“Ih, lele?!” Seruan keras itu membuat Padi nyaris menjatuhkan kotak bekalnya ke lantai, saking kagetnya. Ia langsung menoleh dan melotot ke arah sumber suara. Dimas, si sumber suara, melihat ke dalam kotak bekal Padi dengan ekspresi jijik.
Di dalam kotak bekal tersebut, telah tersusun rapi dua centong nasi putih, beberapa sendok sayur kangkung, dan seekor utuh lele goreng. Mengingat seruan Dimas tadi, Padi mengerutkan kening.
“Memangnya ada apa dengan lele?” tanyanya penasaran kepada Dimas.
Dimas menatap Padi iba. Padi tidak mengerti apa yang membuat Dimas memakai ekspresi demikian.
“Padi, lele itu makanan orang miskin!” seru Dimas. Intonasinya terdengar yakin, pasti, dan lantang. “Aku tidak mau temanku makan makanan semurah itu. Kasihkan saja lelenya ke kucing di taman sekolah. Kamu lebih baik makan pizza ini bersamaku!”
Dimas menunjukkan bekal pizza empat potong yang tersusun rapi di kotak bekal mahalnya. Padi semakin kebingungan, orang macam apa yang memakan pizza untuk makan siang di sekolah? Bukannya Dimas lebih aneh darinya? Kenapa Dimas bertingkah seolah-olah Padi adalah orang paling abnormal di dunia karena makan lele? Bukannya lele adalah makanan yang biasa dimakan orang Indonesia?
Meskipun merasa begitu, hati Padi juga kini diliputi rasa gundah. Pasalnya, Dimas menyerukan hal-hal tadi dengan begitu kencang, hingga Padi bisa merasakan mata-mata teman-teman sekelasnya yang lain mengamati mereka berdua dari jauh. Padi merasa malu, jangan-jangan benar kata Dimas kalau lele adalah makanan orang miskin? Bagaimana jika semua orang akan menjauhinya karena itu?
Tapi, makanan lele goreng ini adalah bekal yang sudah disiapkan bunda dengan penuh cinta…
Padi ingin mengabaikan kata-kata Dimas dan tetap memakan lele gorengnya, tetapi Dimas sungguh keras kepala.
Jadilah hari itu, ia memakan pizza pemberian Dimas sebagai makan siang. Kemudian dengan berat hati memberikan lele gorengnya kepada kucing liar yang suka rebahan malas di taman sekolah.
***
Sepanjang hari, Padi dilanda rasa bersalah. Apalagi ketika ia akhirnya tiba di rumah.
“Sudah pulang, Nak? Mana sini kotak bekalnya, biar Bunda cucikan.” Mendengar suara Bunda, Padi jadi ingin menangis. Tapi ia berusaha untuk menahan air matanya kuat-kuat.
“Biar Padi saja yang cuci, Bunda,” kata Padi, berharap agar Bunda tidak mendengar gemetar di suaranya.
“Oh? Tumben.” Bunda tertawa pelan, lalu mengelus kepala Padi dengan lembut. “Kalau begitu, minta tolong, ya.”
Padi semakin merasa bersalah. Rasanya seperti ada gumpalan benang kusut yang memenuhi ruang di dadanya.
Setelah berusaha mengumpulkan keberanian, Padi mengangkat kepalanya dan membuka mulut, “Bunda, ada yang mau Padi bilang.”
Mendengarnya, Bunda menoleh. Padi menelan ludah dan menceritakan segalanya dengan penuh rasa sesal.
“…Maaf, Bun.” Padi mulai terisak. Huh, sepertinya ia akan gagal untuk menahan rasa ingin menangis itu, apalagi ketika sorot mata Bunda bukannya menunjukkan marah, jengkel, atau kecewa, namun malah dipenuhi oleh binar terkejut, mengerti, bahkan terhibur.
Bunda memberi Padi senyum geli. Beliau duduk berlutut dan mengelus kepala Padi.
“Nak, lele itu adalah lauk yang penuh nutrisi. Dan harganya murah, jadi dengan membelinya, Bunda dan Ayah bisa menghemat uang sehari-hari untuk hal-hal lainnya,” jelas Bunda, nadanya sedikit memelan di akhir, membuat Padi menggigit bibir.
Padi tahu keluarganya bukan keluarga kaya. Berbeda dengan Dimas, membeli pizza untuk dimakan saja masih sangat berat bagi keluarga Padi.
Bunda Padi hanyalah seorang guru taman kanak-kanak, sedangkan ayahnya hanyalah seorang driver ojek online.
“Bunda bakal coba masak bekal yang lebih enak daripada lele, ya? Biar Padi nggak malu lagi di sekolah.”
Bunda baik sekali, tapi Padi menggeleng. Bukan itu yang Padi mau. Padi suka lele, Dimas saja yang mengesalkan.
“Nggak, Bunda. Padi bakal tetap mau makan lele,” kata Padi tegas. Besok di kelas, Padi akan memarahi Dimas. Mengomelinya bahwa lele itu bukan makanan orang miskin. Sampai telinga anak itu panas. Pokoknya!
“Lho, yang bener nih nggak papa?” tanya Bunda.
“Nggak papa, Bun. Bukan lele yang Padi benci, tapi rasa malu itu…” kata Padi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bunda terdiam sejenak, lalu senyum beliau melebar.
“Bunda ada ide, Padi mau dengar?”
***
“Padi! Bekal makan siangmu lucu banget!”
Begitu Padi membuka kotak bekalnya, Padi bisa melihat sejumlah nasi yang dibentuk mirip kepala kucing, potongan daging lele yang dibentuk mirip ikan, dan berbagai sayur-sayuran di sekelilingnya. Ini adalah hasil kerja sama antara Padi dan bunda tadi pagi. Rasanya begitu menyenangkan bisa ikut memasak dan menghias isi bekal sesuka hati.
Padi merasa bangga. Apalagi ketika Dimas dan teman-teman sekelas yang lain mendekat. Mata mereka berbinar penasaran.
“Ini ikannya pakai daging apa, Padi?” tanya seorang teman.
“Pakai lele!” seru Padi dengan penuh percaya diri, menyeringai penuh kemenangan ke arah Dimas.
Baarakallah ya Anis… cerpenmu bagus banget. Bahasanya indah, tapi pas untuk anak. Nggak ada diksi yang zonk. Sumpah bagus.
Terimakasih telah berkunjung dan membaca Filmi. Jangan lupa, share seluas-luasnya tulisan Filmi ya …