Kakek Wan dan Mimpinya

3
126

Malam ringkih. Gelapnya menjadi-jadi oleh mendung. Petir bersahut-sahutan, seolah-olah sedang berdebat kapan air langit akan jatuh. Tiada lampu-lampu yang menyubsidi cahaya di rumah Kakek Wan. Pun, lampu teploknya telah kehabisan minyak tanah.
Kenaikan tarif listrik membuat orang-orang makin pelit. Mereka memasang skala prioritas. Mengutamakan yang paling penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Kakek Wan yang miskin dan hidup sebatang kara di rumah reyotnya tidak saja dianggap tidak penting melainkan seolah tidak ada.

Dahulu ketika seorang calon kepala daerah mengunjungi desa itu, timnya memberi bantuan lampu-lampu jalanan yang menerangi tiap penjuru kampung hingga ke pelosoknya yang berbatasan dengan hutan. Baru sebulan dipasang, sudah banyak lampu yang mati. Warga hanya memperbaiki lampu yang bersangkutan dengan kepentingan pribadi mereka masing-masing sedangkan deretan lampu yang menuju hutan dibiarkan mangkrak. Tidak tersentuh perbaikan.

Toh, mereka beranggapan tidak mempunyai kepentingan pergi ke pelosok desa pada malam hari. Mereka hanya akan ke hutan yang berada tidak jauh dari rumah Kakek Wan ketika siang untuk menjarah kayu bakar. Kelangkaan dan kenaikan tabung elpiji, memaksa warga sesekali kembali ke kayu bakar. Apalagi ketika tengah ada hajatan besar. Penghematan.

Rumah Kakek Wan kembali gulita. Ia tidak punya dana untuk memasang listrik. Biasanya berbekal lampu teplok, mata tua Kakek Wan senantiasa waspada mengenali mana akar kayu mana ular. Namun ia tidak sempat ke kota membeli bahan bakar lampu teploknya yang tidak lagi ditemukan di warung-warung desa.

Malam itu, Kakek Wan sulit pejamkan mata. Angan membawanya mengembara. Menyeberangi lautan kemungkinan. Menerbangkan menuju angkasa harapan. Deras ilham mengucuri kepala Kakek Wan. Sebagai lansia, tidak ada yang paling diinginkannya kecuali menyambut malaikat kematian dengan kedamaian. Akan tetapi dia tidak akan tenang selama masih memendam dalamnya rindu pada anak cucu. Sekali saja sebelum ajal tiba, ia ingin berkumpul dengan anak cucunya.

Anaknya ada lima. Empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Semua bekerja, menikah dan beranak pinak di perantauan. Sejak istri Kakek Wan meninggal lalu warisan dibagi-bagi, anak cucunya tidak lagi datang mengunjungi rumah kakek Wan. Sebuah rumah reyot dengan satu kamar, ruang tamu dengan kursi dari bambu, dan dapur kayu.
Rumah yang tidak ada harganya itu berdiri miring di tanah yang sudah diaku sebagai milik anak pertama. Kakek Wan yakin sepeninggalnya nanti, rumahnya akan dirobohkan dan tanahnya akan dijual.
Pedih hati Kakek Wan membayangkan peristiwa yang kian nyata di hadapan mata. Dengan pikiran yang menggila karena bayangan yang menakutkan, Kakek Wan menyusun rencana gila.

Bagaimanapun rumahnya akan roboh sendiri oleh cuaca ataupun waktu, maka daripada saat nanti rumahnya roboh kemudian merepotkan orang-orang, Kakek Wan memutuskan merobohkannya sendiri. Lagian, rumah reyotnya bisa jadi alasan anak cucunya tidak mau datang. Lepas itu, Kakek Wan akan membangun sebuah istana. Yang dengan itu Kakek Wan berharap besar anak cucunya berminat berkunjung.
Kakek Wan mengenang masa mudanya. Ia bukan orang sembarangan. Dengan otak dan tenaga, Kakek Wan sudah menukangi pembangunan masjid, sekolah dan tempat-tempat wisata. Ya, dengan dua modal besar itu Kakek Wan yakin bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.

Pagi buta, Kakek Wan gegas bangun. Ia sudah tidak sabar memulai proyeknya. Pertama-tama ia akan membongkar rumah reyotnya. Ia tidak jadi merobohkannya karena bagaimanapun rumah itu sudah menyimpan banyak kenangan. Bukankah tiap kenangan adalah sesuatu yang mengakar kuat dan sulit dicabut?

Selanjutnya Kakek Wan kerja keras tiap hari. Mengayunkan cangkul. Menggali dan menggali. Walau seorang diri pula renta, semangat Kakek Wan tak kalah dari Bandung Bondowoso yang berambisi meminang Rara Jonggrang. Meski tidak dibantu oleh bangsa jin sebagaimana Bandung Bondowoso, tetapi Kakek Wan punya kekuatan lain yang jauh lebih besar. Doa.
Tidak ada yang tidak mungkin. Jika Tuhan menghendaki terjadi maka terjadilah. Setahun berselang, istana yang diimpikan oleh Kakek Wan telah sedikit terwujud. Sebuah tangga ke ruang bawah tanah berhasil diciptakan Kakek Wan dengan cangkulnya. Mimpi Kakek Wan masih panjang, ia masih harus membangun lima ruangan lagi untuk anak dan cucunya.

Siang itu, lima tahun telah berlalu, Kakek Wan mengipas-kipaskan caping ke tubuh bagian atasnya yang telanjang. Sembari melepas penat serta menepis rasa pegal yang mengikat sendi-sendi raga tuanya, Kakek Wan meminum air dari kendi. Bekalnya hanya tersisa itu saja lantaran singkong bakar sudah habis sedari tadi.
Baru akan mulai mencangkul lagi, rombongan warga dan perangkat desa tiba. Mau tak mau Kakek Wan menunda pekerjaan demi melayani pertanyaan mereka.
“Siapa yang membuat gua ini?” Angkuh seorang perangkat desa menginterogasi bak polisi.
“Saya, Pak.”
“Kakek sendiri yang menggalinya?”
“Iya. Ada masalah?”
“Tujuannya?”
“Apakah kalian akan membantu bila saya kasih tahu?” Sinis Kakek Wan memandangi kerumunan. Sakit hatinya yang dulu, mencuat kembali ke permukaan.

Acuh tak acuh Kakek Wan meninggalkan kerumunan. Kembali ke gua, proyeknya, dan mimpinya. Tak dipedulikannya kerumunan orang yang tiap hari berduyun-duyun datang. Melontarkan komentar serta kekaguman. Kakek Wan masih tidak peduli. Bahkan ketika ada wartawan datang untuk meliput, Kakek Wan memilih bekerja daripada diwawancarai.
“Hampir semua mimpi bisa diwujudkan oleh televisi,” ucap salah seorang wartawan.
“Benarkah?” tanya Kakek Wan meminta kepastian.
“Ya. Kakek mau apa? Ketenaran, kekayaan atau….”
“Aku mau cucuku datang ke sini.”
“Oh, ternyata itu yang Kakek mau. Mudah saja itu, Kek. Cucu kakek pasti akan datang saat tahu kakeknya menciptakan sebuah maha karya untuk mereka.”

Wartawan ternyata tidak berbohong. Kakek Wan mendapat kabar dari putra pertamanya bahwa cucu-cucunya akan datang berkunjung pada hari Minggu nanti. Jantung Kakek Wan berdegup tidak sabar menanti hari yang dijanjikan itu tiba. Namun pada suatu malam, sebuah persekongkolan menghapus mimpi Kakek Wan yang hampir tercapai.

Minggu pagi, Kakek Wan terbangun di ranjang sebuah rumah sakit jiwa dengan tangan terikat. Sementara gua hasil karyanya telah dipasangi garis polisi. Desas-desus mengatakan, pemerintah desa akan menjadikan gua itu sebagai tempat wisata di mana pendapatan retribusi dan parkir akan masuk ke kas daerah.


3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here