Lelaki Lain dalam Doa Nenek

6
169

“Mahmud itu siapa, Nek?”
Aduh, aku refleks menutup mulut. Bukannya aku tadi berencana mau tanya pelan-pelan? Kok langsung tembak begini?
“Mahmud siapa?” Nenek menoleh padaku. Sejumput gethuk di tangannya tertahan mulut.

* * *

Bulik Tin pernah bilang, Nenek suka berada di kamar mandi berjam-jam.

“Nanti, kalau Nenek tinggal di rumah kalian, tiap subuh, usahakan kamu sudah mengambil wudlu sebelum adzan berkumandang. Terlambat sedikit saja, bisa tak kebagian catatan malaikat pagi, karena Nenek baru akan keluar kamar mandi menjelang waktu subuh habis.”

Sudah beberapa hari ini Nenek tinggal di rumah kami, sebab di rumah Bulik Tin, tempat Nenek selama ini tinggal, sedang kosong ditinggal menunaikan ibadah haji selama empat puluh hari ke depan.

Seperti kata Bulik Tin, rupanya Nenek benar-benar suka di kamar mandi. Padahal kota Malang sedang dingin-dinginnya. Tak pernah kurang dari dua puluh menit Nenek bermain air. Sedangkan kamar mandi kami hanya satu.

Namun aku senang Nenek tinggal bersama kami. Beliau membawa serta koleksi majalah tuanya ke sini. Aku jadi bisa menghemat pengeluaran untuk membeli buku. Nenek juga punya banyak cerita zaman perjuangan. Masa kecil Bapak yang lucu diceritakan sejelas film bagiku.

Usia Nenek sudah 85, tahun ini. Beliau masih terlihat segar meski kalau berjalan agak membungkuk. Hobi membacanya tak pernah pudar, sampai kadang tertunduk lelap dengan majalah terbuka di pangkuannya. Hebatnya, Nenek tak pernah sekali pun terjatuh. Majalah di pangkuannya juga tetap terpegang. Kalau orang lain melihatnya, mereka mungkin mengira Nenek sedang khusyuk membaca.

Keluarga sudah maklum kalau Nenek tak selalu menyahut saat dipanggil, karena kemampuan pendengaran beliau sudah berkurang beberapa tahun ini. Hal itu yang membuat beliau berbicara dengan suara lebih lantang daripada orang kebanyakan.

Pagi ini aku sedang libur. Setelah mencuci piring bekas sarapan, kulihat Nenek sudah tak ada di ruang makan. Padahal tadi kami sarapan berdua, karena Bapak dan Ibuk sedang sarapan di luar bersama teman-temannya.

Nenek belum pikun, tapi aku tetap khawatir kalau beliau tiba-tiba keluar rumah sendirian. Lalu lintas kendaraan di jalan depan rumah cukup padat, sedangkan bunyi klakson kendaraan sudah tak lagi mampu ditangkap dengan sempurna oleh telinga Nenek. Aku melangkah tergesa menuju teras. Namun tidak kudapati sosok beliau di situ, pintu pagar juga terkunci. Seketika, aku pun berbalik arah menuju kamar. Kosong.

Tiba-tiba aku mendengar suara dari tempat sholat. Ah, tentu saja, ini kan sudah masuk waktu Dhuha. Dengan perasan lega aku pun menuju ke sana. Rupanya Nenek baru saja selesai sholat Dhuha. Sekarang sedang membaca doa Dhuha. Setelahnya, aku mendengar doa dalam bahasa Jawa yang khusyuk, nama kami sekeluarga disebutnya, begitu pula Bulik dan Paklik serta sepupu-sepupu yang lain. Aku yang terharu, turut mengaminkan doa beliau diam-diam.

Aku hampir beranjak pergi ketika ada satu nama laki-laki yang beliau sebut secara khusus. Nama itu tak ada dalam keluarga kami. Aku hafal nama semua adik-adik dari keluarga Nenek dan almarhum Kakek, tak ada pula nama itu. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang begitu istimewa sampai beliau masukkan ke dalam doa? Apakah ini berkaitan dengan peristiwa itu?

Sekitar sepuluh tahun lalu, sebelum Kakek wafat, aku ingat pernah ada peristiwa yang cukup menghebohkan dalam keluarga kami. Kakek yang lumpuh separuh akibat stroke, mogok makan dan tak mau melihat Nenek. Nenek menelepon Bapak sambil menangis seperti anak kecil. Saat itu Kakek dan Nenek masih tinggal berdua saja di rumah mereka, di Trenggalek, jauhnya sekitar empat jam perjalanan dari rumahku.

Bapak yang waktu itu belum pensiun segera meminta izin ke kantornya untuk pulang ke Trenggalek. Ibuk dan aku sibuk menyiapkan keperluan sekadarnya, yang penting bisa cepat berangkat. Semua adik-adik Bapak dihubungi untuk segera pulang. Bapak khawatir ada hal luar biasa yang akan terjadi pada Kakek karena tingkahnya yang tidak biasa.

Sampai di sana, ibuku langsung membuatkan makanan kesukaan Kakek. Nasi putih, sayur labu siam agak pedas, dan lauk empal sapi.
“Urusan dengan Nenek nanti saja,” kata Ibu. Aku setuju, yang penting Kakek harus makan dulu, sebab katanya sudah seharian hanya minum air gula.

Bapak melarang Nenek masuk kamar dulu, khawatir Kakek masih ngambek nanti tidak mau makan. Ibuk mendekati Kakek dengan nampan berisi semangkuk sayur, nasi putih mengepul, dan lauk yang tampak menggiurkan. Disajikan rapi, seperti sajian di hotel. Dari ruang makan di depan kamar Kakek, aku bisa melihat mata Kakek berbinar menyambut sajian yang dibawa Ibuk.

Ibuk menyuapi Kakek dengan sabar, tak sedikit pun menyinggung soal acara mogok makannya. Setelah beberapa suapan yang terlihat tergesa, mungkin karena sangat lapar, Kakek mulai bersuara.

“Masakanmu enak.” Begitu kalimat pembukanya. Kulihat Ibuk hanya tersenyum menanggapi.
“Ibumu tak memberiku makanan sejak kemarin,” desisnya, persis seperti anak kecil. Aku melirik Nenek yang mulai menangis lagi di luar kamar. Bapak berusaha menenangkan, karena toh kami semua tahu, bukan seperti itu kejadiannya.

Kemudian Kakek bercerita, kemarin pagi Nenek dandan cantik sekali.
“Padahal cuma mau pengajian,” katanya.
Pengajian di masjid bersama ibu-ibu tetangga. Kakek cemburu melihat Nenek yang memakai baju bergambar bunga dan memulas sedikit pewarna di bibirnya.
“Di rumah cuma dasteran. Lha buat siapa dia dandan secantik itu saat mau pengajian?”
Kakek menduga-duga apakah karena ustadz-nya masih muda? Atau akan bertemu seseorang di tempat pengajian? Dan beberapa dugaan lain yang membuatku segera menjauh dari kamar Kakek, khawatir tak bisa menahan tawa.

Aku, Bulik Tin, Paklik Mansur, dan beberapa sepupuku mengikik di teras. Kami tak menduga masalahnya soal cemburu. Bapak sampai menegur kami ketika tawa kami tak segera berhenti.

Demi mendengar doa Nenek pagi ini, aku jadi bertanya-tanya. Apakah kecemburuan Kakek waktu itu sebenarnya ada alasannya? Mungkinkah nama yang Nenek sebut ini orangnya? Jika benar, maka aku bersalah telah menertawakan Kakek waktu itu. Namun aku bimbang, apakah sebaiknya aku bertanya atau diam saja? Toh Kakek sudah wafat, pikirku. Aku penasaran sepanjang hari.

Esoknya, aku sengaja izin untuk datang terlambat ke kantor. Aku yakin doa itu akan diulang Nenek setelah sholat Dhuha, maka aku menunggunya. Benar saja, nama yang sama beliau sebut lagi secara khusus. Aku tak begitu ingat kalimat doanya. Mahmud, itu yang kutangkap. Siapa Mahmud ini? Aku semakin penasaran.

Semalam aku berusaha sedikit mengorek dari Bapak, barangkali kenal nama Mahmud di sekitar kehidupan mereka sebelum Bapak menikah. Ternyata Bapak tak kenal, malah aku yang ditanya. Kubelokkan ke pembicaraan lain, daripada menjelaskan kecurigaanku.

Aku menunggu waktu yang tepat untuk mengobrol dengan Nenek. Tak enak juga membahas hal sensitif begini sambil berteriak-teriak, sedang dengan suara biasa pasti Nenek tak mendengar.

Akhir minggu, kuajak Nenek jalan-jalan berdua. Mencari gethuk, begitu alasanku. Gethuk dari singkong, berwarna cokelat, dengan tekstur seperti adonan kalis, dengan taburan kelapa parut adalah makanan kesukaan Nenek. Biasanya kalau sedang jalan-jalan atau menikmati makanan kesukaan, Nenek terlihat ceria. Nah, saat sepertiitu, entah bagimana sering kali pendengaran Nenek menjadi lebih peka.

Setelah mendapatkan gethuk, kuajak Nenek duduk di taman yang rindang dekat pasar. Aku harus bertanya pelan-pelan, agar beliau tidak menghindar.

“Mahmud itu siapa, Nek?”
Aduh, aku refleks menutup mulut. Bukannya aku tadi berencana mau tanya pelan-pelan? Kok langsung tembak begini?

“Mahmud siapa?” Nenek menoleh padaku. Sejumput gethuk di tangannya tertahan di depan mulut.

Bagian ini tak perlu kuceritakan, karena agak berbelit. Aku sibuk memperbaiki kalimat agar Nenek tak merasa sedang kuinterogasi. Akhirnya Nenek menceritakan, siapa Mahmud itu.

“Maksud Nenek, Amir Mahmud yang Menteri Dalam Negeri jaman dulu?”

Ini di luar perkiraanku. Kukira Mahmud orang biasa. Nenekku hanya petani biasa di desa. Bagaimana bisa mengenal menteri? Pikiranku mereka-reka skenario yang paling tak masuk akal semacam cerita putri dan pangeran, atau Romeo dan Juliet.

“Nenek selalu mendoakannya karena beliau berjasa besar dalam hidup kita sampai hari ini,” lanjut Nenek. Pendengaran Nenek sedang baik, rupanya semesta mendukungku. Terima kasih gethuk singkong.

“Dulu, kakek seorang bayan desa dengan upah sawah. Jabatan itu turun-temurun dari buyutmu.”

Rupanya, di suatu tahun sebelum usia pensiun Kakek tiba, datanglah sebuah keputusan besar di negeri ini. Buah perjuangan dari Bapak Amir Mahmud di hadapan Presiden Soeharto, kata Nenek. Banyak perangkat desa diangkat menjadi pegawai negeri.

Hari itu Kakek dan para perangkat desa yang menerima kabar serupa, sibuk mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Bahkan Pak Amir Mahmud memberi instruksi agar kantor pemerintahan terkait dibuka 24 jam demi melayani kebutuhan ini. Kakek juga mendapat uang saku, yang kata nenek kalau diibaratkan masa sekarang jumlahnya sekitar lima juta rupiah.
Sebuah angka yang cukup besar untuk keperluan pemberkasan dan perjalanan dari Trenggalek ke Turen, Malang, tempat dilaksanakannya pelantikan Kakek dan rekan-rekannya. Benar-benar seperti mendapatkan durian runtuh.

“Bagi Nenek, beliau sangat berjasa. Jasanya sangat besar. Kalau tidak saat itu, kalau tertunda sedikit saja, bisa jadi usia kakekmu tak akan masuk daftar orang yang diangkat sebagai pegawai negeri. Dan tentunya tak punya jatah uang pensiun.” Ya, keputusan itu terjadi hanya tiga tahun sebelum usia pensiun Kakek. Sungguh nyaris tak termasuk hitungan. Aku turut berdebar-debar mendengar cerita itu. Aku jadi memahami binar mata yang memancar selama Nenek bercerita tadi.

“Berkat beliau, setelah kakekmu meninggal, Nenek masih menerima nafkah. Bahkan sampai hari ini,” ucap Nenek sedikit parau. Ya, tentu saja ini hal yang sangat luar biasa bagi Nenek. Seakan masih membuatnya terhubung dengan kekasihnya meski telah terpisah alam sepuluh tahun.

Aku sering melihat Nenek yang begitu bersemangat di awal bulan. Subuh-subuh buta berangkat ke bank pensiunan, bersama teman-temannya. Ceria sekali.

Ah, Nenek. Maafkan aku karena telah menduga yang tidak-tidak, cucumu ini rupanya harus mengurangi menonton sinetron yang jalan ceritanya tak masuk akal.

“Sebab itulah, sampai hari ini Nenek masih mendoakan Pak Amir Mahmud. Semoga beliau diberi tempat terbaik di sisi Allah,” pungkas Nenek, bersamaan dengan suapan terakhir gethuk singkongnya. Amin.

Aku pun berjanji, meski mungkin tak serajin Nenek, akan menyebut nama beliau dalam doa-doaku. Jasa beliau sungguh besar pada keluarga kami.
Alfatihah.

*****


6 COMMENTS

  1. Maasyaallah … kesimpulannya kita harus menghargai dan tidak melupakan kebaikan orang yang telah berjasa pada kita. Mantaapp Tante, luar biasa ceritanya 👍

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here