Ibrahim Telah Menemui Tuhannya

1
54

Asap hitam semakin tebal membubung dari ratusan ban-ban besar yang dibakar di sepanjang perbatasan. Langit semakin pekat dan udara semakin panas seumpama padang sahara. Sementara angin dari laut Gaza terus berhembus menerbangkan layang-layang kertas dengan motif bendera empat warna yang diterbangkan oleh para pemuda. Hitam, putih, merah, hijau. Bukan layang-layang biasa. Mereka membubuhkan api dan bensin di ujungnya untuk membakar tanah-tanah yang dikuasai Israel yang berjarak beberapa ratus meter dari mereka.

Ratusan hektar tanah pertanian di perbatasan Gaza yang berada di bawah kekuasaan Zionis itu hangus terbakar. Padang gandum telah berubah menjadi abu hitam yang tak lagi berharga. Menteri pertanian dan Menteri Pertahanan Zionis sesumbar mereka akan membayar kerugian yang mereka derita dengan serangan. Tapi gertakan itu tak ada artinya bagi orang Gaza. Karena bagi mereka, hidup di dalam blokade selamanya ancaman dan kesengsaraan. Kau hanya perlu memilih melawan atau hanya tetap diam? Jika kau diam, kau tetap menderita. Jika kau melawan, setidaknya kau punya kehormatan.

Lihatlah, tambang-tambang besar direntangkan dan teriakan-teriakan timbul tenggelam diantara pekikan. Anak-anak dan pemuda membawa batu dan ketapel, perempuan-perempuan bergerombol dengan bendera Palestina yang berkelepak hampir di setiap penjuru.

Satu bendera raksasa tertancap di tengah-tengah ribuan manusia yang menyemut, seakan-akan panji bagi optimisme yang mereka bawa, bahwa mereka akan pulang ke tanah mereka yang terpisah kawat dan tembok. Diantara mereka ada yang membawa replika kunci sembari mengacungkannya menghadap langit. Kunci-kunci yang masih mereka simpan di rumah mereka adalah harapan dari masa depan yang lebih cerah. Bahwa mereka dahulu melarikan tanah dan rumah mereka untuk mengungsi dari kekejaman anjing-anjing zionis. Tapi mereka tidak akan pernah melupakan harapan bahwa suatu saat mereka akan kembali dengan kunci rumah di tangan kanannya. Mereka akan merebut kembali ladang-ladang pertanian dan tempat gembala. Tak peduli jika tanah-tanah itu telah berubah setelah anjing-anjing zionis itu datang dan merampasnya.

Kau lihat, ada para jurnalis sibuk dengan kameranya. Membidik setiap aktivitas dan apa yang memang pantas untuk diketahui dunia. Penjuru-penjuru lain di planet bumi layak untuk mengetahui aksi besar tersebut, begitu pikir mereka. Walau mereka tahu bahwa mereka bisa saja menjadi umpan maut yang siap mengintai di antara sniper-sniper zionis yang siap membidik mereka. Atau mungkin peluru nyasar yang melumat lambung dan menembus batok kepala.

Dua minggu yang lalu, Amer, seorang jurnalis berusia kepala tiga telah mengorbankan mata kirinya. Peluru sniper menghancurkan bola mata kirinya dan dia kini masih terbaring di rumah sakit untuk pemulihan. Dua hari setelah itu, seorang jurnalis bolong hidungnya karena tertembus peluru. Masih beruntung nyawanya bisa tertolong. Jadi, aku pikir semua jurnalis harus mengangkat topi untuk para jurnalis Palestina yang menganggap momentum lebih berharga daripada nyawa mereka. Berita tentang kedzaliman zionis lebih bernyawa daripada nyawa itu sendiri.

Kau jangan melihat para jurnalis saja. Lihatlah paramedis berlalu lalang di antara ratusan orang sembari membawa tandu kosong dan sejurus kemudian sudah mengisinya dengan sosok tubuh yang terkapar. Entah terkapar karena peluru yang menembus betis atau paha. Atau terkapar karena menghirup gas air mata yang ditembakkan ke setiap penjuru oleh orang jahanam yang bersembunyi di gundukan-gundukan tanah itu. Yang jelas mereka perlu membawa mereka yang terkapar dan mencoba menolong dengan segera. Darah-darah mulai terciprat di antara seragam putih mereka. Suara sirine ambulan masih terus terdengar meningkahi drama besar kehidupan orang-orang Gaza yang diamuk semangat membara.

Ibrahim adalah seorang pemuda tanggung di antara ratusan pemuda lain yang berada di sekelilingnya. Di tangannya ada bendera Palestina yang terus dia kibarkan di antara kelebat angin yang seakan ikut bersorak bersama euphoria para peserta aksi. Angin-angin Gaza itu menari bersama bendera dan meningkahi yel-yel dan orasi.
Tapi di saat itulah Ibrahim melihat beberapa sniper zionis bergerombol di seberang gundukan tanah dan siap membidikkan senjatanya. Sementara peluru gas air mata terus berluncuran. Membuat kerumunan berhamburan demi menyelamatakan diri mereka. Ibrahim melihat seorang wanita yang tersungkur dan terkapar. Sementara dia melihat paramedis masih berada puluhan meter di belakangnya. Ibrahim tahu apa yang harus dia lakukan saat itu. Dia segera berlari untuk membawa wanita itu pergi dari wilayah berbahaya.

Detak di jantung Ibrahim semakin bertalu-talu. Andrenalinnya terpacu. Dia berada diantara dua pilihan; tetap bertahan di tempatnya sekarang atau berlari untuk menolong wanita itu. Tapi beberapa detik setelah itu dia telah memiliki pilihan yang tepat. Dia berlari menuju wanita itu. Tapi beberapa langkah saja dia berlari, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ada hawa panas yang menyerempet dadanya. Dia limbung sebelum mencapai wanita malang itu.

Tatapan matanya kabur. Dia merasakan ada yang ganjil dengan tubuhnya. Ibrahim merasakan sengatan rasa sakit yang menjalar di perutnya, rasa sakitnya menjalar hingga dada dan selangkangan. Tangan kanannya meraba perut dan saat itulah dia tahu bahwa dia telah tertembak. Dia muntah darah dan yang terakhir kali dilihatnya adalah sebuah senyuman. Entah senyuman siapa. Sementara teriakan semakin samar terdengar, suara sirine, angin, yel-yel dan gelora kobaran api itu menghilang, berganti dengan kesejukan.
***

Husam berlari diantara gang-gang sempit dengan gerakan lincah layaknya domba kecil yang mengejar induknya. Langkah-langkah kaki telanjangnya menjejak tanah-tanah becek karena hujan semalam. Dia tidak peduli dengan rasa sakit di kedua telapak kakinya karena menginjak bebatuan. Sementara air mata masih merebak di kedua kelompak matanya.

Jalanan dan gang begitu lengang dari kehidupan. Semua orang seakan-akan tersedot ke perbatasan timur untuk menghadiri aksi dan membakar ban-ban besar. Hanya ada orang tua yang berdiam di rumah dan beranda. Menyesal karena tidak melihat keramaian di perbatasan. Selebihnya adalah anak-anak dan para wanita yang mungkin agak malas untuk memanggang diri di bawah terik matahari.

Husam terus berlari sementara dia hanya menemui perempuan-perempuan tua yang duduk ditemani oleh cucu mereka di halaman-halaman rumah mereka. Di antara mereka menatap Husam dengan tatapan penuh arti. Seakan-akan mereka tahu arti di balik tangisan Husam.

Husam melihat gerbang rumahnya dan segera menerobos masuk. Didapatinya ayahnya sedang duduk di sofa yang sudah rusak. Di depannya televisi sedang menyala, menayangkan aksi Great Return March yang sedang berlangsung.

“Ayah…Ayah!” teriak Husam dan dia menghambur memeluk ayahnya.
“Husam, apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?” tanya Amal, ayahnya dengan hati yang bergetar. Ia lebih dari tahu bahwa tangisan Husam adalah pertanda buruk bagi dirinya. Anak lelakinya itu tidak pernah menangis kecuali dalam keadaan yang terdesak atau genting. Anak lelakinya kuat karena dia selalu mendidik mereka untuk memiliki jiwa yang keras sekeras baja.

“Ibrahim telah tertembak di perbatasan,” lirih Husam diantara isak tangisnya. Amal terguncang dan tangis pecah dari matanya, dan rintihan keluar dari mulutnya.
Reem terbangun dari tidur siangnya ketika ia mendengar suara tangisan orang dewasa dari ruang depan. Siapa yang menangis? Dia jarang mendengar suara tangisan di rumahnya selain tangisan keponakannya, Khadija yang masih berumur lima bulan. Rumahnya tak pernah menjadi saksi kesedihan, selalu ada tawa dan kebahagiaan di dalamnya. Kehidupan di rumahnya bisa dikatakan sangat sempurna. Meskipun keadaan ekonomi yang menghimpit mereka tetap merasa sentosa karena anggota keluarga yang lengkap dan tak kurang satu apa pun.

my file driver, [8/19/2022 9:38 PM] Dia kenal Miriam yang telah kehilangan kedua orangtuanya dalam agresi Israel tahun 2008. Tak hanya Miriam, ada banyak teman-teman sekolahnya yang telah kehilangan anggota keluarga. Jika tidak orangtua, mereka kehilangan saudara, paman, bibi atau keponakannya. Atau setidaknya ada diantara mereka yang kehilangan anggota tubuhnya. Israel memang tak menyisakan selain kepedihan yang abadi.

Reem beranjak ke depan dengan rasa kantuk yang menggelayuti matanya. Dan ia melihat ayahnya menangis sembari memeluk Husam, adiknya yang berumur 7 tahun. “Apa yang terjadi?” tanyanya heran.

Amal menatap anak perempuannya dengan air mata yang masih membasahi pipinya. “Ibrahim telah menemui Tuhannya,” terangnya datar, tenang dan lirih.
Petir seakan menyambar tubuh Reem. Dia ambruk. Tulangnya seakan menjadi lentur dan persendiannya lepas satu demi satu. Oh Ibrahimku, tidak mungkin! Dia tidak mungkin mati! Sore nanti dia akan kembali pulang dan menggodaku tentang pernikahanku dengan Walid dua bulan lagi.

Reem menjerit dan menyebut nama kakak lelakinya tanpa bisa menahannya. Hatinya hancur dan dia berharap itu hanya mimpi. Dia tak siap jika Ibrahim lepas dari kehidupannya.

Oh Ibrahim, kakak yang paling dia sayangi dan cintai. Tak ada lagi yang bisa memberinya semangat dan candaan-candaan diantara sarapan pagi mereka. Tak ada lagi orang yang setia menunggunya di Universitas ketika dia menghadapi ujian semester dan pulang ke rumah dengan memboncengkannya di motor tuanya. Tak ada lagi yang mengajaknya makan di luar rumah. Tidak ada lagi yang akan mengajaknya bermain menyusuri pantai sembari memesan dua cup eskrim di kafe tepi pantai Gaza. Ibrahim tak ada duanya dan dia adalah nyawa keduanya.
Ibrahim baginya adalah kenangan dari kehidupan itu sendiri. Reem selalu diperlakukan layaknya ratu oleh Ibrahim. Kakak lelakinya itu selalu meluluskan apa yang dia inginkan.
***

“Baba, tolong panggilkan Ibrahim untuk membelikan kita wortel dan minyak zaitun di pasar,” seru Reem kepada Amal yang sedang sibuk dengan besi-besi tua di belakang rumah.

Amal terdiam, dia menghela nafas dan mengusap peluh yang mengaliri wajahnya yang memerah karena bara api dari tungku. “Anakku Reem, aku tahu kau masih tidak bisa menghadapi kenyataan ini,” ujarnya lirih.

Reem tidak mendengar apa yang dikatakan Amal. Tapi di saat itu dia sadar bahwa Ibrahim sudah tidak ada lagi di rumah mereka. Dua hari yang lalu Ibrahim telah dimakamkan dengan bendera palestina dan kafayeh yang menutupi tubuhnya. Wajahnya bersih dan tak ada cela. Ada senyum merekah di bibir piasnya kala itu. Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Dia dimakamkan bersama lima martir yang dijemput takdir di hari yang sama.

Reem tahu teriakannya hanya teriakan spontan yang biasa dia lakukan ketika dia membutuhkan bantuan Ibrahim. Reem kembali menangis di antara adonan tepung, daging domba dan peralatan dapur. Dia kembali terisak sembari mengaduk adonan Shawarma domba. besok adalah hari pertama puasa Ramadhan sekaligus Ramadhan pertama tanpa kehadiran Ibrahim. Bukan hanya Ramadhan tahun ini, tapi Ramadhan di sisa hidupnya. Dia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Ibrahim hanya tinggal kenangan.

Jika waktu berbuka tiba mereka akan duduk melingkar di meja makan. Reem menatap kursi kosong di meja iftar dengan perasaan yang hampa. Dia masih bisa melihat Ibrahim duduk di sana, memakan shawarma dengan begitu lahap, menyeruput ashir mangga dengan sempurna dan mengerling kepadanya.

‘Kenapa makanmu sedikit?’ Ibrahim selalu bertanya begitu kepada Reem, sembari mencomot daging sawarma yang ada di piring Reem. Reem mendelik tak suka.

‘Kau sedang diet hanya demi Khalid, huh? Tenang, tunanganmu itu akan tetap mencintaimu meski kau gemuk sebesar gajah.’ Ibrahim selalu menggodanya. Reem tentu merasa kesal jika kakak lelakinya itu sudah keterlaluan. Tapi kenangan itu justru membuatnya semakin merindu. Dia rindu celotehan Ibrahim. Dia rindu apa pun tentang Ibrahim.
“Reem….”

Reem terkesiap. Lamunannya buyar. Dia melihat Amal menatapnya dengan penuh tanya.
“Adzan maghrib telah berkumandang sejak tadi, sementara kau masih asyik dengan lamunanmu? Tidakkah kau mulai memakan bagianmu?”
Reem mengusap tepi matanya yang basah dan mulai mengunyah daging sawarma dalam diam. Tapi senyum Ibrahim selalu membayanginya di kursi yang kosong.
‘Kau sekarang berada di haribaan Rabbmu, Ibrahim. Kau sudah menemui apa yang kau harapkan,’ bisik Reem. Kemudian dia mencoba untuk mengikhlaskan, meski dengan perasaan yang penuh kegetiran.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here