Cahaya XXVI

3
107

“Nanti malam anta diminta ngisi ceramah di Gang Becek belakang pasar sayur, Bang,” ujar Ibrahim kepada pemuda 27 tahun yang sedang menonton siniar dua orang artis yang terkenal dengan sensasinya di kanal Youtube salah satu dari mereka di ponselnya.

Air muka Ustaz Iqbal makin serius mengikuti siniar yang sayup-sayup tertangkap pendengaran Ibrahim yang masih menunggu responsnya. “Gimana, Bang?” Pemuda 25 tahun itu memberanikan diri.

“Ooo… Dewi Persik dicekal lagi…” Ustaz Iqbal berdesis.

Ibrahim beristighfar dalam hati.

Ustaz Iqbal meg-skip tayangan siniar di ponselnya dan menoleh ke Ibrahim.
“Maaf Im, ane harus meng-update informasi terkini. Nggak lucu, ‘kan, ustadz kayak ane nggak ngeh ama yang sedang ’in’. Ya nggak, Im?” Ustaz Iqbal nyengir kuda.

Ibrahim, yang gagal mencoba pura/pura tersenyum, terlihat menyeringai.

“O ya, selain di sana, di mana lagi?” kata Ustaz Iqbal.

“Di Nikan, Bang.”

“Yang lain?”

“Cuma itu, Bang?”

“Tumben. Sepi, Im.”

Ibrahim menelan ludah.

“Ane ngisi di Nikan aja.”

“Wah, yang itu, udah ane batalin, Bang?”

“Lho?”

“Kan yang di Gang Becek udah duluan ngundang, Bang?”

“Trus, yang di Nikan?”

“Mmm….”

“Kamu yang ngisi, gitu?!”

Ibrahim terkejut mendengar tuduhan itu. Terlebih Ustaz Iqbal menyampaikannya dengan nada tinggi.

“Kamu tahu, ‘kan, kalau Ukhti Nur tinggal di Nikan?”

Ibrahim menunduk. Ada desiran yang tidak biasanya ketika ia mendengar nama akhwat itu.

“Mmm…, mungkin anta belum tahu kalau beberapa hari yang lalu, Ukhti Nur udah ngejawab ta’aruf kami.”

Ibrahim mendongak.

“Insya Allah dua minggu lagi kami ijab kabul sekaligus walimahannya.

Deg! “Wah …”

“Pasti kamu mikirnya mendadak sekali, ‘kan?”

“Nggak kok, Bang,” Ibrahim mati-matian menahan buncah. “Urusan jodoh, kalau udah ketemu, ngapain ditunda-tunda, Bang.”

”O ya, kamu jadi Qori’-nya, ya? Sesuai namanya, bacain Surah An Nur ya, Im?”

* * *

…Perempuan-perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula)….
Benarkah ayat Al Qur’an tersebut?

Ibrahim gundah. Tak ada maksud hatinya menanam prasangka di hamparan ketentuan langit itu. Namun, apabila Tuhan ingin menampilkan sisi lain sunnatullah-Nya, mengapa harus ia yang menjadi bagian dari lingkaran itu, menjadi saksi hidup yang hanya dapat membisu.

Ibrahim tahu betul bagaimana pemuda yang terpaut dua tahun di atasnya itu, telah banyak berubah. Dahulu, ketika masih sama-sama menimba ilmu di Al-Azhar, mereka adalah orang-orang yang tidak ingin mengagungkan diri dengan panggilan Ustaz, Kiai, Ulama, Syekh, atau sejenisnya. Seakan-akan hati mereka telah menandatangani kesepakatan putih tersebut. Namun, bagi Ibrahim, setelah mereka menamatkan studi di Negeri Cleopatra tersebut, lalu pulang ke tanah kelahirannya Lubuklinggau, Iqbal, orang yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri itu, telah melupakan semuanya.

Semua bermula ketika rencana mereka untuk mendirikan pesantren dua tahun yang lalu, terwujud. Prestasi mereka sebagai putra Lubuklinggau tamatan Al Azhar menjadi daya tarik tersendiri bagi Pemerintah Kota, dan donatur lainnya, untuk membantu pembangunan Al Wustha. Demikian kawah candradimuka itu dinamai. Karena Ustaz Iqbal yang lebih banyak berperan dalam pencarian dana (mungkin juga karena ia lebih tua), Ibrahim pun legowo memercayai abangnya itu memegang tampuk kepemimpinan Al Wustha.

Dan… dalam penerimaan siswa angkatan pertama, dengan bangga, abangnya memperkenalkan diri dengan embel-embel “Ustaz” di depan namanya. Seperti tak dapat dibendung, tenaga pengajar lainnya pun semuanya bergelar “Ustaz”. Hanya Ibrahim sendiri yang masih mengistiqamahkan diri dengan panggilan “Pak” di awal namanya. Tak sekalipun Ustaz Iqbal bertanya padanya perihal panggilan itu, pengingkaran kesepakatan itu. Mungkin ia tak enak hati, pikir Ibrahim suatu waktu.

Sungguh, tak ada yang salah dengan panggilan itu. Selain sudah membudaya di kalangan pesantren, sejatinya, itu bukanlah bentuk pengkultusan. Tapi pembicaraan mereka dahulu telah didasari banyak pertimbangan.

Panggilan “Ustaz atau sejenisnya” telah menjadi gelar sosial-spiritual yang menjadi kejemawaan orang-orang yang ditasbihkan–atau menahbiskan diri—sebagai orang yang berilmu, terutama masalah agama. Padahal ia bukanlah gelar, namun hanya apresiasi terhadap mereka yang berilmu dan berperan dalam membangun umat. Ah, terlalu ideal memang yang mereka bicarakan kala itu. Tapi itu tak berarti membuat semuanya harus menguap saja. Buktinya, sampai sejauh ini, di Al Wustha, Ibrahim masih tercatat sebagai satu-satunya ustaz yang tidak—lebih tepatnya, enggan—dipanggil “Ustaz”.

Sebenarnya ada hal yang lebih prinsipil yang membuat Ibrahim gelisah bukan kepalang. Pesatnya kemajuan Al Wustha telah membawa penurunan kegiatan ibadah abangnya. Tak terdengar lagi suara emasnya melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di sepertiga malam; tak ada diskusi-diskusi hangat masalah keumatan lepas Isya; tak pernah sekalipun abangnya itu mengisi kajian Fiqih Kontemporer yang dulu sangat digemarinya …. Kini, semuanya bagai dongeng. Dan layaknya dongeng, ketika kembali ke realita, semua kembali seperti sedia kala. Pun dengan Kota Sebiduk Semare ini, tak banyak percikan ghirah keislaman Ustaz Iqbal berlabuh.

Di ruang kerjanya, kebiasaan mutaba’ah; mengulang-ulang hafalan Al qur’an, bakda Ashar telah digerus oleh agenda menonton pelbagai infotainment dan siniar bergibah di Youtube. Rapat mingguan pesantren kerap tak dihadirinya, dialihkan ke agenda shoping di Lippo Linggau Plaza; dan hampir tak pernah lagi Ibrahim melihatnya mengimami salat berjemaah di masjid pesantren; bahkan hanya untuk duduk-duduk, berkumpul bersama, bersenda-gurau kecil dengan para santri pun tak juga dilakoninya. Ah, impian itu telah menjadi angin. Entah ke mana angin itu tengah berembus. Ibrahim tak tahu di mana kegelisahannya akan berujung.

* * *

Kini semuanya jelas sudah, ke mana angin itu bersemilir membawa Ustaz Iqbal berlabuh. Nurlaila Jannah, itulah jawabannya. Putri tunggal Kiai Abdullah yang lebih awam dipanggil Ustazah Nur tersebut, sebentar lagi akan mengayuh biduk kehidupan bersama Ustaz Iqbal.

Nah, inilah yang sangat sulit diterima Ibrahim. Sekali lagi, tak ada maksud ia menganggap abangnya sebagai lelaki yang tidak sekufu dengan kembang Pesantren Mardhotillah itu. Tapi, ia sangat yakin kalau begitu banyak orang yang menyayangkan pertautan itu terjadi. Mungkin secara fisik, Ustaz Iqbal dan Ustazah Nur benar-benar sepinang. Mereka berdua sama-sama memiliki wajah yang rupawan. Belum lagi, abangnya adalah pemimpin pesantren yang tengah berkembang saat ini, sedangkan calon istrinya adalah putri tunggal seorang pemilik pesantren yang terkenal di seantero kota ini. Tabik, lengkaplah semua!

Tapi tak banyak yang tahu bagaimana abang kini, batin Ibrahim. Ah, ia lelah sendiri memikirkannya. Kerap terlintas di hatinya bahwa Allah tidak adil! Bagaimana bisa Bang Iqbal justru mendapatkan gadis yang saliha yang ideal seperti Ustazah Nur? Sungguh, ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya atas ketidaksekufuan, ketidakadilan, dan anomali keberpasangan ini.

“Maafkan aku, Ya Rabb,” Ibrahim beristigfar tiga kali. “Semoga tuntutan hamba tentang keadilan sunnatullah-Mu, bukan disebabkan oleh rasa ini. Semoga ya Rabb…” tutup Ibrahim di pengujung tahajudnya. Buliran hangat membasahi wajahnya. Ya Rabb, getaran itu terus saja menderap perasaanku. Ya Allah, aku iri kepada Bang Iqbal. Aku…Oooh, hamba benar-benar daif, ya Rabb.

* * *

Dhuha itu dipayungi mentari yang malu-malu menyelinapkan teriknya di balik awan-awan yang berarak. Pesantren Al Wustha tampak meriah. Suara tabuhan rebana bagai berlomba-lomba memeriahkan suasana. Mengalahkan deru aneka kendaraan yang memasuki area parkir. Dengan senyum yang terus mengembang, Ustaz Iqbal berdiri jemawa. Gagah dengan balutan jubah putih dan sorban yang ia beli secara daring dari temannya di Dubai.

Tampak dari kejauhan rombongan Kiai Abdullah tengah memasuki aula masjid. Diikuti putrinya yang, subhanallah, begitu elok bak Zulaikha made in Indonesia.
Pembawa acara mulai membacakan satu persatu mata acara. Ibrahim yang diamanahi untuk membaca ayat suci Al Quran tengah bersiap-siap di antara para santri yang khusyuk mengikuti acara. Tiba-tiba, baru disadarinya kalau ia “tersesat”. Ia berada di antara rombongan santriwati dari Pesantren Mardhatillah. Ia ingin lekas beranjak, tapi percakapan para santriwati pesantren tetangga yang menyambangi gendang telinganya malah menahannya.

“Ugh, beruntung sekali Ustazah Nur, ya? Dapat ustaz muda, salih minta ampun, ganteng, tamatan Mesir pula. Uuuh!”

“Pasti Ustaz Iqbal belum tahu aja kalau ustazah kita itu hobinya shoping, ngegosip, arisan, jalan-jalan ke luar negeri….”

Ibrahim beristighfar. Lekas ia menjauh dari kerumunan. Namanya dipanggil untuk melantunkan kalam ilahi. Dan… mengalirlah ayat-ayat cinta itu. Surah An Nur, seperti permintaan abangnya. Tak terasa, matanya hangat. Dan ketika titik bacanya menggaris ayat 26, air matanya berlinang. Semuanya tumpah. Hatinya menangis hebat! Tak keruan menyesalnya ia karena telah menanam keragu-raguan dan kealfaan kepada-Nya. Serta-merta ia minta ampun dalam hati.

Sementara itu, seisi masjid takjub akan penghayatan dan kemampuannya melagukan ayat-ayat itu. Akhirnya, dengan terbata-bata ia selesaikan tugasnya. Rabb, maafkan aku. Engkau lebih mengetahui apa yang tidak hamba-Mu ini ketahui.

Ijab qabul pun dilangsungkan. “Sah?”

“Sahhhhhhh!”(*)

Catatan:
“Perempuan yang keji itu untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk perempuan yang keji (pula) sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang murah.”(QS.An Nur:26)


3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here