“Hidayah Allah itu tidak akan datang dengan sendirinya. Jangan menunggu, tapi jemputlah ia,” Kamu menatapku lembut.
Aku sangat menyukai tatapanmu, teduh. Seperti itulah aku menafsirkannya. Tapi kali ini, rasanya aku ingin menjauhinya untuk sementara waktu. Entahlah!
“Kamu tidak sedang menyindirku, kan?” aku masih berusaha mengelak dari sorot matamu yang seolah sebilah belati tengah menusukku.
“Nggak, Ning. Mana tega aku memojokkan sahabatku sendiri? Tapi yang aku katakan ini juga benar dan kamu tak akan bisa terus menghindari ini,” kata-katamu masih terus mengalir untukku, lembut namun bagiku lebih menyerupai sembilu yang terus menerus mengiris perasaanku. Sesama perempuan, aku merasakannya.
Aku tahu ke mana sebenarnya arah pembicaraanmu. Bersahabat denganmu selama empat tahun bukan hal yang sulit untuk memahami jalan pikiran kamu. Penampilan kita yang bak langit dan bumi, itulah yang jadi pokok masalahnya, hal yang selalu kamu perbincangkan denganku dan tentu saja membuatmu gundah.
Kamu yang terlihat anggun dengan tubuh yang tertutup rapat oleh pakaian muslimahmu sementara aku yang cuek cukup dengan kemeja atau T-shirt dipadu dengan celana panjang. Kegiatan kitapun sangat kontras. Kamu yang selalu haus akan kajian Islam dan tarbiyah-tarbiyah, tak pernah absen dalam kegiatan-kegiatan seperti itu sementara aku juga tak pernah mau melewatkan jadwal-jadwal latihanku di klub volley dan basket kegemaranku juga teater di sebuah sanggar.
Lalu mengapa kita berdua bisa sedemikian dekat dan bisa bertahan dalam waktu yang sedemikian lama? Karena kita adalah sahabat, itulah jawabannya. Persahabatan yang sudah terjalin sejak kita duduk di bangku SMA dan membuat kita seolah tak dapat terpisahkan satu sama lain bahkan ketika kamu memutuskan untuk mengubah penampilanmu dan rutinitasmu sementara aku tetap tak bergeming dari penampilanku yang dulu-dulu.
“Sampai kapan kamu akan bertahan menuruti kata hatimu? Menunggu hidayah Allah datang menemuimu?” itu yang berkali-kali kamu ingatkan.
Entah karena kamu ingin kita tetap kompak dalam apa pun atau karena keinginan tulusmu melihatku berubah, namun jujur aku sama sekali belum punya jawaban untuk pertanyaanmu itu. Aku memang sahabat yang menyebalkan ya? Tapi anehnya kamu tetap saja tak mau meninggalkanku.
“Karena aku berdosa jika membiarkanmu terus menerus dalam kejahiliyahan. Berbenahlah mulai sekarang, selagi masih ada waktu. Ketuk pintu hidayah itu agar ia terbuka untukmu.”
Dan aku hanya manggut-manggut masam mendengar ceramahmu setiap hari. Tak ada kesal sedikit pun. Bahkan satu yang aku tahu pasti, berada di sisimu adalah hal yang menenteramkan perasaan.
*****
Hari itu, kamu tampak berbeda dalam penglihatanku. Tak ada petuahmu seperti biasanya, senyummu pun hanya sesekali saja kamu lepaskan dari bibirmu yang manis dan sorot matamu tak memancarkan kehangatan sedikit pun. Ada apa?
“Hei, kamu sakit ya? Dari tadi diam saja?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Masih tak ada senyum di bibirmu pertanda kamu memang sedang tidak dalam keadaan baik. Itu jelas mengusikku. Tahukah kamu, sehari tak mendengar nasehat-nasehatmu seperti biasanya serasa ada yang hambar dalam perasaanku.
“Tapi kok tak ada cerita seperti biasanya?” tanyaku lagi memburu.
Mendengar itu, pandanganmu kamu arahkan kepadaku, sesaat saja, dan setelahnya kembali kamu membuangnya ke tempat lain.
“Kita pulang!” katamu kemudian yang membuatku semakin tak mengerti.
“Tapi aku masih ada latihan di sanggar, Tri. Kamu tidak lupa, kan?” kataku setengah berteriak sambil mengejar langkahmu yang sengaja kamu percepat menuju pelataran parkir.
Terpaksa kuikuti juga langkahmu yang makin tergesa. Dan sesaat kemudian, Mazda biru mungilmu menghanyutkan kita dalam diam sepanjang perjalanan pulang. Perjalanan yang membosankan, kupikir.
“Sudah sampai.” Akhirnya suaramu keluar juga. Mazda biru yang membawa kita tanpa terasa telah berada di garasi rumahmu.
Aku segera turun dan langsung masuk, kebiasaanku jika berada di rumah kamu.
“Nak Ningsih, ayo cepat masuk. Wah, untung kalian cepat pulang. Nak Ningsih bisa bantu tante ya antar undangan ini untuk teman-teman kamu?”
Sambutan ceria ibumu dan sebaris kalimat yang ia ucapkan sesudahnya tak ayal membuatku begitu terkejut. Undangan? Tanganku meraihnya dan mendapati nama yang tertera di sana. Kejut yang tambah.
Saking terkejutnya, aku hanya diam mematung di depan ibu kamu. Benarkah?
Aku menatap ibumu dan kamu bergantian. Inikah jawaban dari sikap anehmu sepanjang hari ini? Tapi mengapa harus dari ibumu aku mengetahuinya? Mengapa bukan dari kamu langsung?
“Lho kok bengong, nak Ning? Tri sudah beritahu kamu, kan?” kembali ibumu mengagetkanku. Mulutku serasa kelu, tak tahu harus menjawab apa.
“Ning!” seketika tanganmu menarikku masuk ke kamar.
“Tri, kamu tega ya! Katamu, aku sahabatmu. Mengapa moment sepenting ini tak kamu bagi padaku? Aku kecewa dan sangat sedih,” beruntun kata demi kata kutujukan padamu.
“Kalau saja kamu tahu, kesedihanku tak sebanding dengan yang kamu rasakan. Kamu mungkin hanya kecewa karena aku tak memberitahumu secara langsung tentang rencana pernikahanku ini. Tapi aku kecewa karena ternyata persahabatan kita selama ini tak sedikitpun bisa membuatmu berhijrah ke jalan yang diridhai-Nya.”
“Sebenarnya seberapa besar sih pelanggaranku, Tri? Auratku kan tetap tertutup meski tanpa jilbab. dan yang terpenting kan aku tetap shalat, puasa dan zakat?
“Kamu masih belum mengerti juga, Ning. Islam mewajibkan kita, perempuan, untuk menutup aurat. Itu nggak bisa ditawar lagi. Sama wajibnya dengan shalat, puasa dan zakat. Dosa hukumnya bagi yang melanggarnya.”
“Tri, aku tahu itu. tapi panggilan untuk melaksanakan itu belum ada di sini,” kataku sambil menunjuk dadaku.
“Kamu yang tidak pernah berusaha untuk itu, Ning. Hidayah tidak akan datang dengan sendirinya, kita yang harus aktif mencarinya dan menjemputnya.”
“Tapi…”
“Kamu tahu, Ning. Saat aku telah menikah nanti, frekuensi kebersamaan kita akan semakin sedikit. Itu berarti semakin sedikit juga waktu buatku untuk selalu mengajakmu berhijrah,” kamu tiba-tiba menggenggam tanganku sangat erat dan menatapku lekat-lekat.
Tiba-tiba perasaanku bergetar hebat. Rasa haru yang sangat besar kurasakan menguasaiku dan mengharu biru dalam hatiku. Mengapa perasaan sedih itu harus datang dari kamu melihat keadaanku yang belum juga berubah dari dulu hingga sekarang. Mengapa rasa peduli itu ada padamu? Mengapa tidak pernah ada dalam diriku?
“Ning, waktu itu sangat singkat dan berjalan sangat cepat tanpa kita sadari. Menunggu panggilan berhijrah datang hanya mengulur-ulur waktu saja,“ katamu masih dengan tatapanmu yang kali ini menusuk sangat tajam tepat di titik haruku.
Rasanya baru kali inilah aku menyimak semua kalimat-kalimatmu dengan baik. Meresapinya dengan khidmad dan mencoba mengalirkannya ke seluruh penjuru nadiku.
Perlahan rasa damai menyemaikan ketenangan luar biasa yang selama ini tak pernah kurasakan. Aku tersungkur dalam bijak petuahmu, Tri. Aku kini benar-benar rebah dalam rasa sesal yang menyayat-nyayat perasaanku.
“Ning, kamu tidak marah kan?” suara lembutmu menyeruakkan keteduhan dari gundahku yang terasa menghimpit demikian kuat.
Aku menggeleng kuat-kuat seraya memperkuat genggamanmu. Baru kurasakan, dirimu adalah anugerah yang sangat besar yang telah kusia-siakan selama ini. Mestinya aku sadari, engkaulah pintu hidayahku. Engkaulah yang mengantarku untuk mengetuknya.
“Terima kasih, Tri. Hidayah itu ternyata adalah kamu yang selama ini sangat dekat. Aku saja yang begitu bodoh tak pernah menyadarinya.” keharuanku meruah dalam tetes-tetes bening di pipiku. Biarlah kamu menyaksikannya, tak perlu aku menyembunyikannya darimu.
Genggaman tangan kita makin kuat dan semakin kurasakan ghirah yang sangat kuat untuk segera mengikuti langkahmu berhijrah.
“Selamat berbahagia ya Tri. Aku hampir lupa memberimu ucapan selamat.” Kataku mencoba mengurai suasana melow yang tiba-tiba saja menyergap kita.
“Tak ada yang lebih membahagiakanku selain kebahagiaan yang kurasakan hari ini melihatmu berhijrah,” senyummu begitu teduhnya kurasakan.
Tak ada lagi yang ingin kugambarkan mengenai apa yang sedang aku alami ini. Cukup rasa syukurku yang tak henti meruah kepadaNya karenamu. Terima kasih, Tri.
*****
Penulis yang menggunakan Titi Haryati Abbas sebagai nama penanya. Saat ini berprofesi sebagai seorang guru di SMAN 2 Sinjai, Sulawesi Selatan. Beberapa antologi telah dihasilkannya antara lain; “Berguru Kepada Para Tokoh Muslim” (Diva Press, 2014), Antologi Fabel Binatang Unik Dalam Al-Qur’an (LovRinz Publishing, 2021), “78 Legenda Ternama Indonesia” (Elex Media Komputindo, 2022)