Hisbul memegang erat pinggang Bapak dengan kedua tangannya. Bapak dan anak itu sedang berboncengan naik sepeda motor melewati sebuah jalan tanah bercampur batu yang belum diaspal. Dalam perjalanan ini, Hisbul sedang menemani Bapak menuju ke rumah teman sekantornya.
Yang membuat Hisbul heran, setiap berpapasan dengan orang, Bapak pasti menganggukkan kepala. Waktu anak itu mengintip di kaca spion, dia melihat Bapak tidak cuma menganggukkan kepala, tapi juga menyunggingkan seulas senyum.
Hisbul tahu kebiasaan Bapak. Setiap bertemu orang yang tinggal di sekitar rumah mereka, Bapak memang selalu tersenyum ramah. Tidak jarang Bapak menyapa, menegur, lalu mengobrol dengan mereka. Itu karena Bapak mengenal mereka. Tapi, apa Bapak kenal juga dengan orang-orang yang berpapasan dengan mereka tadi?
“Pak. Bapak kenal sama orang-orang tadi?” Hisbul akhirnya menanyakan rasa keheranannya.
“Siapa? Orang-orang yang mana?” Bapak balik bertanya sambil melirik ke arah anaknya.
“Itu… Orang-orang yang tadi berpapasan sama kita.”
Bapak ber-ooo. “Nggak kenal, tuh,” sahut Bapak, enteng.
“Lho, kok Bapak mengangguk sambil senyum sama mereka? Padahal nggak kenal, kan?” Hisbul makin heran dengan sikap bapaknya.
“Ya, nggak papa.”
“Lho, kok gitu?”
“’Kan kita harus bersikap ramah sama siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Iya, kan?”
Hisbul menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Sayang, kepalanya ditutupi helm. Jadi, dia gagal menggaruk kepala.
Bapak menebak kalau Hisbul belum paham maksud perbuatan itu. Oleh karena itu, dia melanjutkan bicara, “Nabi Muhammad mengajari kita untuk bersikap ramah dan sopan kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang belum kita kenal. Karena dengan bersikap seperti itu, bisa jadi kita malah jadi berkenalan dan saling bersilaturahmi. Jadi tambah teman atau saudara, deh.”
Hisbul tidak menyahut dan Bapak pun kembali bicara, “Misalnya, kita datang di suatu tempat asing dan bertemu dengan orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya. Tapi karena sikap kita baik, maka ketika kita memerlukan bantuan, orang-orang asing itu pun, insyaallah, mau membantu. Sebabnya karena sikap kita yang baik itu, orang-orang jadi suka pada kita.”
“O… gitu,” tukas Hisbul pada akhirnya. Dia sudah mengerti penjelasan Bapak.
“Eh, itu dia rumah teman Bapak,” tukas Bapak, mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Jari telunjuknya menuding sebuah rumah bercat warna biru muda.
Hisbul mengangguk. Tidak lama kemudian, mereka sampai pada tempat yang dituju.
cerita yang manis.