Mataku masih sembab. Semalam tiba-tiba aku teringat nenek. Minggu lalu nenek pergi begitu cepat. Entah kenapa malam itu aku ingin menginap di rumah nenek. Jarak rumah nenek dengan rumah kami terbilang dekat. Nenek selalu menolak tinggal bersama ayah dan ibu. Kata nenek, kasihan rumah peninggalan kakek kalau ditinggal sendirian.
“Aina, cucu shalehah, ayo bangun subuhan dulu,” nenek membangunkan aku dengan lemah lembut.
“Iyaaa, Nek,” aku menyipitkan mata, kulihat nenek duduk di atas sajadah.
Kubuka selimut motif kartun kesukaanku. Selimut merah muda itu kulipat rapi. Kutaruh di sisi tempat tidur. Aku memandang nenek yang masih mengaji. Lalu, pelan-pelan kulangkahkan kaki keluar kamar.
Pagi itu udara cukup dingin. Clesss… hufff dingin air seperti es batu. Dingiiin, banget. Bagaimana nenek setiap hari, ya? Setahu aku, nenek selalu mandi sebelum salat subuh.
Saat masuk kamar, nenek sudah berada di atas tempat tidur. Sepertinya nenek lelah, kemarin ‘kan Tante Iwul, adik ayah, pulang sebentar. Sebelum kemudian kembali kerja di luar kota. Biasanya Tante Iwul minta dibuatkan nenek lauk kesukaannya.
Selesai salat, aku baru sadar, Nenek tidak pakai sajadah kesayangannya. Sajadah warna kuning keemasan dan lebar. Sajadah pemberian ibu.
“Nek, sajadah Nenek ke mana?” tanyaku seketika.
Nenek terbangun, menoleh ke arahku, tangan kanannya menunjuk lemari pakaian di sudut kamar. Mungkin maksud nenek, sajadahnya masih di lemari. Aku belum sempat bertanya lagi, kulihat nenek tidur kembali.
Sampai ayah dan ibu datang mengantarkan sarapan untuk kami, nenek masih tidur di kamar. Aku selesai sarapan di ruang makan ketika kudengar jerit ibu di kamar nenek. Bergegas aku menuju kamar nenek. Aku melihat ayah memeluk ibu. Tangis ibu pecah mendekap tubuh nenek. Sementara, Nek Cil tergopoh menenteng belanjaan dari pasar.
Aku pun paham, hari itu hari terakhir aku bertemu nenek. Tidur terakhir bersama nenek. Hanya, sampai hari ini aku belum menemukan sajadah nenek. Aku sudah membongkar isi lemari pakaian bersama ibu. Sajadah nenek tidak ada di sana. Tidak ada barang kotor di tempat cucian atau di jemuran. Juga, tidak ada tumpukan pakaian bersih samping lemari.
“Sudahlah, kalau masih rezeki, insyaallah nanti ketemu,” ibu selalu bilang begitu setiap aku mencari sesuatu belum ketemu.
“Ibu udah nanya Tante Iwul? Atau Nek Cil?” aku makin penasaran.
Ibu bilang, ibu tidak mau mengingatkan Tante Iwul tentang nenek dulu. Ibu sudah bertanya Nek Cil, adik bungsu nenek, tapi katanya sudah dilipat rapi di lemari.
Aku semakin ingin tahu di mana sajadah itu. Teringat, saat nenek sering bercerita di atas sajadah selepas salat. Saking lebarnya sajadah, aku bisa duduk berdua bareng nenek di atasnya.
“Tidak ada yang masuk ke kamar nenek waktu itu ‘kan?” ayah ikut menyelidik.
“Seingat Ibu, sampai nenek dimakamkan, kamar nenek dikunci dan kunci kamar kita bawa pulang. Kalau pintu rumah memang dititipkan Nek Cil.” ibu mencoba mengingat-ingat.
Mungkinkah nenek memberikan sajadah kesayangannya itu pada seseorang? Aku mulai menduga-duga. Sebab yang aku tahu, nenek gemar berbagi. Siapa pun yang lewat depan rumah ditawarinya mampir. Diajaknya minum dan makan makanan yang ada di rumah. Terkadang, nenek menyelipkan lembar uang kertas ke saku tamu yang menurut nenek butuh dibantu.
***
Hari ini tepat satu bulan nenek pergi. Kami hampir tiap hari menengok rumah nenek. Membersihkan daun mangga kering di halaman depan. Menyirami tanaman tomat di samping rumah. Saat menyiram, tanpa sengaja pandanganku mengarah ke belakang rumah nenek.
Sejumlah batang bambu bersandar di pohon jambu air. Dan… ada kain gorden yang sudah tidak dipakai tergantung di ujung batang bambu. Biasanya, kain itu untuk menadah di bawah saat memetik jambu. Jangan-jangan, waktu sajadah nenek dijemur, ada yang mengambil untuk menadah jambu air, lalu sajadah itu lupa dikembalikan? Bukankah siapa pun boleh memetik jambu air milik nenek?
“Aina, ayo ikut jemput Tante Iwul di stasiun,” panggilan ayah membuyarkan pikiranku tentang sajadah.
Aku berganti pakaian memakai kerudung. Sepanjang perjalanan ke stasiun, aku berdoa, siapa pun yang mengambil sajadah nenek segera mengembalikannya. Aku kangen nenek. Kangen cerita tentang pasukan gajah, semut sahabat Nabi Sulaiman, dan lainnya.
“Assalamu’alaikum, ponakan cantik Tante,” rupanya Tante Iwul sudah menunggu di pintu keluar stasiun. Begitu kami datang, Tante Iwul langsung membuka pintu tengah kendaraan.
Kami membalas salam Tante Iwul bersamaan. Tante Iwul banyak bercerita sepanjang perjalanan pulang. Kok, sepertinya, Tante Iwul sudah tidak bersedih, ya? Padahal waktu nenek meninggal, semua orang susah menghentikan tangis Tante Iwul.
“Bersyukur banget bisa ngobati kangen Ibu,” di sela-sela bercerita, suara Tante Iwul melemah.
Tante Iwul merasa beruntung, beberapa hari sebelum nenek pergi, Tante Iwul menyempatkan pulang. Entah kenapa rasanya ingin pulang walaupun sebentar. Saat mau balik kerja, Tante Iwul izin membawa kain batik nenek. Saat itu, bertepatan masuknya Nek Cil membawa tumpukan pakaian nenek yang sudah dilipatnya rapi. Setelah Nek Cil keluar kamar, Tante Iwul izin membawa sajadah Nenek sekalian.
“Biasanya, ibu enggak pernah izinin sajadah itu aku bawa.”
Kulihat tangan Tante Iwul sibuk mengusap kedua pipinya. Saat berhenti di lampu merah, ayah dan ibu menoleh ke arahku. Kedua mata ibu kulihat tampak berkaca-kaca tersenyum padaku. Aku membalas senyum ibu. Alhamdulillah, sajadah Nenek yang kucari akhirnya kembali. Aku lega sekali.
Nice Kak
Alhamdulillah terima kasih, Kak. Bismillah yuk terus berkarya hihih.