Senja menjelang di Tanah Datar. Seorang gadis berbaju kurung menyusuri jalan setapak yang lengang, sepulang dari kebun kopi. Selendang putih menutupi rambutnya yang disanggul rapi. Langkahnya bergegas agar tiba di rumah sebelum Maghrib.
Bruukk! Tiba-tiba tubuh ramping itu limbung ditabrak sosok berbadan tegap yang muncul dari persimpangan. Ia tampak terburu-buru, hingga tak melihat ada orang yang sedang berjalan. Ketiding bambu yang dijunjung di kepala gadis itu terhempas ke tanah, biji kopi yang baru dipetiknya pun tumpah berhamburan.
“Maaf, ambo ndak sangajo.” Seorang pemuda segera memunguti biji kopi yang berserakan di tanah dengan penuh rasa bersalah. “Biar ambo antar uni pulang.”
“Ndak usah, Tuan. Tak pantas gadis dan bujang jalan berdua.”
“Kalau begitu, biar ambo berjalan di belakang uni. Sejak Sultan berurusan dengan Belanda, keadaan kampung kita jadi kurang aman. ”
Gadis itu membenahi selendang, lalu meletakkan kembali ketidingnya di atas kepala. Namun, saat ia membalikkan badan, suara berat sang pemuda menahan langkahnya.
“Kalau boleh tahu, nama Uni siapa?”
“Halimah.”
“Namaku Amin.” Pemuda itu menyebut namanya tanpa diminta.
Keduanya berjalan dalam jarak sekitar sepuluh meter tanpa bicara. Halimah membuat langkah-langkah besar dan lebih cepat dari sebelumnya. Meskipun Amin bermaksud agar ia merasa aman, tetapi Halimah justru merasa tak nyaman. Apa kata orang kalau ada yang melihatnya jalan berdua dengan seorang pemuda? Apalagi jika amaknya tahu, bisa habis dia diceramahi dari malam sampai Subuh.
***
Amin adalah pemuda yatim piatu yang dibesarkan oleh keluarga Haji Sumanik, salah seorang dari tokoh yang mendapat julukan “Harimau nan Salapan”. Beliau adalah ulama berpengaruh di wilayah Kerajaan Pagaruyung. Sejak kecil, Amin tinggal dan belajar di surau, sebagaimana lazimnya laki-laki Minangkabau saat itu. Tak ada yang tidur di rumah orang tuanya. Di surau mereka belajar agama dan juga bela diri.
Suatu pagi, Halimah berjalan menuju pancuran di dekat surau, untuk mencuci pakaian. Seperti biasa, ia menundukkan wajah dan mempercepat langkahnya ketika melewati para pemuda yang sedang berlatih pencak silat. Gadis itu menangkap sosok yang dikenalnya sedang berdiri di pinggir arena. Halimah refleks menoleh, pada saat yang sama ternyata sosok itu pun memandangnya. Amin, pemuda yang menumpahkan biji kopinya waktu itu. Ia tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepala pada Halimah.
Sejak saat itu, sebuah masalah baru muncul dalam hidup Halimah. Entah bagaimana jantungnya selalu berdebar tak terkendali tiap kali melewati surau itu. Pandangannya terkunci ke tanah, tak berani menatap sekeliling, khawatir akan berpapasan lagi dengan Amin. Pemuda itu sudah berhasil mengacaukan pikiran Halimah akhir-akhir ini. Ia malu, perasaan itu disimpannya rapat-rapat dalam hati. Taka ada yang boleh tahu. Bahkan, pada Allah yang Maha Tahu pun ia merasa malu. Astaghfirullah … ucapnya berkali-kali dalam hati.
***
“Halimah, Amak ingin bicara.” Gadis itu memalingkan pandangan dari sulaman kapalo samek yang sedang dibuatnya. Ia sering menerima pesanan sulaman tangan untuk hiasan baju kurung.
“Ada apa, Mak?”
“Kami rasa sudah waktunya kau menikah. Mamakmu sudah berunding dengan Haji Sumanik. Beliau ingin kau menikah dengan salah seorang muridnya. Bagaimana pendapatmu?”
Mendengar nama Haji Sumanik, darah Halimah pun berdesir. Apakah mungkin dia Amin? Ah, tapi Haji Sumanik kan punya puluhan murid …. Gadis itu segera menepis harapan di hatinya. Bagi Halimah, menikah melalui perjodohan sudah seperti suratan nasibnya. Tak ada pilihan lain, orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya bukan? Lagi pula, selama ini belum ada seorang pemuda pun yang menyatakan niat utuk menikahinya. Sungguh dia tak punya alasan untuk menolak. “Aku ikut kata Amak dan Abak saja.”
“Namanya Khairul. Dia kerabat jauh Abakmu juga. Anaknya cakap, mengajinya pun bagus. Bagaimana menurutmu?”
Khairul? Nama itu belum dikenalnya sama sekali. Gadis itu menarik napas dalam, mencoba menata hati. Pernikahan dengan kerabat memang lebih disukai keluarganya. Amin jelas akan kalah bersaing dengan Khairul. Lagi pula, Amin pun belum tentu suka padaku, batinnya menghibur diri. Halimah menghabiskan malam-malamnya dengan istikharah dan doa, agar diberikan calon imam yang terbaik. Baik bagi dunianya dan baik pula untuk akhiratnya. Jika memang Khairul yang terbaik, maka ia akan menerima takdir itu dengan lapang dada. Jika memang dia adalah seorang lelaki sholeh, maka Halimah tak punya alasan untuk menolaknya.
***
Hari yang ditentukan pun tiba. Sanak saudara sibuk mempersiapkan perhelatan. Rumah gadang dihias dengan kain bersulam emas. Nampan-nampan besar dikeluarkan untuk makan bajamba, makan bersama di piring besar yang biasa dilakukan saat perhelatan. Halimah mengenakan songket tenun dan baju kurung merah hati. Sehelai tikuluak talakuang yang terbuat dari beledu menghiasi kepalanya. Hari itu semua sepakat, Halimah tampak cantik sekali.
Orang-orang ramai berkumpul di surau untuk menyaksikan prosesi akad nikah. Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan. Namun, Khairul dan keluarganya masih belum datang juga. Haji Sumanik tampak gelisah menunggu. Jantung Halimah mulai berdebar tak menentu, khawatir satu hal buruk akan terjadi.
Amin berlari memasuki surau. Ia ditugaskan oleh Haji Sumanik mencari berita ke rumah Khairul. Pemuda itu membisikkan sesuatu ke telinga gurunya. Sesaat wajah Haji Sumanik memerah, tangannya terkepal menahan amarah sambil merapalkan sesuatu. Laki-laki berserban itu kemudian memanggil beberapa orang muridnya, kemudian menyampaikan sesuatu yang tampak sangat serius. Tak lama Amin mengangguk, kemudian pemuda itu berbicara dengan kedua orang tua Halimah.
“Halimah, pagi ini Khairul menghilang, baru saja jasadnya ditemukan di tepi hutan. Ada yang bilang dia diculik tentara Belanda.” Amak berkata dengan suara bergetar.
“Innalillahi wa innailaihi rajiun ….” Gadis itu mengucap lirih. Badannya lemas membayangkan betapa malang nasib Khairul yang belum sempat dikenalnya dengan baik. Bulir bening menggantung di pelupuk matanya. Bermacam perasaan berkecamuk di dadanya. Perhelatan sudah digelar, orang sekampung sudah diundang, semuanya akan berakhir sia-sia. Namun, hal yang paling membuatnya sedih adalah kekecewaan Amak dan Abaknya.
“Tapi … sebenarnya seseorang bersedia menggantikan Khairul. Itu pun jika kau tak keberatan, Nak.” Amak melanjutkan perkataannya. Halimah menganga, menatap amak tak percaya.
“Siapa dia, Mak?”
“Amin namanya.”
Halimah memalingkan wajah, pandangannya tertumbuk pada seorang pemuda berpakaian teluk belanga putih. Wajahnya bersih dengan rambut tersisir rapi. Amin. Pemuda itu tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya, persis seperti kejadian di arena pencak silat tempo hari. Kali ini, Halimah pun membalas anggukannya. Apakah ini jawaban dari doa dan istikharahnya selama ini?
Sepuluh menit kemudian, Amin dan Halimah telah duduk bersanding di pelaminan, usai ijab qabul yang diucap lantang oleh Amin. Tiba-tiba Halimah tersenyum simpul, yang diikuti tatapan bertanya-tanya dari Amin.
“Ada apa?” bisik lelaki itu.
“Mulai hari ini, kau sudah boleh mengantarku pulang dari kebun kopi, Tuan.”
Ucapan Halimah berbalas senyuman dari Amin.
***
_____________________________________________
ambo ndak sangajo: saya tidak sengaja
ambo: saya
uni: panggilan untuk kakak perempuan
kapalo samek: salah satu jenis sulaman khas Minangkabau
bajamba: Makan bersama dalam satu nampan besar. Biasanya terdiri dari empat sampai enam orang.
tikuluak talakuang: kain persegi yang terbuat dari beledu, dihiasi renda dan sulam emas. Biasanya digunakan untuk menutupi kepala pengantin wanita.
Ceritanya sangat mengalir, suka bacanya 😁👍🏻
Gak kerasa bacanya dah selesai aja 😍😍😍