“Mino…! Mau kemana?” teriak mamanya dari jauh setelah melihat anak itu menjauh hampir tiga puluh meter darinya.
“Mino mau ke rumah Buk Lek, ma! Mau main dengan teman-teman,” jawab anak itu sambil sedikit menoleh ke arah mamanya, lalu menyusur jalan aspal. Sesekali turun di tepi jalan. Mengendap belalang daun kecil yang bewarna hijau, persis seperti daun jika tidak diamati dengan baik. Perlahan dia melangkah sambil membungkukkan tubuhnya yang kecil. Kedua telapak tangannya sudah siap diangkat di depan tubuhnya untuk menangkap belalang daun.
Pukkk …! Bunyi pukulan dari kedua telapak tangannya. Beberapa daun gugur dari batang, serta pucuk rumputnya sudah tidak sempurna lagi seperti semula. Karena tergesek kedua telapak tangan serta ditarik kasar olehnya. Perlahan dia mengangkat kedua telapak tangan yang masih tertutup. Lalu mendekatkan ke wajahnya. Diintipnya dari celah jari-jari sambil memicingkan sebelah mata kiri. Terdapat beberapa daun kecil yang sudah robek.
“Hahaha… Mino dapat belalangnya!” tawanya puas setelah petualang kecilnya langsung berhasil. Lalu dia kembali ke jalan menapak aspal sambil memasukkan belalang ke dalam plastik kecil, mengikatnya kuat agar tidak lepas. Rupanya di antara dedaunan itu ada terselip belalang incarannya. Tentu saja dia senang dan tertawa puas.
“Mino…! Langsung aja ke rumah Buk Lek. Mainnya hati-hati! Jangan kemana-mana lagi!” teriak mamanya lagi yang masih mendengar dan melihat dirinya dari kejauhan. Karena dia sedang berada di depan rumahnya membersihkan pekarangan rumah dan taman bunga mininya.
“Iya, Ma!” jawabnya tanpa melihat ke arah mamanya. Kembali dia melanjutkan perjalanan menuju ke rumah buk Lek yang merupakan kakak dari mamanya. Rumah mereka berjarak sekitar seratus meter. Karena rumah Buk Lek nya sedikit di dalam gang, maka kendaraan jarang melintas di sana daripada rumahnya yang di tepi jalan besar.
Mamanya, Ibu Ratih merupakan ibu rumah tangga yang suka koleksi bunga bunga di dalam vas bunga. Hampir semua jenis bunga berdaun talas itu dimilikinya. Sementara papanya, Pak Tomi adalah karyawan rumah sakit. Mino Pratama yang berumur empat tahun lebih itu merupakan anak tunggal dari Pak Tomi dan Ibu Ratih. Sebenarnya mereka sudah mau memiliki anak lagi, namun belum rezeki. Sepertinya Mino yang berdarah Jawa Melayu itu masih menguasai mama papanya dengan berbagai keletahnya.
Bayang-bayang tubuh telah diinjak kaki sendiri. Yang terlihat hanya bayangan kepala jika sedikit digerakkan ke depan dan ke belakang. Teriknya Panas mentari membuat kulit gerah. Bahkan muncul rasa dahaga yang luar biasa. Jika seperti ini, air dingin begitu nikmat untuk dinikmati. Entah sekedar teh es, apalagi jus dingin. Membuat puas dan menghilangkan dahaga.
Mino sedang menikmati es lilin rasa coklat buatan Bu Lek nya. Dihisapnya es lilin dari bawah plastik yang digigit sedikit, keluarlah meluncur langsung masuk ke dalam mulut. Hingga lenyap berseluncur ke saluran pencernaan.
Mino memang sering ke rumah Buk Lek Rahmi dan Pak Lek Abdullah. Mereka memiliki dua orang anak laki-laki. Imam, anak pertama berusia enam tahun. Sedangkan Ihsan, adiknya berusia lima tahun. Mereka sering bermain bersama ketika sepulang dari Kelompok Bermain dan sekolah. Namun karena hari Ahad, Minolah yang punya inisiatif untuk bermain ke rumah sepupunya itu. Mereka baru saja menyelesaikan empat rakaat shalat dengan asalan saja. Sebelumnya mereka makan siang bersama.
Ketika matahari mulai turun perlahan, mereka keluar rumah karena bosan dengan mainan yang ada. Terlihat Mino mengambil sebuah putik kelapa yang telah gugur dari tandannya.
“Hey … lihat Bang! Mino dapat putik kelapa lho, mau dibikin gasing getah,” tunjuknya senang sambil senyum angora kepada kedua sepupunya. Lalu dia duduk di salah satu bawah pohon kelapa yang tidak begitu tinggi. Dikeluarkannya beberapa karet getah dari saku celana belakang. Lalu berdiri mengambil sebatang lidi hijau yang masih utuh daunnya. Secepatnya dia membersihkan daun tersebut. Putik kelapa tadi, digigitnya kulit penutup dan dibuang satu persatu hingga bersih. Lalu mengarah karet getah yang sudah diputuskan diatas putik kelapa, ditusukkan lidi hingga terbenam bersama salah satu ujung karet getah ke dalam putik kelapa.
“Lihat Bang! Sudah selesai gasingku. Bagus, kan?” pamer Mino pada sepupunya itu. Dia sangat senang bisa membolang lagi hari ini.
Begitulah Mino, sianak bolang yang lebih aktif dari teman-temannya. Apapun yang ditemuinya akan jadi mainan yang asik bagi mereka. Mino juga kreatif, walau kadang terlihat asal-asalan. Teman-teman sering memintanya untuk membuat sesuatu, merombak, meraket, bahkan inovatif. Padahal jika dilihat umur, Mino lah yang paling kecil. Namun jika diuji nyali, dialah lebih tahu dan lebih andal.
Sementara kedua sepupunya masih tercari-cari sesuatu, akhirnya mereka pun tidak melakukan apa-apa dan tidak ada mainan yang mereka hasilkan.
“Bang Imam, Ihsan kemari! kita main gasing karet getah di sini,” ajak Mino sambil melambaikan tangan kepada kedua sepupunya.
Merekapun mendekati Mino. Lalu duduk melingkar di bawah pohon kelapa yang dialasi dengan daun pisang pecah-pecah. Sambil berhadapan mereka memulai arena. Imam mengambil gasing tersebut lalu memperhatikan bentuknya. Seolah sedang menjuri.
“Apa ini kuat, Min?!” tegurnya meragui hasil buatan Mino.
“Jangan-jangan tidak kuat. Jangan lagi, ah!” larang Ihsan sedikit iri karena tidak bisa menghasilkan mainan seperti Mino.
“Kuat kok! Ayo main, Bang!” ajaknya polos sambil nyengir menunjukkan giginya yang putih dan penuh itu. Karena Mino rajin gosok gigi, begitu pesan orangtuanya.
Setelah beberapa menit berlalu, datanglah seorang anak laki-laki, ia sering dipanggil Emon. Emon adalah anak tetangga Imam dan Ihsan, ia berusia lima tahun. Keaktifannya juga luar biasa. Bisa dikatakan dia adalah anak aktif bebas.
“Pada ngapain, San?” tanya Emon sambil berjalan menuju Ihsan, serta duduk di samping Ihsan. Mereka begitu akrab, juga seumuran.
“Asik …! Lagi main gasing karet getah, Mon. Dari buah kelapa kecil ini. Tidak bisa kan kamu membuatnya!” cecarnya kepada Emon.
“Siapa yang membuatnya? Emang kamu bisa?” tanya dan sindir Emon kepada Ihsan.
“Tidaklah! Aku bisanya main HP. Mana aku faham buat mainan kayak ini kalau tidak ada, Mino,” jelas Ihsan ada unsur mempromosikan saudara sepupunya itu.
Hampir semua mainan tradisional diketahui oleh Mino. Papanya dengan senang hati memperkenalkan dan mengajari Mino berbagai mainan tradisional. Sehingga papanya bisa mencegahnya dari kecanduan gadget. Karena itu tidak baik untuk kesehatan mata dan sebagainya.
“Di belakang sana ada pohon kelapa tumbang. Ayo kita kesana! Pasti banyak buahnya berjatuhan,” jelas dan tebak Emon sambil berlari menuju arah pohon kelapa tumbang sekitar sepuluh meter dari tempat mereka duduk.
Mereka membayangkan apa yang dikatakan oleh Emon. Bisa mendapatkan banyak putik kelapa tentu banyak gasing karet getah yang bisa mereka hasilkan. Jadi, mereka punya banyak gasing karet getahnya, tentu mereka bahagia punya banyak mainan tradisional itu.
Hadirnya Emon, memperpanjang waktu bolang Mino dan teman-temannya. Mereka pun setengah berlari menuju tempat tersebut.
“Lihat ini! banyak sekali buah kelapa yang jatuh,” papar Ihsan.
Sambil mengutip beberapa putik kelapa yang dia temui, lalu menaruhnya di baju yang dia pakai, ibaratnya plastik.
“Hati-Hati jangan dibawah pohon kelapa yang tinggi itu! Bahaya jika buahnya jatuh,” larang Imam kepada mereka. Karena ada beberapa pohon kelapa yang tinggi di sekitaran mereka. Boleh dikatakan bahwa itu adalah kebun kelapa buk Lek, Mino, karena banyak pohon kelapanya. Adapun pohon kelapa yang tumbang Karena dihantam angin ribut sepekan kemarin.
Mereka sibuk masing-masing mengutip putik kelapa yang sudah sedikit layu itu. Tiba-tiba Emon teriak. “Teman-teman, sini! Ada ulat, banyak sekali!” teriak Emon kaget. Sambil melambaikan tangan kepada mereka. Sesekali dia memperhatikan tumpukan beberapa ulat tersebut. Dia tidak berani mendekatinya sendiri. Terlihat dari wajah dan gerak geriknya jijik. Merekapun mendekati Emon yang hanya beberapa meter jaraknya dari mereka.
“Mana? mana?” tanya Imam
“Sini. Sini, Bang!” ujar Emon.
Mereka pun tiba di tempat Emon berdiri juga memperhatikan tumpukan ulat-ulat kelapa yang berada di dalam tunggul kelapa tumbang.
Hampir sebesar jari jempol mereka. Bergerak merayap didalam tunggul itu. Awalnya hanya terlihat dua ekor. Lalu muncul lagi satu persatu setelah digodok Mino dengan ranting kering.
“Wah, banyak di dalamnya, Bang,” Mino menduga keberadaan hewan itu.
Tampak tubuh mereka bergerak-gerak. Panjang pendek. Berbadan putih dan sedikit hitam di kepalanya.
“Ini tidak menggigit,” jelas Mino sambil mengambil seekor dengan jarinya.
Imam dan Ihsan sedikit berlari, kaget melihat Mino mengambil ulat tersebut.
“Biasa papa, memanggilnya ulat bulan,” Mino menjelaskan nama ulat tersebut.
“Iya, tidak menggigit. Ayo, bang. Ambil satu.” Emon mengambil seekor dengan dua jarinya.
“tubuhnya lunak ya, Mon!” tukas Mino yang masih memegang ulat tersebut.
“Iya, Min,” jawabnya
“Peganglah seekor, bang Imam,” pinta Emon kepada Imam.
Karena masih kaget, dan setengah berlari, maka kedua sepupu Mino itu terjatuh, dan sedikit lecet dilututnya.
“Ouggh!. Jangan dekati kami. Aku tidak suka dengan hewan itu. Jijik!” tutur Imam.
Mino dan Emon sebagai pemandu ngebolang hari ini. Iman dan Ihsan hanya memperhatikan tanpa mengambilnya, namun mereka tetap menikmati serunya ngebolang bersama hewan bertubuh lunak itu. Sesekali mereka terlihat tertawa lepas. Melihat karena hewan tersebut yang pasrah diutak-atik oleh Mino dan Emon.
“Mino. Ayo pindahin mereka di sini!” ajak Emon menunjukkan tumbuhan mungil bewarna putih yang keluar dari pohon kelapa tumbang itu. Bentuknya seperti payung. Lalu Emon memindahkan hewan tersebut diatas payung tumbuhan bewarna putih tadi.
“Apa ini?” tanya Ihsan.
“Ini jamur putih, kata papa.” jawab Mino yang sudah mengetahui nama tumbuhan itu.
Biasanya jamur putih yang keluar dari pohon kelapa tumbang, bisa dikonsumsi sebagai makanan yang disajikan sebagai sayuran. Rasanya enak apalagi jika dimasak bersama santan kelapa. Terasa lemak manisnya.
Hampir semua hewan itu diletakkan di atas payung jamur. Ketika berjatuhan, kembali mereka tertawa lepas.
Tiba-tiba ada yang terjun bebas. Eh, Emon mengencingi jamur yang ada ulatnya! Astaga, hampir tangan Mino basah oleh air tersebut. Cepat-cepat dia berlari. Entah apa yang merasuki Emon sampai dia berani melakukan hal itu. Benar-benar anak aktif bebas.
“Laah … ngapain kamu, Mon?” Sergah Mino sedikit kesal. Sedang asik bermain diganggu oleh Emon.
“Payah, kamu, Mon!” Imam juga kesal pada Emon.
Dia juga sedang menikmati permainan dengan hewan tersebut walau tidak mengambil secara langsung. Begitu menikmati permainan sehingga mereka lupa waktu sudah hampir sore.
“Pulang yuk,” ajak Ihsan. Karena merasa permainan mereka telah berhenti setelah kejadian yang dilakukan Emon. Dia juga sambil meringis kesakitan karena lecet di lututnya.
“Ayo…!” ajak Mino setuju. Lalu mereka pun pulang.
Sambil berjalan pulang, Mino mengambil beberapa lembar daun Senduduk dan mengunyah kasar, lalu ditempelnya dilutut Imam dan Ihsan yang lecet itu. Keduanya sepupunya pasrah walau awalnya menolak.
Kini mereka tiba di rumah bu Rahmi.
Setelah mereka bersih-bersih, Pak Lek langsung menjamu mereka makan. Oleh karena makanan juga sudah terhidang di meja.
Mereka makan sambil bercerita tentang petualang yang baru saja mereka lakukan.
“Maaf! Aku tidak sengaja melakukannya. Aku kebelet, Min” jelas Emon apa yang terjadi sebenarnya dari insiden yang dia lakukan tadi.
“Udahlah. Kamu bikin aku mual aja,” cecar Imam sambil menyendok kuah sayur masak lemak oleh emaknya ke dalam piringnya.
Mereka makan dengan lahapnya dari hidangan sederhana di rumah Buk Lek Rahmi dan Pak Lek Abdullah itu. Ada sambal tanak, ikan lele goreng, ikan asin goreng, serta sayur jamur putih masak lemak manis. Bersama seteko air putih dan beberapa gelas plastik bewarna hijau. Pak Lek mempersilakan mereka pulang karena hari hampir gelap.
Namun tiba-tiba Mino berseru.
“Ini adalah Jamur putih yang sering muncul di kelapa tumbang!” serunya sedikit mengingat sesuatu.
“Iya! Jangan-jangan ini adalah jamur putih tadi yang dikencingi oleh Emon!” sergah Imam kaget membuat keputusan sendiri. Tiba-tiba mereka berempat berlarian keluar, lalu terbatuk-batuk dan mengeluarkan isi perut mereka. Tentu Pak Abdullah terkejut diikuti oleh bu Rahmi yang baru pulang dari warung sebelah rumah. Tampak tangannya memegang kotak anti nyamuk. Maklum sekarang musim Demam Berdarah.
***
“Bagaimana dengan mereka Tomi? Apa mereka keracunan? Atau mungkin DBD?” cerocos bu Rahmi khawatir dengan kondisi empat bocah yang tiba-tiba muntah itu.
“Mereka tidak apa-apa kok. Sehat kok Buk Lek. Cuman karena muntah jadi agak sedikit lemes dan butuh banyak air,” jelas Tomi, papanya Mino Pratama itu sambil melepaskan stetoskop dan memasukkan kedalam tasnya. Lalu mengucek rambut Mino sambil sedikit tersenyum bercanda.
“Syukurlah, Alhamdulillah.” lega bu Rahmi sambil menyusut dada.
“Imam, Mino! Sebenarnya kenapa toh nduk kalian seperti orang keracunan?” tanya Buk Ratih ingin tahu masalahnya.
Mereka berempat masih terbaring di depan ruangan rumah bu Rahmi ditemani oleh ibunya masing-masing di sisinya. Tampak mereka sedikit lemas. Hampir penuh tetangga berdatangan ingin menyaksikan apa sebenarnya yang terjadi.
“Anu, bik. Kami mual makan sayur jamur putih. Pas bermain di kebun tadi, itu Emon mengencingi jamur tersebut,” jelas Imam yang masih terlihat lemes.
“Jadi, menurut kalian itu jamur putih yang di kebun tadi?” jelas bu Rahmi.
“Iya, Buk Lek!” Jawab Mino.
“Huhuhu…!” sorak tetangga sambil berlalu pergi.
“Mana mungkin dalam waktu yang sama Buk lek masak jamur tersebut, Nduk,” bu Ratih menggeleng kepala.
“Buk Lek beli jamur di warung sebelah pagi tadi. Siangnya baru sempat dimasak. Begitu toh, Nduk,” jelas bu Rahmi, Buk lek Mino.
“Makanya anak-anak. Tidak boleh buang air sembarangan lagi, ya.” Pak Abdullah mengedukasi mereka lagi.
Mereka mengangguk dan tersenyum malu. Memamerkan gerigi putih mereka. Mino masih pemenangnya. Karena rajin gosok gigi.
Sejak saat itu, mereka sudah tidak berani lagi buang air sembarangan tempat. Bahkan Mino rela pulang rumah walau sedang asyiknya berpetualang.