Di zaman ini memang segalanya terbalik-balik. Standar ketampanan berubah dari gagah perkasa menjadi cantik ala cowok Korea. Para pria asyik mengecat bibir, melentikkan bulu mata, melakukan oplas agar dagu lebih runcing. Sementara, kaum perempuan berlomba-lomba membesarkan lengan agar menjadi menjadi kekar atau memangkas rambut agar terlihat macho.
Begitupun kehidupan sehari-hari. Semua sibuk memegang gawai. Manusia yang jauh menjadi dekat dengan teknologi informasi, tetapi yang dekat menjadi jauh, karena setiap saat kita sibuk dengan gadget kita. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada.
Dan, orang pun mulai merasa sunyi, meskipun dia sebenarnya ada di keramaian. Bersedih, meski berlimpah kesenangan. Merana, di tengah gebyar hiburan malam. Menangis, tanpa tahu apa sebabnya. Tubuh merintih kelaparan, tetapi mulut tak berselera makan, padahal meja berlimpah hidangan.
Sebuah survey menyebutkan, bahwa satu dari tiga orang merasa mengaku kesepian, meskipun sebenarnya dia banyak teman. Padahal, menurut riset dari University of New York, sebagaimana dilansir dari tirto.id, menyebutkan bahwa rasa sepi dan isolasi sosial, meningkatkan risiko penyakit jantung hingga 29% dan stroke hingga 32%.
Sepi di tengah ramai, menunjukkan kegagalan kita di dalam membangun komunikasi yang intens dengan sesama. Masyarakat modern merasa mampu hidup sendiri dengan teknologi supercanggih. Malas untuk beradaptasi, Mereka memilih membangun tembok tinggi, mengunci gerbang hampir sepanjang waktu, dan berasyik masyuk dengan dirinya.
Interaksi yang terjadi pun kemudian menjadi sangat formal. Tidak ada persahabatan tulus, serta ikatan hati yang harmonis antara satu sama lain. Kebiasaan menyendiri juga membuat kecerdasan sosial seseorang menjadi buruk. Tidak peka, sulit mengendalikan diri, dan terlalu mudah membuat konflik serta ogah menciptakan solusi. Manusia seperti menjadi hantu bagi manusia lain. Saking sulitnya membangun interaksi dengan sesama, malahan ada yang sudah mulai berpikir menikahi karakter anime.
Hal itu diperburuk pula dengan jauhnya diri dari nilai-nilai spiritualitas. Tak ada waktu ‘curhat’ kepada Allah, bahkan sekadar untuk berdoa dan memohon kelembutan hati. Jiwa menjadi gamang, hati menjadi kosong, terjerat depresi.
Mengejar target serta prestasi memang penting. Tapi, mencoba membangun interaksi yang berkualitas dengan sesama, juga Yang Maha Tinggi, jauh lebih penting. Mulailah melempar senyum, salam, dan membangun persahabatan, juga waktu khusus untuk berkhalwat dengan Allah Azza wa Jalla. Lambat laun sepi itu akan pergi, bahkan ketika kita sedang sendiri.