Tak Bernasab

1
56

Hujan mengguyur bumi. Deras. Tak ada jeda. Sahut menyahut guntur membuat siapa saja enggan keluar rumah. Kilat tampak seperti flash camera yang terus diputar.

Aku termenung. Menatap langit yang kelam sedemikian rupa rasanya ngeri. Namun, lebih nyeri saat mengetahui satu fakta tak terbantahkan tentang status diri ini. Ya, statusku sebagai anak manusia.

Bukan, bukan. Bukannya tentang jenis kelaminku. Jenis kelaminku jelas perempuan. Bukan gender netral seperti yang banyak didengungkan media. Namun, pada statusku sebagai seorang anak manusia.

Jujur rasanya hatiku benar-benar pilu. Ingin menangis menyaingi air mata langit yang kini menyapa bumi. Namun, rasanya mata ini telah kering. Airnya habis setelah semalaman suntuk kuteteskan.

“Maafkan kami, Nak. Kami….”

Ucapan pilu itu terdengar berdengung. Bunda yang selama ini aku hormati, sayangi, cintai, bahkan kubanggakan menangis pilu. Ia memelukku erat. Sembari mengatakan fakta yang tak bisa kubantah.

“Benar, Nak. Engkau memang Bunda lahirkan karena kami berzina sebelum menikah. Maafkanlah Ayah Bundamu yang banyak khilaf dan dosa ini!”

Masih kuingat dengan jelas. Tangisku pecah semalam. Buku nikah ayah bunda dan akta kelahiranku yang kupegang jatuh berserakan. Aku mundur menjauhi pelukan bunda. Aku tak sanggup menerima kenyataan.

Ayah terpekur. Laki-laki yang kukenal tangguh itu duduk menyembunyikan wajahnya. Mungkin dia pun sama sedihnya. Harus mengungkap luka lama yang sebenarnya telah lama tertutupi.

Tak ada pilihan. Aku yang harus menyiapkan data-data untuk mengurus pernikahanku yang kurang sebulan lagi memaksaku membuka data lama. Kutemukan selisih hanya 5 bulan dari tanggal pernikahan ayah bunda, aku lahir.

Sebenarnya pertanyaanku hanya sederhana. “Yah, Bun, apa aku lahir prematur? Sepertinya Ayah Bunda lupa deh enggak cerita tentang hal ini.”

Hanya itu pertanyaanku semalam. Namun, nyatanya aku harus menerima kenyataan. Dosa lama yang tertutupi dengan rapi harus terkuak.

“Maafkan ayah, Nak! Ayah tidak bisa menjadi walimu di pernikahan nanti.”

Ucapan ayah bagai kilat yang menyambar-nyambar di luaran sana. Perih, pedih, menusuk dada. Menimbulkan bekas luka menganga yang tak terperi.

Aku terduduk pilu. Pelan tapi pasti, dalam tangisnya bunda menjelaskan bahwa mereka berdua dulu adalah remaja yang terjebak pergaulan bebas. Dua sejoli yang jatuh hati. Namun, jalan yang ditempuh salah.

Selepas tahu adanya aku di rahimnya, bunda segera memberi tahu ayah. Untungnya demi cinta ayah mau bertanggung jawab. Keduanya menikah, tak lama kemudian lahirlah aku.

Waktu terus berjalan. Gelombang hijrah pun menyapa keduanya. Meski sejak lahir keduanya memeluk Islam, keduanya baru paham Islam yang benar setelah mereka hijrah. Islam yang tak hanya mengatur urusan salat, puasa, zakat, atau haji. Namun, Islam yang juga mengatur urusan kehidupan. Termasuk pergaulan.

Kuingat dengan jelas. Suara parau ayah menambahi. Aku harus tahu fakta statusku sebagai anak. Karena, setelah hijrah ayah memahami bahwa aku tak bernasab padanya. Meski secara biologis aku anak ayah. Namun, secara nasab bukan. Sehingga, ayah tak bisa jadi wali dalam pernikahanku.

Jujur sampai detik ini aku tak bisa menerima kenyataan ini. Aku yang dididik keduanya dengan Islam. Keduanya membuatku menjauhi pergaulan bebas. Nyatanya mereka pernah terperosok ke jurang yang salah itu.

“Allah, bagaimana ini? Apakah pernikahan dengan Mas Ramadhan harus digagalkan? Maukah dia menerimaku dengan statusku yang…. Astaghfirullah!”

Pikiran itu bergelayutan manja di benakku. Ayah telah menerima pinangan calon suamiku. Anak sahabat dekatnya yang baru lulus dari universitas Mesir. Laki-laki yang beliau sendiri mengenal kesalehannya.

Sejujurnya, aku tak banyak mengenalnya. Hanya dua kali bertemu saat ia dan keluarganya menyampaikan pinangan dan kemarin pagi saat ia meminta data untuk mengurus administrasi pernikahan.

Sejujurnya belum ada rasa cinta dalam hatiku untuknya. Karena rasa itu masih tak halal untuk kumiliki. Hanya saja harapan aku bisa menjadi makmumnya yang bisa ia bimbing ke surga sampai detik ini tak bisa kulupakan.

Aku masih berharap ia mau menerima statusku dan tak mempermasalahkannya. Namun, sisi hatiku yang lain berontak. Pantaskah aku mendampingi laki-laki yang saleh sepertinya ketika tahu statusku demikian.

Aku tersungkur dengan mukenah yang belum kulepas sejak subuh tadi. Mukenah putih yang menjadi saksi bisu kepedihan dan rapalan doa-doaku. Doa-doa yang kupanjatkan untuk memohonkan ampunan Allah pada kedua orang tua yang kucintai. Diiringi doa-doa lainnya agar Rabbku menguatkanku dalam ketaatan.

Dering hp yang tergeletak di nakas kamar tak kugubris. Suara nyaringnya yang bersahutan dengan suara guntur di luar rumah tak kuanggap. Sampai, sebuah ketukan lembut terdengar di pintu kamarku.

“Ni, Nak Ramadhan menelepon ibu. Dia sejak tadi menghubungimu tapi belum kau angkat. Mungkin sangat penting sampai dia menelepon ayahmu.”

Mendengar nama laki-laki itu disebut segera kuhapus sisa-sisa air mataku. Aku mengambil hp yang teronggok di nakas. Ada 7 panggilan tak terjawab.

[Assalamualaikum]

Sebuah chat salam yang langsung kubalas dengan lisan bergetar. Di bawahnya tampak voice note tercengang biru.

Jemari kananku otomatis menekan tombol putar. Suara merdu calon imam hidupku terdengar bergetar.

“Bismillah. Laa tahzan Dek Rani!”

Deg. Hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia tahu aku sedang bersedih lalu memintaku jangan bersedih? Apa dia punya indra keenam?

Terdengar helaan nafas dalam. Lalu, suaranya kembali bergaung.

“Ayahmu sempat ke rumah semalam. Lalu, ayah ibuku telah bercerita semuanya. Mereka semuanya sama-sama memiliki masa lalu yang kelam hingga terlahir kita.”

“Astaghfirullah….” Kugigit bibirku ngilu.

“Maafkanlah kedua orang tua kita, Dek! Allah saja Maha Pengampun atas semua kesalahan hamba-hamba-Nya kecuali syirik. Bersyukurlah mereka telah hijrah dan mendidik kita hingga kita bisa terhindar dari dosa zina.”

Air mataku berderai. Aku terduduk. Gawai yang kupegang meluncur ke pangkuan.

“Bismillah. Dengan menyebut nama Allah, insyaallah, aku akan tetap melangkah untuk menjadi imammu. Semoga Allah izinkan kita berumah tangga sehidup sesurga.”

Batu, 23 Oktober 2022


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here