Resiliensi Komunitas, Langkah Emas Menuju Ketahanan Terhadap Bencana

3
98

Oleh: Yeni Mulati

Tanggal 26 Desember 2004 merupakan hari berkabung internasional. Gempa dan tsunami yang menurut United States Geological Survey (USGS) bermagnitudo 9,1  menimpa Aceh dan berdampak pada 16 negara lainnya. Tempo (26/12/2022) menyebutkan, 226.308 jiwa wafat karena musibah ini. Selain peristiwa tersebut, musibah demi musibah juga bertubi-tubi menimpa Indonesia. Misalnya Gempa Cianjur, yang terjadi 21 November 2022 kemarin, dilansir dari kompas.com (3/12/2022), menyebabkan sebanyak 334 jiwa meninggal.

Indonesia memiliki tingkat kebencanaan sangat tinggi, sebab berada di daerah Cincin Api Pasifik, serta pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Potensi kebencanaan yang sangat besar harus disertai dengan proses mitigasi (pengenalan dan kesadaran terhadap risiko-risiko bencana, serta serangkaian upaya antisipasi untuk memperkecil jatuhnya korban jiwa serta kerugian).

Salah satu bentuk mitigasi yang sangat efektif adalah memperkuat resiliensi komunitas. Menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC), resiliensi adalah ketangguhan atau kelentingan yang dimiliki individu, komunitas, lembaga/organisasi, atau negara yang terpapar bencana dan memiliki kerentanan terhadap bencana, untuk melakukan proses antisipasi dan persiapan dalam mengurangi dampak dan mengatasi efek bencana tersebut.

Resiliensi komunitas sangat penting dalam mitigasi bencana. Menurut Lusi Nuryanti PhD, pengampu mata kuliah Psikologi Bencana sekaligus wakil dekan Fakultas Psikologi UMS, bencana merupakan irisan tiga hal, yaitu hazard (tingkat bahaya/ancaman dari sebuah bencana), exposure (wilayah terpapar bencana), dan vulnerability (kerentanan objek terhadap bencana). “Semakin tinggi hazard, exposure dan vulnerability, maka tingkat bencana akan semakin besar. Sebuah bencana, meski secara hazard sangat tinggi, tetapi jika terjadi di daerah yang kosong, maka tidak akan menimbulkan korban jiwa,” papar Lusi.

Hazard tidak bisa dikendalikan. Belum ada teknologi yang mampu mencegah datangnya gempa bumi atau tsunami. Perilaku manusia juga membuat exposure bencana semakin meluas. “Contohnya, jika dahulu orang-orang menghindari daerah rawan banjir, sekarang karena terpaksa, orang membangun rumah di pinggir sungai,” jelas Lusi. Maka, yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah menurunkan derajat vulnerability, misal membangun rumah tahan gempa, membangun sistem peringatan dini, serta yang tak kalah penting adalah meningkatkan ketangguhan/ketahanan masyarakat terhadap bencana.

Oleh karena itu, membangun resiliensi komunitas sangatlah penting. Gotong-royong, saling membantu, dan dukungan sosial, merupakan unsur penting dalam terbentuknya resiliensi komunitas, yang merupakan langkah emas menuju ketahanan bangsa terhadap bencana. “Di Indonesia sudah tidak ada lagi zona hijau atau aman bencana,” kata Lusi Nuryanti. Tidak boleh ada yang egois. Seluruh elemen masyarakat harus bahu membahu, bekerja sama membangun bangsa, salah satunya dengan cara meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here