Keranda Janji

2
154

“Kak, Emak enggak mau makan dari pagi tadi, lho. Aku udah coba suapin, tetapi Emak tetap diam dan menangis. Mungkin Emak nunggu Kakak yang suapin,” kata Nazla, khawatir.

Nazla, adikku yang paling kecil, biasa dipanggil Lala. Ia sangat manja pada Emak. Wajar saja dia khawatir, karena ia yang paling dekat dengan Emak. Gadis dengan bola mata cokelat itu kini mulai lesu saat melihat Emak makin lemah di atas kasur. Bibir tipis yang nyaris terkatup sejak hari itu. Wajah sendunya kini mulai tampak. Tangannya gemetar ketika mencuci rambut Emak. Aku berusaha meyakinkan bahwa Emak akan baik-baik saja.

Aku mencoba membuatnya marah, mungkin dengan marah bisa membuat wajahnya sedikit berubah dan setidaknya ada energi yang bangkit dari tubuh mungilnya itu.
“Halah! Bilang aja kalau kau itu udah bosan nyuapin Emak, minta gantian sama aku. Aku kan, udah ngurusin Emak di rumah sakit. Sekarang di rumah gantianlah kau yang urusin. Gitu aja ngeluh.”

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya mengangguk dan menyuapi Emak lagi. Namun, tetap saja, wanita hebat yang merawat kami selama ini makin menangis. Aku jadi merasa bersalah dengan kata-kataku sendiri. Kutenangkan hati Emak agar tak menangis lagi.
“Emak, maafin aku, ya? Aku enggak bermaksud berkata seperti itu. Yang kuinginkan saat ini agar Emak cepat sembuh dan Lala tidak melemah. Sebab, kalau dia lemah, Emak juga hilang semangat. Maafkan aku, Mak.”

Air mata pun tak sanggup kubendung lagi. Tumpah ruah begitu saja membasahi wajahku. Emak tetap tidak bersuara. Ia hanya mengangguk dan mencengkeram tanganku. Cengkeraman yang begitu kuat membuatku takut. Takut kehilangannya. Tatapan matanya seolah-olah bicara dan mulutnya bergetar. Tangan dinginnya tak lepas meremas jari-jariku. Sakit, teramat sakit kurasa. Apa yang terjadi dengan Emak saat ini? Tidak biasanya Emak seperti ini. Apa Emak … ah, apa yang kupikirkan? Aku harus berpikiran positif, Emak harus sembuh, harus.

Kucoba mulai pembicaran lagi dengan Emak. Barangkali ia mau bicara.
“Mak, Emak kenapa? Kenapa Emak menangis? Sepertinya Emak sangat lelah. Istirahat, ya, Mak? Tidur. Siapa tahu nanti Emak bangun jadi segar lagi,” seruku sambil mengusap keningnya.

Emak hanya menggeleng. Aku makin takut, karena tubuhnya makin dingin. Kuraih gawai di atas meja dekat kasur Emak. Kuhubungi semua adikku agar langsung datang ke rumah. Aku menyuruh Lala untuk memanggil Bapak yang sedang mengurus ayam kesayangannya di belakang rumah. Namun, ia tak bergerak sama sekali, hanya terpaku duduk di samping kiri Emak. Aku pun hanya mampu berteriak memanggil Bapak, agar Bapak cepat datang.

“Pak, Pak! Cepat ke sini, Pak! Lihat Mak, Pak! Pak…” suaraku seakan menggetarkan seluruh dunia.
“Ya Allah, kenapa sih May? Kenapa teriak-teriak? Nanti tetangga pada datang, Ada apa?”
“Coba panggil bidan Pak, sepertinya Emak demam, cepat Pak, cepat!”
Bapak juga enggak menggubris perkataanku. Bapak menjamah tubuh Mak, dan mengatakan bahwa kita semua harus banyak-banyak berdoa dan pasrah pada Allah SWT.

Aku enggak mau tinggal diam, Bapak tetap kuminta untuk memanggil bidan dekat rumah dan memastikan bahwa Emak baik-baik saja. Aku tahu apa maksud Bapak berkata seperti itu. Aku tidak rela. Aku belum siap kehilangan wanita terhebat dalam hidupku.

Sudah 30 menit Bapak pergi untuk memanggil bidan, tetapi tak kunjung datang juga. Sementara emak terlihat makin lemah. Tak berapa lama, kudengar suara motor Bapak.
“Alhamdulillah. Kalau gitu, langsung aja, Sus, cek keadaan Emak,” kataku sembari menarik tangan suster paruh baya itu.
“Tubuh Ibu ini dingin. Sepertinya ini bukan demam, Pak”
“Maksud Suster apa? Suster mau bilang kalau Emak saya mau meninggal gitu, Sus? Disuntik atau diinfus dulu, ‘kan, bisa, Sus! Udah pengalaman merawat pasien, ‘kan? Terus, kenapa suster hanya diam? Jawab, Sus!” kataku dengan nada keras.

“Sabar, Maya, sabar. Maksud Suster ini baik, bahkan dia sudah pengalaman puluhan tahun. Jadi, enggak baik kalau kamu berkata seperti itu!” seru Bapak sembari menepuk-nepuk pundakku.
“Astagfirullah! Maafkan saya, ya, Sus? Saya belum siap menerima ini semua.”
“Enggak apa-apa, Bu. Saya paham, kok, gimana perasaan Ibu sekarang. Saya periksa denyut nadinya, ya, Bu? Mungkin saja masih bisa diinfus.”

Ketika Suster sedang memeriksa denyut nadi Emak, adikku Hartika datang dan langsung memeluk Emak.
“Mak, Ya Allah, apa yang terjadi dengan Emak, Kak? Emak kenapa?” tanya Hartika, mengguncang tubuhku.
“Aku juga enggak tahu Emak kenapa. Dari tadi pagi memang sudah begitu keadaannya. Kita doakan aja Emak cepat sembuh, ya?”
“Tapi, Kak, Emak terlihat seperti ….”
“Hussss …!”
Hartika adikku nomor tiga. Aku anak pertama dari lima bersaudara. Hartika baru saja melahirkan, jadi wajar jika dia tidak pernah ke rumah, karena masa nifasnya belum habis. Tidak seharusnya dia datang. Namun, melihat keadaan Emak, terpaksa aku menyuruhnya datang. Tinggallah dua adik laki-lakiku. Keduanya bekerja di luar kota dan baru tiba esok hari.

Waktu pun makin senja. Namun, Emak belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sembuh. Berulang kali suster mencoba mencari nadi untuk memasukkan jarum infus, tetapi hasilnya nihil. Kami hanya bisa pasrah melihat Emak makin terkulai. Bapak pun mengantar suster itu kembali ke rumahnya. Sekembalinya Bapak, tiba-tiba saja Emak menyebutkan namaku terbata-bata.
“M … ma … maa … ya ….”

Aku pun langsung menghampiri Emak dan memeluknya. Emak membalas pelukanku begitu erat dan meminta maaf. Aku hanya mengangguk dan tak dapat berkata apa-apa lagi. Tangisanku membasahi bajunya. Baju kesayangannya, baju daster dengan motif batik hijau memperindah parasnya. Meski kurus dan keriput, Emak terlihat cantik. Aku seakan-akan tak ingin melepas pelukan itu. Pelukan hangat dan terasa damai sekali.

Aku, Bapak, Hartika, dan Lala duduk di samping Emak.
“Mak, tidurlah, Emak semalaman belum tidur dan sepertinya sangat lelah. Nanti kalau Emak bangun, Maya masakin bubur ayam kesukaan Emak,” kataku sambil menangis.
Emak pun mengangguk dan berusaha menuruti kata-kataku. Pegangan tangannya tak lepas dari tanganku. Tanpa terasa, waktu magrib hampir tiba. Bapak pun akan menunaikan ibadah wajibnya terlebih dulu.
“Kalian jaga Emak dulu, ya? Bapak mau salat.”
“Ya, Pak,” jawabku.
Entah kenapa, ketika Emak akan memejamkan mata, aku menyuruh Emak mengucapkan kalimat syahadat.
“Asyhadu alla ilaaaha illalla….h, wa asyhhadu anna muhammadar rasuulullah ….”
Emak mengikuti ucapanku dan langsung tertidur.

Hartika mengagetkanku dengan teriakannya.
“Kak! Sepertinya Emak bukan tidur, tetapi udah ninggalin kita, Kak. Lihat aja tangannya udah enggak genggam jari-jari Kakak lagi.”
Aku langsung memeriksa keadaan Emak. Kupegang tangan Emak berubah hangat yang tadinya sangat dingin. Denyut nadinya pun tidak kurasakan lagi. Kami menangis histeris memanggil-manggil Emak.

“Mak, bangun, Mak! Bangun!” Aku menciumi kening Emak dan akhirnya basah karena cucuran air mata.
Hartika pingsan dan harus dirawat di rumah sakit karena mengalami pendarahan. Aku sangat bingung saat itu. Namun, aku enggak bisa ninggalin Emak. Kupasrahkan Hartika dengan suaminya. Karena teriakanku, suamiku berlari sangat kencang, anak-anak pun menyusul. Memang saat itu anak-anakku tetap di rumah karena harus menyelesaikan PR lebih dulu. Rumahku tak jauh dari rumah Emak, sebab waktu itu Emak yang mencarikan rumah, supaya enggak jauh dari cucu, katanya.

Bapak dan suamiku mengurus semuanya dengan cepat. Tetangga pun sudah berdatangan melayat. Terlebih nenekku, dikabarkan Emak meninggal beliau langsung datang. Ruangan kembali gaduh oleh orang-orang mengaji diselingi isak tangis para pelayat, terutama nenekku. Nenek pingsan saat melihat jenazah Emak. Isak tangis kembali riuh, saudara-saudaraku yang lain pun terlihat bahwa mereka sangat mencintai Emak. Aku masih belum memercayai ini semua. Walau bagaimana pun aku harus ikhlas, karena enggak mau menyulitkan Emak nantinya.

Karena fokus pada Emak, aku melupakan adikku yang lain, Lala. Sejak tadi ia tak bersuara, bahkan tidak ada air mata yang jatuh di pipi. Apa yang terjadi padanya? Apa ia tidak menyayangi Emak? Itu tak mungkin terjadi. Mungkin kesedihannya tidak bisa terbayar dengan air mata. Kupeluk dan kubisikkan di telinganya.
“Emak udah enggak sakit lagi, jadi enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Lala hanya mengangguk pertanda menyetujui perkataanku. Malam pun makin larut, hanya ada keluarga besar kami. Nenek juga enggak memercayai ini semua, tetapi beliau harus ikhlas merelakan kepergian Emak.
Rasanya ingin sekali kuhentikan perjalanan waktu hingga detiknya tak berputar lagi. Ah, andai aku bisa mengulang waktu kebersamaan dengan Emak, akulah manusia yang paling bahagia di dunia ini. Namun, aku hanya manusia biasa yang tak memiliki kekuatan untuk itu.

Aku masih sangat ingat waktu Emak dirawat di rumah sakit. Beliau berjanji padaku akan sembuh dari penyakitnya. Penyakit yang sampai sekarang belum diketahui asal muasalnya dari mana dan penyebabnya apa. Namun, ia yakin bahwa ini semua adalah cobaan terindah dalam hidupnya. Ternyata inilah jawaban itu, janji itu. Janji sembuh dari penyakit yang ditukar dengan keranda. Subhanallah .…
Matahari mulai menyapaku pagi itu. Pagi yang mengubah rutinitasku seratus persen. Biasanya aku sudah seperti setrikaan panas yang harus bolak-balik mengurus anak-anak dan Emak. Meskipun suami membantu, tetapi tetap akulah yang harus menyiapkan semua keperluan Emak. Memandikannya, mengganti popok dewasanya, menyisir rambut, hingga memberikan aroma minyak kayu putih. Beliau suka sekali dengan wangi itu, segar katanya.

Kini, aku hanya bisa memandangi wajahnya untuk terakhir kali. Persiapan untuk memandikan jenazah pun selesai dan aku pun siap memandikannya. Tangan ini gemetar ketika harus mengusap wajah Emak. Matanya terpejam seperti orang yang sedang tidur. Kupandangi wajah itu sepuas hatiku, kelak tak akan terlihat lagi selamamya.

Kedua adikku pun tiba. Aku tahu bagaimana perasaan mereka saat ini. Meskipun mereka laki-laki, tetapi tetap saja, aku bisa melihat raut wajah mereka yang sendu, tidak bersemangat, dan seperti kehilangan tenaga. Tubuh lunglai, mata bengkak. Ini menandakan bahwa mereka telah menangis selama masa perjalanan. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya pelukan yang mampu kulakukan untuk mengurangi kesedihan mereka.

Tibalah saat-saat terakhir, ketika mengantarkan Emak ke tempat yang paling indah, istirahat terakhirnya. Jantungku berdetak kencang ketika Emak dimasukkan dalam keranda itu. Kakiku kaku. Tubuhku seakan-akan tanpa tulang, tak mampu rasanya membawa diri ini. Aku harus kuat, karena inilah momen terakhirku bersama Emak. Sirine meraung-raung dari mobil jenazah menuju pemakaman.
Wajah itu tak pernah hilang dalam ingatanku, kusimpan di sudut hati yang paling dalam. Terbayang senyum indahnya di langit yang terbentang luas. Apa yang bisa kulakukan saat ini hanyalah membayangkan semringah itu ketika kutatap langit. Dalam kebisuan malam, aku hanya bisa menorehkan tinta yang harusnya kuungkapkan langsung padamu. Emak, aku rindu.


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here