Kisah Satu Kilometer

0
113

Sepanjang satu kilometer, sembari menyetir, aku mencoba mengulang-ulang materi ceramah yang akan kusampaikan di depan jamaah haji bimbingan Bapak. Dua kali dalam sebulan, pengajian rutin diadakan di masjid kota yang dihadiri oleh jamaah haji dari biro yang didirikan Bapak. Bapak memberi satu kesempatan untukku memberikan materi kepada jamaah.

Di kursi belakang, istriku bermain ponsel, sedang anak laki-lakiku pun tak lepas dari layar Youtube. Kulirik mereka dari kaca di atas dasbor. Tak ada yang menggubris. Layar ponsel selalu membentangkan jarak yang sebetulnya begitu dekat. Membuat obrolan selalu menguap.

“Mas, minggu depan, kita diajak liburan ke Jogja,” ucap istriku beberapa saat kemudian.

“Ke Jogja mau ke mana lagi? Sudah berapa kali kita ke sana?”

“Bukan gitu, ini yang ngajak Bu Marini,”

“Bu Marini?”

“Katanya sebagai ucapan terima kasih karena bimbingan Mas Din selama di Tanah Suci,” lanjut istriku.

“Oh, yang punya warung sate?”

“Nah, itu!”

“Coba nanti kalau ada waktu,”

Istriku mengerti, lalu wajahnya kembali terbenam dalam layar ponsel. Aku kembali menghafalkan materiku. Meskipun kuyakin Bapak sudah pernah menyampaikan materi tentang Kota Thaif, aku yakin, versiku akan lebih segar. Apalagi, jamaah haji dan umroh beberapa tahun belakangan ini memang tak luput dari pasutri yang masih muda. Tentu, selain beribadah, tujuan mereka ke Tanah Suci adalah berlibur bersama.

Sepanjang jalan sejauh satu kilometer itu, adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan rumahku dengan jalan besar. Meskipun bukan di daerah terpencil, nyatanya jalan itu sering rusak. Lubang di sana – sini. Itulah kenapa, aku jarang mencuci mobilku di musim hujan sebab percuma kalau sudah kena cipratan air.

“Semprul!” umpatku. Kuinjak rem secara mendadak. Kulihat istri dan anakku memandang ke arahku.

“Ayah ngomong apa?” tanya anakku.

“Oh, itu…. yang lewat tadi itu, lho, namanya semprul.”

Istriku tertawa, namun anakku percaya. Kulihat dari kaca spion, bodi belakang mobilku kotor sebab air dari lubang jalan.

Di masjid, istriku duduk berdampingan dengan Bu Marini. Aku yakin, mereka berdua tengah membicarakan rencana liburan ke Jogja. Sesekali, di tengah ceramah, aku melirik mereka. Seolah tahu, istriku hanya tersenyum ketika mata kami bertemu.
*

Aku baru saja masuk kamar ketika ponselku berdering. Satu jam lamanya, aku dan istriku ngobrol santai di restoran hotel bersama Bu Marini dan suaminya sembari makan malam. Di setiap obrolan, aku bisa mengendus betapa bangganya Bu Marini bisa ikut beribadah haji bersama biro milik Bapak. Dalam satu kesempatan duduk bersama itu, aku bisa menghitungnya ber-swafoto bersama istriku lebih dari tujuh kali. Entah di kesempatan mereka lainnya.

“Meskipun sedikit mahal, tapi marem, puas!” katanya terus terang. Mendengar itu, istriku tersenyum.
Suami Bu Marini tampak sedikit sungkan.

Tentu saja biro milik Bapak paling mahal untuk wilayah kami sebab Bapak memang membuat paket haji sekaligus seragam, oleh-oleh, dan air zam-zam.
Sebab itu pula, aku bisa seperti sekarang. Aku memang lulus kuliah jurusan ilmu komunikasi beberapa tahun yang lalu Selembar ijazah sarjanaku justru belum kugunakan. Bapak memintaku untuk membantunya mengurus biro haji yang ia dirikan.

Aku mengangkat ponsel. Hening sejenak. Terdengar napas Ibu yang berat. Ibu menangis.

“Bu,” sapaku. Ibu justru semakin terisak.

“Keputusan Bapak sudah bulat, Din,”

Aku terdiam cukup lama. Aku tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun yang kurasa pantas untuk kukatakan pada Ibu walaupun hanya sebuah kalimat penghiburan. Aku tahu, sesakit apa hati Ibu selama ini. Lebih dari tiga bulan yang lalu, Bapak memang ingin menikah lagi.

“Din,” Ibu berbisik. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara tawa Bu Marini dan istriku yang baru saja kembali dari restoran.

“Ya, Bu. Lalu, bagaimana dengan Ibu?”

“Ibu ikut kamu dan Surya.”

Telepon ditutup. Istriku melihatku dengan pandangan aneh. Tawanya yang amat renyah beberapa saat yang lalu hilang melihatku duduk tanpa kata-kata di atas ranjang.

“Ibu dan Bapak akan bercerai.” kataku menutup malam kami di Jogja.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, perasaanku gaduh. Pematang sawah yang hijau subur serta angin menjelang siang yang digiring daun-daun trembesi di sepanjang jalan, tak mampu memberi rasa teduh.

Di kejauhan sana, aku melihat Tajudin, temanku sejak masa kanak-kanak, sedang menggembala kambingnya. Betapa sederhana ia dari dulu sampai sekarang. Ia memang lulus dari jurusan pertanian, namun menolak saat mendapat panggilan di sebuah lembaga milik negara beberapa tahun yang lalu. Ia memilih beternak kambing. Keahliannya sejak kecil.

“Yang tadi itu Mas Tajudin, bukan, Mas?” tanya Bu Marini padaku. Aku mengernyit, tak menyangka jika mereka saling kenal.

“Iya, Bu, teman saya sejak kecil. Ibu kenal?”

“Lho, Mas Din iki piye to? Dia itu yang memasok kambingnya ke warung saya.”

Bu Marini lantas bercerita panjang. Tentang warungnya yang ramai, juga tentang Tajudin yang setiap beberapa hari sekali mengirim kambingnya untuk sate Bu Marini. Ia juga kagum dengan Tajudin yang sederhana. Meski berpunya, namun tetap biasa saja. Anaknya bahkan masuk ke pesantren di kota.
*

Setelah urusan perceraian Bapak dan Ibu selesai, aku dan istriku pindah ke sebuah kontrakan. Meskipun Bapak tak pernah mengusir kami, hatiku sama sekali tak tenang melihat Ibu pulang ke rumah kakekku di Grobogan. Aku juga tak ingin membebani mereka dengan ikut tinggal di sana. Berbekal tabunganku yang tak banyak, aku menyewa sebuah rumah kontrakan.

Biro Bapak, aku tak tahu siapa yang mengurus. Barangkali istri mudanya. Adikku, Surya, yang dulunya bertugas mengurus oleh-oleh jamaah, kini juga ikut Ibu ke Grobogan.

Istriku baru selesai memasak pagi itu. Sayur kol bening dan sambal terasi. Anakku berkali-kali merengek minta pulang, sebab tak tahan dengan udara panas di kontrakan. Berkali-kali pula aku menghiburnya. Kukatakan padanya, bahwa saat ini, kami sekeluarga sedang berlibur di penginapan.
Setelah menyantap sayur bening, ponselku bergetar. Ada sebuah orderan dari penumpang. Setelah tabunganku menipis, aku memang menjadi tukang ojek daring. Pekerjaan yang kurasa pas untukku saat ini. Tak terlalu membutuhkan tenaga, tetapi hasilnya lumayan.

“Sudah lama tinggal di sana, Dik?” tanyaku pada penumpang di tengah perjalanan kami.

“Dua tahun, Pak. Eh, Pak, nanti di pertigaan, belok kiri.” tunjuknya.

Aku lekas menyalakan lampu sein ke kiri. Entah perasaan macam apa yang kurasakan saat itu sebab aku membelokkan motorku ke jalan satu-satunya menuju rumah Bapak. Namun, untungnya, penumpangku meminta untuk membelok ke kiri lagi sehingga aku tak perlu melihat rumahku yang dulu.
“Itu, Pak, rumah saya,”

Aku melongo melihat Tajudin di depan rumah. Sama sekali tak menyangka jika yang kubonceng ini adalah anaknya. Anaknya pun keheranan sebab tak menyangka jika ojek yang dipesannya adalah tetangganya sendiri.

“Ini, aku titip buat anakmu,” ucap Tajudin setelah mengucapkan terima kasih. Aku tahu, yang ia masukkan ke dalam saku jaketku adalah beberapa gulung uang.

“Ah, nggak perlu begini, Taj.”

“Nggak apa-apa. Tak perlu menunggu kaya kalau mau sedekah. Itu yang selalu kamu bilang saat ceramah. Jadi, jangan menutup pintu sedekahku.” katanya pelan. Ia berbicara sangat halus, seolah takut jika akan menyinggungku.

Aku mengangguk, getir. Secepatnya, aku pamit dan menyusuri jalan sepanjang satu kilometer itu dengan kecamuk perasaan yang tak bisa kubahasakan.

Gemolong, 2020-2023
Latif Nur Janah, lahir dan besar di Gemolong, Sragen. Menulis fiksi dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Buku pertamanya, Suwung, adalah kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa ( Surya Pustaka Ilmu, 2022). Bisa dihubungi lewat pos-el latifnurjanah@gmail.com.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here