“Kapan terakhir kamu membaca buku?”
Cinta terkesiap. Ia mainkan sepatunya, mencoba mengingat. Ketika baru akan membuka mulut, Aco mendadak berdiri kemudian sedikit menggeser sebuah partisi darurat.
Darurat sebab partisinya bisa dipindah-pindah. Menyesuaikan fungsi dan ruang. Ruang yang hanya setengah dari ruang tamu rumah Cinta.
Dulu Cinta protes kepada ibunya ketika membeli sofa kecil untuk diletakkan di ruang tamu. Rumah tipe 36 semakin sempit dengan kehadiran sofa itu. Lebih baik lesehan saja, tolak Cinta.
“Ini,” tak sampai lima detik sejak ia menggeser partisi itu, Aco datang dengan sebuah buku.
Sampulnya sudah lenyap, tersisa bagian dalam. Kena banjir kata Aco. Tapi masih bisa diselamatkan bagian isi buku dengan menjemur di atap kandang ayam sebelah rumahnya.
Bergantian, Cinta melirik buku dan Aco. Lelaki berambut ikal yang cepat sekali membuat Cinta berdegup. Semakin mengenalnya, semakin ia kerap terkejut.
Waktu pertama kali bertemu, Aco adalah lelaki yang memilih menyendiri di acara pendakian gabungan. Ia bersama tiga orang temannya dari sebuah kampus swasta. Tak banyak bicara, tapi gesit dan cekatan sebagai sweeper.
Suatu pagi ketika mereka memilih untuk bermalam lagi di danau Tambing, ia mendapati Aco sedang membaca buku di tepi danau yang berkabut. Sumpah saat itu ia kelihatan keren sekali. Apalagi namanya memang membekas. Aneh tapi unik.
“Bapak membaca kata itu di koran. Kemudian menamaiku demikian. Katanya biar jadi jalan yang mudah bagi orang sekitar,” ujar Aco ketika Cinta akhirnya bertanya. Apa arti namanya.
Waktu itu mereka sudah cukup dekat. Dekat karena bertemu kembali tak sengaja di acara amal pentas teater. Kemudian kerap janjian bertemu di pentas selanjutnya. Anehnya, Aco tak pernah bertanya atau memberikan nomor kontaknya ke Cinta.
“Biar pertemanan kita akan kamu ingat,” dalihnya.
Cinta terdiam. Pertemanan yang unik memang. Karena Cinta akhirnya rajin mencari tahu jadwal teater selanjutnya, kemudian mereka akan berjanji bertemu di pentas seni selanjutnya. Pun bakda nonton pentas seni. Begitu seterusnya hingga berjalan hampir setahun.
Setahun berikutnya pagelaran seni dan teater ditiadakan. Pandemi. Cinta hilang jejak. Dan dia merasakan ada sesuatu yang hilang di hatinya. Resah sekali. Padahal hampir tidak ada obrolan ketika mereka nonton pentas seni.
Aco hanya fokus menikmati penampilan di panggung, sementara Cinta hanya menikmati duduk di sebelah Aco. Beberapa kali jemari mereka tak sengaja bersentuhan. Cinta membiarkan. Tapi Aco lekas mengubah posisi. Awalnya Cinta kecewa. Tapi, ia merasa Aco memang unik.
Pekerjaan Cinta sebagai tenaga pendamping PKH membawanya ke salah satu sudut Palu, bertemu Aco lagi. Setelah sekian tahun hingga lulus kuliah mereka tak berkabar lagi.
Di sana, di tempat sekitar 300-an penerima bantuan PKH kemensos bermukim. Tidak jauh dari aliran sungai Palu. Dia bertemu Aco. Pertemuan tidak disengaja. Di tempat yang paling tidak disangka.
“Kalau ke sana jangan sendirian, banyak penjahat,” begitu awal-awal ia turun ke sana.
Belum lagi pernah dilempari orang gila. Naik turun di rumah kecil, berdempetan, dan kumuh. Masuk ke sana seperti masuk ke dunia lain. Dunia misterius, semisterius tatapan warganya ketika kedatangan orang baru. Tempat di mana ia semakin banyak bersyukur ketika sampai di rumah.
Tapi, di sana ia bertemu Aco. Lelakinya. Hidup mengabdi pada ayahnya yang buta. Katanya karena kecelakaan. Jauh setelah ia memberi nama Aco.
Tiga tahun tanpa kabar, Aco tidak kehilangan pesonanya. Tubuhnya semakin kekar. Hanya saja lebih legam. Mungkin karena pekerjaan mendorong gerobak berisi sampah keliling kota. Ya Aco pemulung.
“Kata siapa aku mahasiswa?” Aco terkekeh. Ia mengusap peluhnya dengan handuk di leher. Ia pulang makan siang sekaligus menyuapi ayahnya.
Cinta terkejut sekaligus takjub. Baru kali ini ia melihat tawa Aco. MasyaAllah manisnya. Biasanya ia hanya melihat dari samping di balik keremangan lampu teater yang sengaja dibuat redup.
“Temanku yang mahasiswa. Kalau hidupku ya begini,” katanya lagi tanpa beban. Cinta tak enak hati.
Apalagi ia yakin raut wajahnya menunjukkan keprihatinan melihat kondisi rumah Aco. Hanya setengah dari ruang tamu BTN tipe 36. Kecil. Sempit.
Di sana tempat Aco memasak, tidur, mandi. Kalau mau buang air katanya ia pergi ke WC umum yang jaraknya tiga rumah. Makanya katanya ia selalu makan buah dan sayur serta sama sekali tidak makan pedas. Bukan hanya agar sehat. Tapi supaya tidak menyusahkan ketika ia harus bolak balik WC yang lumayan jaraknya.
“Aku mau kasih ini,” Cinta menyodorkan undangan di kunjungannya yang kedua. Aco menerima dengan sukacita. Meskipun rautnya sempat berubah tapi Aco bisa menguasai diri dengan cepat.
“Selamat ya. Aku mengenalnya. Dia laki-laki baik,” ungkap Aco tulus.
Cinta diam. Matanya basah. Bukan karena goyah. Semata jengkel dengan dirinya sendiri. Karena dulu begitu yakin kalau mereka sepasang kekasih. Padahal Aco kerap menekankan pertemanan saja.
“Aco, dulu kamu pernah suka padaku?” Rasa penasaran mendorong Cinta bertanya. Aco diam.
“Hidup barangkali tidak pernah memberikan aku kesempatan untuk mencintai,” Aco bersuara, akhirnya. “Tapi aku tidak sedih. Sebab itu memang harapan ayahku ketika memberiku nama,” katanya lagi.
“Aku mungkin menjadi jalan bagi pertemuan kalian. Seperti arti namaku yang berfungsi menghubungkan manusia dari pesawat ke terminal bandara,” kata Aco menutup pertemuan kami.
Garbarata. Ya, itu namanya. Aco itu hanya nama panggilannya.