Dandelion
Kisah yang mengguncangkan semesta
tentang para kekasih bermata surga
Dua jiwa yang menyalakan lentera di Tsur
saat ancaman pembunuhan mengepung mereka
Kekasih terlelap di pangkuan sedang Ash-Shiddiq mengerang karena bisa yang mengecup tanda cinta
Bulir itu menetes, membangunkan hangat dekapnya
Luka dikecapnya sebagai nikmat yang menyejarah
menggemparkan langit dan bumi
Ash-Shiddiq bersaksi di atas seribu pencaci
dalam remuk redam jasad terkoyak bertaruh nyawa tiada yang dirisaukan selain yang didamba
Begitupun ia yang terguncang hebat saat kulminasi kemenangan
An-Nasr menggema di dada para pejuang
Namun ialah telaga sakinah ketika risalah paripurna dan semesta hujan dukacita
Dandelion, para kekasih telah membeli surga dengan harta dan jiwa
sedang kita buih yang digulung ombak dan dibenturkan karang
Namun harap terus menyala berada di sekelilingnya
dengan luka yang menetes di lautan karunia
azam jatuh bangun dihantam realita
peluh yang menderas memanggul amanah
lelap yang direbut gelisah
jua mimpi perjuangan yang mengisi malam
dan air mata yang tumpah di tubuh puisi
kita nikmati sebagai anugerah
Memilih jalan sepi dan kekhawatiran terus meracuni teguh hingga merasa berjuang seorang diri
Dandelion, kuntumnya terjaga
menggenggam karsa yang menuntun tekad
Kirananya melangitkan kasih dari risalah paling suci
sebaik insan sepanjang zaman
dan bakti kita adalah keniscayaan
Ia rekah yang derana
selepas hempasan prahara
tegak di segala musim
tubuh yang dibasuh hujan selawat
telah memangkas jarak surga
Antara khauf, asa, dan cinta
di manakah kita?
Cirebon, 10 Desember 2022
Nadir
Kita himpun kembali
Nyali ditelan prahara
yang meringkuk sejak lama
Kata yang menggelepar di penjara;
mengunyah jarum jam
Melesat jauh tak terengkuh
Kautahu, pintu malam diam-diam menikam
deras gumam yang tertawan
dalam kubangan kemasygulan
“Kapan kita berjalan kembali?”
tanya yang berdesakkan
Membuncah pada nadir
yang bertumpu pada sumarah
Lantas, segenap daya berkelindan
dalam pusaran doa
yang menggetarkan cakrawala
Cirebon, 24 Januari 2023
Sketsa
Potret yang dibingkainya dalam semarak
dimensi waktu
Tlah ditunggu bersama ribuan peristiwa
yang menjadi pancarona dalam kanvas
hayat menggelora
“Kata apalagi yang masih tersisa dalam kisah menggemuruh?”
Pekiknya di hamparan manuskrip yang berserak lecak
Riuh tak terbendung
sayatan kisah porak poranda
yang berulang kali patah
Dalam degup gamang
diraihnya kuas dan pena
yang tlah mengering lama
kembali pekat
Dibubuhi noktah pada kanvas baru
yang dibelinya dengan air mata;
asa menyembilu di putaran masa
Mendedahkan suratan
dalam segenap azam yang masih bersuluh
Cirebon, 24 Januari 2023
Biodata Penulis
Penulis bernama lengkap Nur Zulfiani Imamah yang memiliki nama pena Nurul Mahabbah. Ia merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cirebon. Aktivitasnya sekarang menjadi pengajar di SMP Negeri 1 Plumbon Kabupaten Cirebon.
Penulis aktif menulis puisi di media massa lokal maupun elektronik. Pembaca dapat mengontaknya ke sur-el : nurzulfiani.imamah@gmail.com.