“Darmi! Darmi! Keluar kau, Darmi!”
Emosiku begitu memuncak demi mendengar pengaduan Lastri istriku, perihal Darmi. Bisa-bisanya Darmi yang hanya seorang istri buruh tani menyakiti Lastri. Harga diriku sebagai salah satu juragan di desa ini menjadi terinjak. Awas saja dia, berani menyakiti Lastri, wanita yang paling aku cintai.
“Heh, Darmi! Cepat keluar!” teriakku.
Benar-benar kurang ajar, mau sampai berapa kali aku harus berteriak agar dia mau keluar.
“Ada apa ini? Kenapa kau teriak-teriak kesetanan seperti itu Sasongko?”
“Bagus, rupanya kau di rumah juga, Slamet. Bilang kepada istrimu jangan macam-macam dengan istriku kalau tidak mau berurusan denganku.”
Tak sia-sia usahaku sengaja mengeraskan suara untuk memancing kedatangan warga. Satu per satu mereka mulai berdatangan mendengar keributan yang aku buat. Semakin ramai, semakin bagus. Biar saja mereka menyaksikan kehebatan Sasongko, sang juragan.
Kulihat mereka saling berbisik-bisik. Ckck, hebat sekali bukan, sudah barang tentu mereka takut akan kuasa yang aku miliki di desa ini.
“Sabar, ada apa sebenarnya? Biar kupanggil Darmi.”
Slamet rupanya masih tenang, dia tidak terpancing untuk membalas keonaran yang aku buat. Cuih, lihat saja nanti. Akan aku buktikan bahwa tidak boleh ada yang berani melawan aku dengan cara menyakiti wanita pujaanku.
“Rupanya berani juga kau, Darmi. Katakan, kenapa kau berani mengganggu istriku, hah?!”
“Jelas aku berani karena aku tidak salah. Justru istrimulah yang salah telah menyerobot jatah antrian di sumber mata air. Jangan mentang-mentang kau orang kaya, ya, Juragan. Tidak seenaknya saja mengambil hak orang lain. Orang kaya tapi kok berjiwa miskin, sudah tahu ada giliran untuk mengambil air, kenapa Lastri tidak menunggu gilirannya? Tanya istrimu apa yang sebenarnya terjadi.”
Sial, ternyata hanya masalah berebut air, Lastri mengadukan Darmi kepadaku. Dasar, wanita cengeng, bisa-bisanya dia melebih-lebihkan cerita sehingga membuat emosiku memuncak. Tapi sudah terlanjur, keonaran ini harus diselesaikan. Lagi pula, apa pun yang terjadi, aku akan tetap membela Lastri. Sekalipun dialah yang salah. Tidak ada kata mundur bagiku.
“Alah, tidak usah banyak omong. Lihat saja, mulai hari ini kau tidak akan bisa mengambil air di sumber mata air itu.”
***
Kilatan peristiwa lima belas tahun lalu terus membayang di pikiranku. Selama itu pula aku menyesali apa yang telah aku lakukan dulu. Betapa sombong dan congkaknya diri ini. Teringat jelas bagaimana aku mencabut selang air milik Darmi dari sumber mata air di desa kami. Aku yang saat itu terbawa emosi dan dikuasai kesombongan, secara tak ampun bahkan memotong-motong selang air menjadi banyak bagian. Padahal aku tahu, selang air di desa kami adalah barang berharga yang wajib dimiliki oleh semua orang.
Desa kami memang tergolong desa yang kesulitan air. Hanya ada satu mata air yang volume airnya pun terbatas. Perlu beberapa waktu agar mata air itu berisi untuk kemudian dibagi ke beberapa selang yang ada. Puluhan selang menunggu giliran agar semua warga bisa mendapat bagian air.
Tak terbayang bagaimana sedih dan kecewanya Darmi dan keluarganya mendapati selang airnya telah aku rusak sedemikian rupa. Desa yang berada di pinggiran hutan membuat kami kesulitan akses untuk ke kota membeli barang kebutuhan, seperti halnya selang air. Entah, seperti apa pemenuhan kebutuhan air keluarga Darmi setelah apa yang aku lakukan. Aku benar-benar lepas tanggung jawab. Ya, karena saat itu aku telah dikuasi setan. Benar-benar, aku tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan.
Ah, sungguh, jika saja aku bisa memutar waktu, akan kutahan emosi yang memuncak kala itu. Emosi sesaat demi membela Lastri. Cih, kemana pula Lastri sekarang? Seenaknya saja dia menelantarkanku di ruangan pengap ini. Dasar wanita tak tahu diuntung.
“Lastri! Lastri! Ambilkan aku makan!”
Hening, tak ada yang menyahut teriakanku.
“Lastri! Arum!”
Bangsat, anak dan ibu sama saja! Benar-benar tidak ada hormat sedikit pun kepadaku. Bahkan untuk mengantar makanan, mereka begitu enggan. Sangat keterlaluan mereka menempatkanku di ruangan ini. Aku tak tahu pasti di mana ini, apakah masih di rumah kebanggaanku atau malah mereka menempatkanku di bekas kandang kambing milikku dulu. Yang pasti, suara mereka terdengar agak jauh dari tempatku berada.
“Kakek … Kakek … teriak minta apa?” Suara seorang bocah laki-laki sedikit mengagetkanku.
“Ih … Kakek jorok, bau, kok berak di lantai dan kasur seperti itu? Budi mau pergi aja!”
Belum sempat aku menyahut, ternyata bocah yang kusangka cucuku itu lari menjauh. Sial, begitu sial hidupku. Dulu mereka aku bahagiakan, apa pun yang mereka minta telah aku turuti. Bahkan aku rela bertengkar dengan tentangga hanya demi membela keluargaku yang belum tentu benar.
Kini saat kuterpuruk, mereka justru membuangku ….
“Lastri! Lastri!”
Jika bukan karena bau yang menusuk ini, aku sudah malas berteriak memanggil wanita sialan itu. Wanita tak punya hati yang tak tahu balas budi.
“Ngapain teriak-teriak terus seperti itu? Pusing aku dengarnya! Dasar tua bangka tak berguna, sudah buta , bisanya cuma menyusahkan terus.”
“Kurang ajar kamu Lastri, kamu itu istriku, sudah sepatutnya kamu merawatku! Ingat dulu kau yang paling aku bela atas siapa pun, bahkan aku rela bermusuhan dengan banyak orang hanya karena aduanmu yang berlebihan!”
“Halah, itu dulu waktu kamu gagah, sekarang kamu buta, apa yang mau diharapkan? Berak saja tidak bisa membersihkan.”
“Lastri, kau ….”
“Cukup, aku sudah tidak tahan dengan bau di ruangan ini. Ada makanan di meja yang bisa kamu makan. Ingat, bersihkan sendiri kotoranmu.”
Langkah Lastri terdengar semakin menjauh. Benar apa yang diucapkannya, apa yang bisa diharapkan dari lelaki buta sepertiku? Jangankan memberi nafkah, untuk makan sendiri pun aku tidak bisa. Sudah berapa lusin piring yang aku pecahkan karena hanya gelap yang ada di sekitarku. Aku memang hancur, namun mungkin Lastri lebih hancur. Dia yang biasa mendapatkan limpahan harta dan perhatian dariku, kini mesti mencari nafkah seorang diri.
‘Tapi kenapa kau begitu tega Lastri, kenapa kau berubah menyia-nyiakan aku? bukankah seharusnya kita tetap bergandengan tangan?’
Tuhan, mungkin inilah balasan atas kesombonganku dahulu. Aku yang selalu tamak, serakah, dan sombong atas kehebatan, kini berbanding keadaan bak bumi dan langit. Sasongko yang dulu telah mati, kini hanya sebuah raga yang bernyawa namun tak mampu melakukan apa-apa. Aku sungguh ingin bertaubat, tapi tak tahu bagaimana caranya. Bagaimama aku meminta maaf kepada mereka yang telah kusakiti, sedangkan untuk beranjak dari ruangan bau nan pengap ini pun aku tak mampu.
***
Hangat mentari pagi mulai terasa menyentuh kulit. Pancaran sinar sang surya mulai menyelusup dari celah-celah anyaman bilik bambu ruangan ini. Huh, benar saja, ternyata selama ini aku berada di bekas kandang kambing milikku.
‘Apa? Benarkah sekarang aku bisa melihat?’
Pekik dan sorak gembiraku seketika terhenti demi melihat banyak orang berbondong-bondong menuju tempat ini. Apa yang mereka lakukan? Mereka akan melihat apa di sini? Tunggu, bukankah itu tubuhku?
Aku tak tahu harus tertawa atau menangis melihat semua pemandangan di depan mata ini. Hanya satu yang pasti, kini aku terbebas dari gelap yang selalu menyelimuti. Gelap dalam rumah yang aku kira akan manjadi istanaku selamanya.
***
nice