Luka Masa Lalu Seruni

0
63

Seruni sedang di Sadang. Dukuh itu ia tinggalkan sepuluh tahun silam. Kini Runi pulang membawa badai di jiwanya yang terdalam. Dia berharap sinar mentari Sadang mampu mencerahkan hari-harinya yang suram.

Ini adalah bulan ketiga Runi berhenti bekerja. Dia mengakhiri karier sebagai pemimpin dan pengajar madrasah. Bersama Qiva, batitanya, Runi mengungsi di rumah Siman, kakak lelakinya.
“Aaaa…! Yaaah…!”
“Ssshhh… Ssshhh…”
Runi menenangkan Qiva yang melindur. Bayi bongsor itu masih saja menyebut-nyebut orang yang telah tiada: Keswara. Almarhum suami Runi. Almarhum ayah Qiva. Karena inilah, luka Runi tak kunjung sembuh.

Dengan kalut, Runi bangun. Dia berjalan menuju dapur bersama botol susu Qiva. Selama hidup, Wara yang selalu melakukan ini. Pria itu sangat sigap melakukan banyak hal termasuk menjemput kematiannya sendiri. Dalam senyum, Wara mahir menyembunyikan luka yang akhirnya tak lagi sanggup ia tanggung.

Di tengah gelutuk aduk sendok dalam botol susu, Runi menoleh ke jendela karena mendengar keributan dari luar.
“Muduun! Muduun! Ojo ngono!”
Jendela yang enggan dia buka itu tetap dia tatap. Seolah mata Runi mampu menembusnya untuk melihat siapa yang berseru menyuruh seseorang turun dan melarangnya melakukan sesuatu.

“Ada apa to, Run?” Siman muncul dari balik pintu kamar diikuti Kasna, istrinya. Keduanya tampak mengantuk, tetapi waspada.
“Itu apa ya, di luar?” Runi balik bertanya.

Siman dan Kasna gegas berjalan keluar rumah, lalu hilang dari mata Runi.
Sambil menjejali mulut Qiva dengan dot, Runi mencoba mengusir teror penyesalan dari kepalanya. Wanita itu berusaha keras mengabaikan gradak-gruduk gaduh di luar.
Runi tak mau peduli. Dia ingin dadanya plong setelah ingatan tentang Keswara membuatnya sesak lagi. Untung Qiva tak terganggu oleh keributan tengah malam itu. Runi pun punya hati untuk pergi berwudu. Dia butuh mengadu pada Sang Pencipta atas teror yang masih menjeratnya.

Dalam sujud, Runi tak hanya memanjatkan doa, tetapi juga ribuan “Kenapa?” Leher Wara yang dijerat tali di kuda-kuda plafon kontrakan mereka adalah peluru di hatinya. Dan Qiva yang tersedu lemah di bawah kaki Wara yang menggantung adalah tikaman jiwanya. Dua pemandangan yang Runi dapati sepulangnya dari madrasah itu memberikan energi untuk protes pada Tuhan. Itulah yang ia lakukan sekarang.

“Bu… ba…!” rengek Qiva yang terbangun.
Runi terkesiap. Dia beranjak dan menyambut anaknya berjalan menghampirinya.
“Bunda di sini, Nak… Bunda di sini…” Runi memeluk Qiva sambil terus menenangkan diri. Entah sampai kapan dia masih kehilangan. Tabungannya menipis. Hal ini membuat Runi memaksa dirinya bangkit. Ketika Runi terpikir untuk berdagang baju, beras atau apa lah, Siman dan Kasna kembali.

“Yaa Allah… Si Munah, Run…” keluh Siman.
“Kenapa, Cak?”
“Dia mau loncat dari menara sutet!” sambung Kasna dengan panik.
Runi mencelus. Dia menyesal telah mendengar hal ini. Tentu dia tidak siap. Runi hanya membalas dengan anggukan bungkam.
“Aku balik tidur lagi ya,” Runi kembali menidurkan Qiva sambil berbaring.

Runi tahu, Siman masih ingin cerita banyak. Begitu juga Kasna. Namun, Runi memilih melindungi batinnya. Dia tak ingin terlibat sejengkal pun. Lagipula, kelihatannya, kematian Munah sudah berhasil ditunda oleh rakyat se-Sadang. Beda dengan Wara. Munah beruntung, Wara tidak. Dan Runi yakin bahwa kesialan Wara bersebab darinya.

Di awal pernikahan mereka, Runi menolak jadi ibu rumah tangga seperti istri lainnya. Runi tak ingin kehilangan pahala pahlawan tanpa tanda jasa. Maka, Wara, dengan kasih yang tertangkap mata Runi, mengizinkan istrinya tetap bekerja.

Saat Qiva lahir, Wara kena PHK. Bosnya tak mentolerir kesalahan berulang yang ia lakukan tiap menginput data. Si Bos bercakap dalam bahasa Mandarin pada asistennya yang kemudian mengabarkan berita buruk itu pada Wara.
Runi mafhum suaminya sangat kecewa. Namun, Runi tak menuntut Wara untuk cari kerja lainnya. Alih-alih, Runi ingin Wara ikut mengurus Qiva.

Wara kembali menerima keinginan Runi: mengurus Qiva dan rumah tangga. Runi pun berkarier lagi karena habis masa cutinya.
“Toh, gajiku cukup untuk hidup kita di kota ini,” yakin Runi.

Tanpa Runi tahu, ada anak kecil yang terluka dalam diri Wara yang menghentikan kebahagiaan suaminya itu. Wara tak bisa lagi tidur nyenyak. Ia tungkus lumus dan tak bisa beranjak. Walau selalu senyum, Wara kepayahan dengan jiwanya yang cedera. Ia ungkap dalam jurnalnya bahwa ia tak becus mengurus Qiva. Suara di kepala Wara selalu menyalahkan dirinya sendiri. Perlahan, Wara pun mempercayai suara lain yang mendakwanya gagal sebagi suami lantaran tak bisa menafkahi istri. Dan jurnal ini Runi baca tiga hari setelah pemakaman Wara.

Semua sudah terlambat bagi Wara, tapi tidak bagi Munah. Seharusnya masih ada jalan kepulihan bagi tetangganya itu, walau Runi melihat hal berbeda.
Seruni mengenal Maimunah sebagai gadis yang gemar kerja. Dia ulet, cekatan, dan tak banyak bicara. Munah adalah tumpuan terakhir keluarga. Menjadi putri bungsu berarti siap untuk selalu berbenah rumah meski Munah pula mencari nafkah. Dua kakak lelakinya duluan kawin dan hidup masing-masing. Bapak-ibunya lansia, pun banyak bergantung padanya. Dan sepertinya, keduanya menjejali Munah dengan aneka impian. Munah harus menikah dengan lelaki kaya, Munah harus menjaga kesucian, Munah harus manutan.

“Si Munah sampai sekarang belum mau cerita ada apa,” Siman melanjutkan kata-katanya. “Kasihan Lik Gundi dan Yu Sripah, kasihan para kangmas Munah…”
Runi masih tak minat bergabung dengan pembicaraan tentang Munah.

Siman tak membersamai Runi ketika mertuanya memaki-maki sambil menuding-nudingnya. Siman tak mendengar kata-kata mereka yang menyesalkan kelak Wara tak dapat masuk surga karena mati seperti ini. Siman belum tahu bahwa diam-diam Runi menyetujui penghakiman ini.

Keluarga Munah kasihan? Cih. Lantas, Runi baik-baik saja?
Seandainya ada jalan bagi Runi untuk menyelamatkan Wara, dia akan mengajak pria itu ke tenaga ahli. Entah psikolog atau psikiater. Namun, tak begitu yang Runi lihat pada keluarga Munah. Orang-orang berbaju aneh silih berganti mendatangi rumah mereka. Kadang sesudahnya menguar bau dupa atau banjir kembang setaman di pelataran.

Suatu hari, Siman cerita lagi. Munah jadi begitu karena bosnya di pabrik kopi. Dia sudah tak lagi suci dan merasa tak pantas hidup karena gagal membanggakan keluarganya. Ketika salah satu kakak Munah menuntut tanggung jawab si Bos, dia malah diancam bui dengan pasal pencemaran nama baik.

“Lha terus, piye, Mas?” tanya Kasna sambil menyuapi anaknya.
“Yo… Bagaimana? Memang tak ada bukti. Tak ada yang melihat perbuatan mereka.”
Kali ini Runi ingin sumbang pendapat. “Memangnya dia tidak dibawa ke dokter untuk diperiksa?”
“Tidak bisa, Run… Dia ngamuk-ngamuk kalau diajak keluar rumah. Kerjanya diam saja. Untung Lik Gundi punya banyak kenalan orang pintar.”

“Sudah ada kemajuan? Dari pengobatan orang-orang pintar itu?” tambah Runi.
Siman memutar mata. “Yang kulihat sih belum, Run. Sama saja. Kemarin aku coba rukiah dia. Tak ada reaksi apapun. Untunglah dia mau cerita sedikit.”
Ya jelas saja, batin Runi. Munah butuh penanganan dari jalur yang tepat, bukan jalur takhayul.

Runi masih belum urun tindakan apapun walau aksi Munah makin menjadi. Kadang Runi dengar Munah memekik kesakitan, kadang berusaha kabur dan akhirnya dikejar orang sedukuh. Pernah juga Munah memanjat sutet lagi, kali ini siang hari.

Ketika Runi akhirnya mendapat tawaran mengajar di TK elite di pusat kota, Runi baru berani menengok Munah. Runi menganggap jiwanya berangsur pulih. Dia merasa Tuhan telah memberinya titik terang. Bila Tuhan sudi menolongnya, barangkali Tuhan pun rida merengkuh Munah.

Di saat itulah Runi melihat bagaimana Munah diobati. Pria agak tua bergamis tengah mengolesi dada Munah dengan cairan mengkilat seperti minyak. Munah menangis. Dua ketiaknya dikunci oleh tangan Lik Gundi dan salah satu kangmas-nya. Bajunya terbuka, cukup untuk menampilkan payudaranya.

Pemandangan itu memicu amarah Runi. Namun, ia tak bisa mengungkapkannya tanpa alternatif solusi. Tidak, itu sangat bukan Runi. Maka, Runi meminta bantuan rekan kerjanya di TK, seorang psikolog anak.
“Aku punya kenalan seorang psikiater, Mbak,” ujar Thessa pada Runi.
“Kira-kira, dia bersedia datang ke rumah tetanggaku, Sa? Nanti aku ganti uang taksinya,” janji Runi.
“Hmmm. Harus datang ke rumah sakit, Mbak. Tapi… mungkin bisa koordinasi dulu dengan puskesmas untuk bisa dapat rujukan home visit.”

Runi paham situasinya tak semudah yang ia kira. Namun, kembali berdiam diri sama saja membiarkan Munah tersiksa atau mengulang mimpi buruk Runi tentang kematian Wara. Tidak boleh, tekad Runi, tidak boleh terjadi lagi, semua masih bisa diusahakan.

Maka, Runi mendekati keluarga Munah. Dengan telaten ia menyampaikan pemikirannya. Runi pun mendekati Munah. Dengan sabar ia berusaha membuat Munah bercerita lebih banyak.

Nahas, keluarga Munah tak lantas percaya dengan kata-kata Runi. Mereka menganggap ajakan Runi hanya omong kosong. Semua orang sudah tahu bagaimana Wara mati, dan hal itu mereka jadikan alasan untuk tidak mempercayai Runi.

Penolakan dan tudingan mereka adalah sembilu yang membuat luka hatinya koyak lagi. Kali ini Runi memutuskan untuk benar-benar tak ikut campur lagi. Runi butuh tempat lain untuk berlindung dari penghakiman. Beberapa jam setelah kunjungan Runi ke rumah Munah, Runi sudah tak lagi sedang di Sadang.

Lima Lebaran kemudian, Seruni ingin kembali ke Sadang. Dukuh itu selalu dia rindukan sejak mentari bersinar lagi dalam jiwanya. Kariernya sebagai guru TK mampu mengalihkan duka nestapa. Dan kini, Runi yakin lukanya telah sembuh benar. Tak ada lagi “Kenapa?”, yang ada hanya puji syukur dan doa.

Siman dan Kasna semringah atas kondisi Runi. Namun, bukan rakyat Sadang namanya bila tak menjamu tamu dengan pergunjingan.
“Ingat si Munah?” pancing Kasna.
“Eh iya. Apa kabarnya Munah? Mereka sekeluarga sudah pindah ya?”
“Ya mau bagaimana lagi. Tak ada yang mengurus Lik Gundi dan Yu Sripah,” sambung Siman.
“Lha, Munah?”
“Gantung diri di menara sutet,” ujar Kasna sambil geleng-geleng.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here