Kelas Tiga

0
56

Tidak ada yang menarik di ruangan ini. Ruangan ini lebih luas dari kamar tidur Revan. Dan fasilitasnya tentu saja lebih lengkap. Ada lemari es, televisi, meja dan dua buah sofa, lemari, sebuah dipan kecil dan tentu saja sejuknya udara dari pendingin ruangan.
Revan melirik bapaknya yang sudah terlelap. Besok, bapak sudah diijinkan pulang. Sudah tiga hari ini beliau berbaring di Rumah Sakit. Kesibukan yang tinggi telah menyebabkan penyakit maagnya kambuh.

Acara di televisi sama sekali tidak ada yang menarik bagi Revan. Sinetron yang diputar hampir di semua stasiun televisi yang memanjakan moral rakyat dengan impian-impian kosong. Berjubel layanan komersial yang berlomba-lomba mencuci otak pemirsa dengan mengobral janji manis.

Revan meletakkan remote televisi di atas meja. Dia mulai mengaduk-aduk isi lemari es. Walaupun ukuran lemari es itu lebih kecil dari lemari es di rumah, tapi isinya justru lebih banyak. Didominasi hampir semua produk makanan yang diiklankan di televisi. Walaupun semula Revan menolak untuk berjaga malam ini menunggui bapak, tak urung akhirnya dia gembira dengan aneka makanan di hadapannya itu. Ibu memang sangat mengerti dirinya.

Sejurus kemudian, Revan sudah duduk di bangku depan ruang pavilyun tempat bapak dirawat. Di sebelahnya bertumpuk makanan, amunisinya malam ini. Revan mengedarkan pandangan. Halaman pavilyun itu sepi. Hanya dua orang penjaga parkir tampak di areal parkir di sebelah gedung, tidak jauh dari pintu gerbang. Satu dua orang sesekali lewat sambil membawa bantal atau guling. Malah ada yang membawa rantang makanan. Mereka pasti keluarga pasien yang dirawat di kelas tiga Rumah Sakit ini.

Kemarin, Revan sempat berjalan-jalan berkeliling Rumah Sakit untuk mengusir kebosanan. Liburan sambil menanti hasil ujian SMNPTN menyebabkannya menjadi satu-satunya orang dalam keluarga yang wajib menjaga bapak. Maka, sebagai penghibur hatinya, dia melangkahkan kaki ke bangsal kelas tiga yang terletak di belakang bangunan pavilyun.
Ramai, berisik, penuh sesak dan gerah. Revan tidak habis pikir, kenapa para pengunjung pasien kelas tiga itu bisa berlama-lama di Rumah Sakit. Bahkan sampai membawa tikar dan bekal makanan. Menggelar tikar di bahu lorong Rumah Sakit, membuat orang yang lewat tidak leluasa. Makan dan bercanda selayaknya orang berpiknik. Ini Rumah Sakit! Bukan tempat wisata.

Suara tangis anak kecil di ruang anak-anak berbaur dengan cekikikan para pengunjung, ditingkahi seruan para penjual makanan yang berseragam. Revan merasa perutnya mual. Bayangan tentang kelas tiga terpapar jelas di hadapannya, persis seperti yang sering dia dengar dari mulut ibunya. Idih, jangan sampai masuk ke kelas tiga. Bisa-bisa pulang dengan penyakit baru!

Revan merasa beruntung, bapak adalah seorang pejabat di pemerintahan kota. Hanya karena lalai makan, bapaknya mampu membayar untuk pindah makan dan tidur di pavilyun Rumah Sakit. Damai, tenang dan sejuk ber-AC. Uang bukanlah perkara rumit.
Revan melirik jam tangan. Jam satu malam. Sudah satu jam berlalu sejak perawat memeriksa semua pasien. Sepi. Kamar di lantai satu hanya ada dua pasien. Bapak Revan dan seorang lelaki di kamar sebelah. Tampaknya tidak ada yang berjaga di kamar sebelah. Tidak ada suara televisi seperti biasanya. Kemarin malam, Revan masih sempat menyapa istri lelaki di kamar sebelah.

Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang. Tiba-tiba dia mendengar suara gelas pecah dari ruangan sebelah. Terdengar suara mengerang yang lemah. Entah kenapa, Revan tiba-tiba merasa bulu kuduknya merinding. Dia merasa seolah-olah lelaki di kamar sebelah memanggil-manggil meminta tolong. Revan bergegas masuk ke dalam kamar.
*****

Suara gaduh dan tangis bersahut-sahutan selepas subuh. Ternyata lelaki di sebelah kamar sudah menjadi jenazah sejak jam satu malam. Keluarganya tidak ada yang menunggu saat lelaki itu meninggal. Perawat baru mengetahuinya saat pengecekan selepas subuh. Revan bergidik. Berarti semalam, saat Revan mendengar suara gelas pecah itu. Batin Revan.
“Ibu harus segera ke sini!” pekik Revan di handphone. Dia mendengar kebisingan di belakang suara ibunya. Tampaknya ibu sedang sibuk di dapur.
“Iya, nanti ibu ke sana, tapi ibu harus ke kantor dulu. Ini masih menyiapkan sarapan adikmu.”
“Tidak! Harus sekarang juga!”
“Revan, Bapak baru boleh pulang jam delapan nanti. Ibu ke sana jam setengah delapan.” “Aku takut, Bu! Semalam ada orang mati! Di kamar sebelah!”

Tidak ada jawaban dari seberang.
“Oke, ibu ke sana sekarang. “
Revan meringkuk di kursi dekat tempat tidur bapak. Bapak sedang asyik menonton televisi. Menyimak berita pagi tak pernah luput dari kegiatannya setiap hari.
“Kamu kenapa, Van? Dingin? Matikan saja AC-nya.” tanya beliau sembari mengganti saluran televisi.
Revan bergeming.
“Revan?”
Pintu terbuka. Ibu masuk dan langsung mendekati Revan.
“Aku mendengar saat dia mau mati, Bu! Dia seperti minta tolong padaku … aku …”
Revan memang selalu ketakutan bila ada orang meninggal.
“Sudah, kamu hanya terbawa emosi saja. “

Ibu Revan memeluk kepala putra sulungnya itu. Dia sempat berbicara dengan keluarga pasien di kamar sebelah sebelum masuk ke dalam kamar. Tentunya, dia tidak akan menyampaikan kepada Revan, bahwa lelaki di kamar sebelah sepertinya memang hendak memanggil Revan saat serangan jantungnya kembali datang. Dia melempar gelas ke tembok yang membatasi dinding kamarnya dengan kamar bapak Revan, karena bel untuk memanggil perawat ternyata tidak berfungsi.
*****

Tiga hari kemudian, Revan kembali mengunjungi Rumah Sakit. Kali ini tentu saja bukan untuk menjaga bapak, karena bapak sudah sehat dan masuk kantor seperti biasa. Makali, sahabat karibnya, diopname karena demam berdarah.
Dan Revan kembali harus menahan rasa mual dan gerahnya saat dia duduk di sebelah ranjang Makali, di ruang Kelas 3. Ruangan itu berisi sepuluh orang pasien yang menderita penyakit bermacam-macam. Revan sangsi Makali bisa sembuh bila dirawat di ruang ini. Walaupun setiap pagi petugas kebersihan selalu menyapu dan mengepel lantai dan perawat rajin memeriksa pasien, tapi Revan yakin para pasien itu saling menularkan penyakit.

“Roti, Mas?” tawar seorang wanita tua di sebelah ranjang Makali.
Revan melirik sebungkus roti tawar yang diulurkan wanita itu padanya. Revan menggeleng. Dia yakin tidak akan bisa menelan roti murah itu.
“Yuk … semua! Mari makannnnn!” teriak seseorang di sudut ruangan.
“Ya! Silakan! Bagi Dong!”

Terdengar berbagai sahutan pengunjung pasien yang lain. Acara makan siang pun dimulai bersama dengan menu masing-masing. Revan melihat keakraban dalam suasana pengap.
“Makali! Aku besok pulang!” seru seorang lelaki separuh baya, dua ranjang di sebelah kanan Makali. Lelaki itu tampak masih pucat, tapi sudah tidak memakai selang infus.
Makali mengacungkan jempolnya.
“Oke, Pak!”
“Eh, aku minta nomor bapakmu ya? Kemarin aku lupa!”

Makali kembali mengacungkan jempolnya. Dia masih lemah sehingga hanya kuat mengangkat tangannya saja.
“Kamu punya banyak teman di sini, Makali. “ bisikku.
“Ya. Aku idola di sini. Kata mereka, aku yang paling ganteng di sini. Hehehe ….”

Revan mengedarkan pandangan. Di sudut ruangan yang lain, ada seorang laki-laki berkopiah hitam dikelilingi beberapa orang. Kata Makali, dia seorang pemulung yang menderita kanker hati. Setiap hari, banyak orang dari kamar lain mengunjungi dia. Bukan karena dia ustadz, tapi karena dia pandai bercerita. Setiap hari ada saja kelakarnya yang menghibur semua orang di ruangan Makali.

Beberapa perawat masuk dan siap mengontrol kondisi pasien.
“Apa kabar semua?” tanya perawat itu menyapa semua pasien.
“Baiikkkkkkk, Buuuu!” teriak semua penghuni kamar serempak, lalu diakhiri dengan tawa bersahut-sahutan.

Perawat-perawat itu tersenyum.
“Halo, cowok paling ganteng!” sapa si perawat pada Makali, “buburnya habis?”
Revan terkesima.
*****

Bau Rumah Sakit seketika tercium oleh Revan. Revan membuka mata dan mendapati dirinya dikelilingi beberapa orang berbaju putih.
“Dia sudah sadar!” ujar seseorang.
“Oke, tanyai dia!”
“Namanya siapa, Mas?”
“Revan …. aduhh ….” sahut Revan lemas. Tiba-tiba dia merasakan nyeri yang hebat di betisnya.
“Tenang dan sabar sebentar ya, Mas. Kami harus merawat luka di betis Anda.”
“Aku di mana?”
“UGD, Mas! Apa ada nomer keluarga yang bisa kami hubungi?” tanya seseorang. Dia berseragam polisi.

Revan memejam mata. Ingatannya berangsur pulih. Kecelakaan. Tasnya dirampas dengan paksa. Dan sepeda motornya ditendang ke tepi jalan. Revan merasa tubuhnya terpelanting dan semua tiba-tiba menjadi gelap.
“Tasku dirampok. HP-ku disitu.“
“Apa Anda bisa mengingat nomer handphone bapak atau ibu Anda?”

Revan menelan ludah lalu menggeleng. Dia tidak pernah menghafal nomer siapapun. Semuanya ada di handphone itu.
“Oke, tidak apa-apa. Apa pekerjaan Anda?”
“Aku kuliah. “
Seorang perawat memberi kode pada polisi untuk keluar ruangan.
“Mas Revan, Anda terpaksa harus dirawat. Luka Anda cukup parah. Anda ingin dirawat di kamar apa?”
“Maksudnya?”
“Kelas berapa?”
Revan diam.

“Kelas tiga.”
“Kelas tiga? Anda yakin?”
Revan mengangguk. Dia yakin ibu dan bapaknya akan marah-marah dengan keputusan ini. Namun dia tidak peduli. Dia merindukan keakraban itu. Dalam ruangan pengap yang penuh senyum dan tawa, walau wajah menggurat kemiskinan dan penderitaan.
“Aku ingin berbagi roti bersama mereka, “ gumamnya seraya tersenyum.

*****


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here