. Jagalah hamba agar tak melakukan hal bodoh seperti dulu lagi.”

Ada rasa dingin setelah aku selesai salat. Bukan dingin seperti orang sakit. Namun lebih ke rasa dingin yang menentramkan. Seolah-olah jiwaku sudah ter-charge kembali setelah lama kosong.

Sholawat jibril masih mengalun dari toa masjid. Namun, sesaat setelah itu sholawat berganti dengan ucapan salam. Sepertinya sebentar lagi pengajian akan dimulai.

Kuputuskan untuk menyusul Ibu ke masjid. Bukannya tadi Ibu juga mengajakku. Tak ada salahnya jika aku menyusul ke sana.

Hujan rintik-rintik masih turun. Aku berhati-hati melewati jalan yang mendadak licin setelah hujan. Halaman masjid terlihat ramai. Sejenak aku mematung di halaman. Laku, mulai beranjak setelah menemukan sosok Ibu yang duduk tak jauh dari pintu masuk.

Banyaknya jamaah pengajian membuat mereka rela duduk di luar ruangan, termasuk juga Ibu. Aku tak menyangka jika antusiasme para jamaah sebesar ini, mengingat hujan yang sempat mengguyur tadi.

Aku berjalan ke arah Ibu setelah melipat payung dan mencuci kaki. Dengan tenang, aku duduk tepat di sebelah Ibu.

Ibu menengok ke arahku. Mungkin beliau ingin memastikan siapa yang duduk di sebelahnya atau mungkin juga ingin bersalaman–salah satu kebiasaan kami ketika baru sampai. Dan benar dugaanku. Beliau menyodorkan tangan terlebih dahulu tanpa melihat wajahku.

Ada raut keterkejutan yang tersirat di wajahnya saat tahu kalau aku yang bersalaman dan mencium tangan Ibu. Lalu, lengkungan senyum terbit di wajahnya.

“Kamu menyusul Ibu?”

Aku mengangguk sebagai jawaban. “Jalannya licin. Tak tega lah biarkan Ibu pulang sendirian malam-malam.”

Ibu menowel hidungku pelan. Bukan marah, tapi lebih ke rasa sayang. Sepertinya Ibu gemas dengan jawabanku. Tak pelak aku meringis.

“Masih berkilah juga rupanya. Tapi Ibu seneng akhirnya kamu mau ikut Ibu ke pengajian.”

Aku tersenyum sambil menunduk. “Doakan aku, ya, Bu. Semoga istiqomah berubah. Bukan hanya tobat sambel doang. Yang abis pedesnya ulangin lagi makan sambelnya.”

Ibu merengkuhku. Kemudian, mengusap pelan punggungku. “Aamiin. Semoga istiqomah, jadi anak yang berakhlak lebih baik lagi. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Bahkan sebelum kamu memintanya.”

Ah, Ibu. Engkau benar-benar yang terbaik. Beruntung aku memilikimu. Mungkin perubahanku juga karena doamu. Wallahu a’lam.

*****


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here