Sepatu Bintang

8
180

Bintang duduk di bawah akasia yang berdiri kokoh di pinggir lapangan bola. Ia menjulurkan kedua kakinya yang tanpa alas. Sesekali ia mengusap bulir keringat di wajah. Nafasnya masih ngos-ngosan. Bintang baru menyelesaikan babak pertama latihan bersama. Ini persiapan menghadapi turnamen antar kecamatan yang akan digelar sebentar lagi.

Gerakan Bintang yang lincah dan tendangannya yang akurat, membuat dia didaulat menjadi kapten kesebelasan. Setiap bertanding dan latihan, permainan Bintang selalu memukau. Namun hari ini latihannya tidak maksimal, semua gara-gara sepatu.

“Kakimu masih sakit, Bin?” Aan, rekan setim dan juga teman karibnya menghampiri.
“Udah agak mendingan, kok,” Jawab Bintang sambil menatap Aan sekilas, lalu memandang ke depan. Di sana teman-temannya masih berlatih menggiring bola, pun di waktu istirahat seperti ini. Cuaca sore masih menyengat, rekan setimnya makin bersemangat.

Bintang mengurut telapak kakinya yang tadi berbenturan dengan kaki lawan.
“Coba tadi pakai sepatu, tentu tak ‘kan seperih ini,” batin Bintang.
“Mana sepatumu?” Tanya Aan, seolah membaca bisikan hati Bintang.
Bintang mengulurkan sepasang sapatu yang ada di sebelahnya. Aan bolak balik mengamati sepatu tersebut. Saat bermain tadi, telapak sepatu tersebut copot. Sehingga Bintang melanjutkan permainan tanpa sepatu.

Sepatu tersebut memang sudah rusak. Di beberapa bagian sudah menganga.
“Kalaupun dilem, kayaknya gak bisa lagi dipakai,” Gumam Bintang. “Aku sudah minta dibeliin sama ibu, tapi ibu belum punya uang.”
“O gitu ya,” Aan mendengarkan keluhan sahabatnya itu. Mereka berdua sama-sama diam. Teriakan teman yang berebut bola mengisi kesunyian di antara mereka.
“Kenapa tidak pinjam saja?” Usul Aan.
“Sama siapa?” Ganti Bintang.
“Coba tanya dulu teman-teman.”

“Baiklah.” Bintang mengangguk. “Tapi setahuku, hanya kau yang punya dua. Sepasang sudah kau berikan padaku. Kini sudah rusak. Maaf ya,” Bintang menundukkan kepala.
“Iya gak papa. Sepatu itu sudah tua,” balas Aan.
Bintang mengingat-ingat , siapa di antara teman-temannya yang punya lebih dari satu pasang sepatu. Sejauh yang dia ingat, mereka umumnya memiliki sepasang sepatu, tapi apa salahnya mencoba.

Ibu belum pernah membelikan Bintang sepatu bola. Sepatu bola yang dipakainya selama ini adalah sepatu bekas pemberian Aan. Dua tahun lalu, saat ayah masih ada, Bintang punya sepatu kebanggaan. Sepatu bola biru tua. Warna kesukaannya. Ayah membelikan sepatu itu saat kenaikan kelas tiga.
Pritt. Pritt. Peluit tanda latihan babak kedua berbunyi. Suara tersebut membuyarkan lamunan Bintang tentang ayahnya. Di bawah pohon akasia, Aan mengibaskan dedaunan di celana bolanya. “Ayo kita ke lapangan,” ajaknya.

“Gak ah. Aku istirahat dulu. Tadi aku sudah izin sama pelatih,” balas Bintang.
Aan berlari kecil menuju tengah lapangan. Bintang menatap kepergian Aan ke pusat permainan. Di sana teman-temannya sudah berkumpul. Bintang mengikuti pertandingan babak kedua ini sebagai penonton, bukan sebagai sang kapten. Alangkah beruntung mereka, pikir Aan. Orang tua bisa memenuhi semua keinginan mereka.

***

Sore ini Bintang ke rumah Sonny, temannya yang ada di ujung gang. Dia mau pinjam sepatu. Mengikuti saran Aan. Namun dia hanya mendapat gelengan kepala. Nyaris seluruh rumah temannya, baik anggota tim maupun bukan sudah Bintang datangi. Hasilnya nihil. Mereka tidak punya sepatu, kalaupun punya hanya sepasang, itu pun mau dipakai.

Bintang juga sudah bicara sama ibu. “Kalau sekarang ibu belum punya uang. Nanti ya kalau sudah punya,” Jawabnya. Kalau tidak sekarang, lalu kapan? Padahal sepatu itu mau dipakai minggu depan.
Hati Bintang bergerimis, tapi ia tak ingin menangis. Bintang harus kuat, begitu pesan almarhum ayahnya.

Bintang duduk di dipan kamarnya, sambil memandangi foto dia dan ayahnya yang menempel di dinding. Foto ukurang 10R itu, berlatar lapangan bola kabupaten. Adiknya tidak ikut, karena masih kecil. Saat itu ayah baru saja bertanding. Tim ayah jadi juara satu sehingga tim mereka berhak maju ke tingkat provinsi. Ayah dan Bintang memakai kostum bola. Mereka tertawa bahagia.

Namun mungkin itu terakhir kebahagiaan mereka di lapangan bola. Saat ayah bertanding di Provinsi musibah itu datang. Kaki ayah berbenturan dengan kaki lawan. Kaki ayah patah dan harus menggunakan kruk di sisa usianya. Bintang tidak bisa menahan kesedihan. Mutiara mengalir dari kedua matanya.
Bintang mengalihkan pandangannya dari foto kenangan tersebut. Kini matanya beradu dengan poster pemain bola idolanya, Lionel Messi dan Bambang Pamungkas. Dia menatap kedua poster itu bergantian. Kedua poster tersebut mengapit foto Bintang dan Ayah.

Sejak Ayah pergi, kehidupan mereka memang cukup memprihatinkan. Setiap pagi ibunya harus membanting tulang. Pagi hari menjadi buruh cuci di rumah tetangga dan siangnya membantu Wak Hasan menggoreng kerupuk. Wak Hasan adalah sepupu jauh ayahnya yang peduli dengan kehidupan mereka. Dalam segala keterbatasan, ibu selalu menguatkan mereka. Ibu menasehati anak-anaknya agar selalu bersyukur dan bersabar. Setiap malam, setelah magrib ibu mengajari anak-anaknya mengaji kadang diselingi dengan cerita para Nabi. Hal ini menyebabkan Bintang dan adiknya menjadi sosok anak yang berbakti.

Dia dan adiknya-Awan, ikut meringankan beban ibu dengan berjualan kerupuk keliling. Mereka menjajahkan kerupuk dari rumah ke rumah sambil berjalan kaki sepulang sekolah. Tentu saja saat tidak ada jadwal latihan bola.
“Biar abang saja yang jualan ya, dik,” ucap Bintang sambil menenteng bungkusan kerupuk yang sudah diikat pada sepotong kayu. Bintang berusaha melarang adiknya yang masih berumur 8 tahun itu.

Awan hanya diam. Namun saat Bintang melangkah, Awan bergerak mengikuti. Akhirnya Bintang mengalah. Ia biarkan Awan ikut. Mereka berjualan kerupuk hingga senja datang.
Setelah pulang dari rumah Wak Hasan, Bintang memberikan uang upah mereka kepada ibu dan sebagian ditabung ke dalam celengannya.
“Alhamdulillah,” ucap Bintang sambil tersenyum melihat celengan ayam-nya.

***

Bintang berencana membuka celengan, sebab ibunya tidak punya uang untuk membeli sepatu bola. Inilah harapan terakhirnya. Awalnya celengan itu akan dibuka saat Bintang lulus SD. Artinya itu tahun depan. Bintang ingin membeli perlengkapan sekolah dengan hasil keringatnya sendiri. Kini dia akan memecahkan celengan berbentuk ayam ini. Bintang sempat ragu. Namun kemudian ia kembali meneguhkan hatinya. Ini demi mimpinya.

Malam itu diiringi suara jangkrik, Bintang menghitung pecahan lima ribuan hingga recehan lima ratusan rupiah yang keluar dari celengannya. Jantungnya berdebar. Berharap uangnya cukup untuk sepasang sepatu bola. Ternyata uang yang terkumpul 215 ribu. Dia mengucapkan syukur.

Bintang sudah bertanya dengan Aan berapa harga sepatu bola.
“Harganya bervariasi. Bergantung merk. Ada yang 200 ribu, 250 ribu dan ada yang lebih mahal dari itu,” begitu jawaban Aan.
Bintang tersenyum. Besok dia akan punya sepatu baru. Dia tidur dengan mimpi yang indah. Mimpi menjadi seorang bintang lapangan.
Namun besok pagi, rencana itu harus melayang bersama angin yang datang.

***

Ibu sangat panik. Dia berulang kali menyentuh kening Awan. Suhunya sangat panas. Padahal tadi malam masih normal. Kemarin sore masih asyik bermain kelereng bersama Bintang. Ibu sudah mengompres keningnya, tapi panasnya belum juga turun.

“Adikmu demam. Kamu ke sekolah sendiri saja, Bin.” Ucap ibu di tengah kepanikannya, karena melihat Bintang yang hanya termangu. Bingung mau berbuat apa. Pagi ini terpaksa Bintang pergi sendiri ke sekolah tanpa didampingi adiknya.
Saat Bintang pulang sekolah, mentari sedang menampakkan kegarangannya. Setelah makan siang, rencananya Bintang akan pergi ke rumah Aan untuk membeli sepatu. Tapi ia melihat wajah ibunya makin kusut. Awan terus saja menggigil. Awan sudah diberi obat warung, namun belum ada perubahan.
“Ibu mau bawa Awan ke puskesmas. Kamu jagain adik kamu dulu, ya.” Ibu buru-buru memakai sandalnya menuju ke halaman rumah.

“Ibu mau kemana?” Tanya Bintang. Dia mulai ikut cemas dengan kondisi adiknya.
“Ke rumah Wak Hasan, mau pinjam uang,” jawab ibu sambil menoleh sebentar.
“Gak usah bu,” cegah Bintang. “Pakai uangku saja.”
“Kamu dapat uang dari mana?” Ibu sempurna membalikkan badan. Terkejut.
“Aku buka celengan, bu. Buat beli sepatu. Maaf tidak bilang sama ibu,” Bintang menjelaskan.
“Tapi apakah uang 215 ribu cukup?” Tanya bintang kemudian, melihat ibu yang masih berdiri tertegun. Ibu mendekati Bintang, lalu memeluknya. Ibu mengelus kepala anak sulungnya itu. Mata ibu berkaca-kaca.

***

“Maaf, An. Aku gak jadi beli sepatu. Besok aku akan menemui pelatih. Aku akan mengundurkan diri,” Bintang bercerita saat Aan berkunjung ke rumahnya. Menanyakan kenapa dia tidak ikut latihan sore ini.

“Kenapa?” Kejar Aan. “Kamu adalah kapten tim. Larimu cepat. Gerakanmu lincah. Tidak ada yang selincah dirimu dalam tim kita. Strategimu juga sangat diperlukan dalam pertandingan ini, Bin. Tak ada yang bisa menggantikan posisimu.” Aan menyesali keputusan Bintang.
“Tapi aku tidak punya sepatu. Tabunganku dipakai berobat adikku kemarin.” Bintang menjelaskan. Ada rasa lega yang mengalir dalam darahnya, saat bercerita kepada Aan.

Besok sorenya, saat mentari masih bersinar terang. Bintang baru saja menutup pintu rumahnya untuk menemui pelatih, namun saat Bintang membalikkan badan, Aan bersama pelatih dan teman-temannya datang.
“Ini buat Bintang.” Pelatih memberikan sebuah bungkusan kepada Bintang.
Bintang bergeming. Apakah ini mimpi. Dia tahu itu adalah kotak sepatu.
“Ini dari teman-temanmu. Mereka urunan untuk membelinya,” pelatih kembali menjelaskan.

“Silakan dibuka,” suara pelatih menyadarkannya.
Perlahan Bintang membuka kotak tersebut, di dalamnya berdiri gagah sepasang sepatu bola. Berwarna biru. Warna kesukaannya. Bintang menatap sepatu itu, lalu menatap wajah teman-temannya. Aan dan teman-temannya mengangguk dan tersenyum. Lidah Bintang kelu. Dia tidak bisa berkata-kata. Teman-temannya bergantian memeluknya. Air mata Bintang mengalir tak bisa dibendung.
Terima kasih, bisik hatinya. Asa itu kembali terpancar di wajah sang bintang lapangan.


8 COMMENTS

  1. Ceritanya inspiratif. Lebih baik lagi dan menarik jika disisipkan gambar-gambar menarik yang sesuai dgn alur cerita.

    Tetap semangat dalam berkarya…!!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here