Kemeja untuk Moses

0
128

Cukup lama Amaar berputar-putar sendirian dalam mall itu. Ia belum juga menemukan kemeja yang ia cari. Sepertinya warna yang benar-benar sama dengan kemeja milik Moses sudah tidak ada lagi.

“Hey, Nak, ada yang sedang kau cari?” seorang wanita mengenakan seragam kerja mendatangi Amaar dengan senyum ramah saat bocah lelaki berkulit cokelat terang itu memilah-milah kemeja di sebuh counter.
“Apa kau adalah seorang pelayan counter ini?” tanya Amaar polos.
“Bisa dibilang begitu. Hey, mengapa kau berjalan-jalan sendiri? Mana ibumu?”
“Ibuku sedang ada urusan, jadi aku ke sini sendiri.”
“Kau tidak bersama teman-temanmu?”
“Ini kan hari Minggu. Sebagian besar dari mereka pergi ke sekolah Minggu.”
“Lalu kenapa kau tidak pergi ke sekolah Minggu juga?”
“Aku Muslim. Aku tidak pergi ke gereja. Aku pergi ke masjid,” jawab Amaar dengan senyuman. Ia ingat perkataan ayahnya bahwa sebagai Muslim, ia harus memperkenalkan diri kepada siapa saja dengan ramah.
“Oh,” wanita itu membelalak agak terkejut. “Jadi kau bukan Kristiani?”

“Ya, begitulah,” Amaar kembali tersenyum. “Ngomong-ngomong, aku sedang mencari kemeja seperti ini.” Amaar menunjukkan kemeja milik Moses yang sudah sobek itu kepada wanita itu. Kemeja kotak-kotak berwarna biru muda, hitam, dan putih.
“Apa di sini menjual kemeja yang sama persis?” tanya Amaar agak khawatir.
“Hmm, boleh kulihat?” tangan wanita itu meraih kemeja milik Moses. “Aku harus mengecek persediaannya di komputer. Kau mau menunggu?”
“Tentu saja.”

“Oiya, kita belum berkenalan,” wanita itu berjongkok lalu mengulurkan tangannya pada Amaar yang lebih pendek darinya. “aku Jane Houston. Siapa namamu, anak manis?”
“Namaku Amaar Hosein. Senang berkenalan denganmu, Ms. Jane,” Amaar menjabat tangan Ms. Jane.
“Tunggu sebentar ya, Amaar. Kau boleh melihat-lihat selagi menunggu.”
“Tidak masalah. Terimakasih, Ms. Jane. Aku sangat ingin bisa membelinya. Aku sudah menabung selama seminggu untuk membelinya. Aku tidak ingin mengecewakan Moses,” jelas Amaar panjang lebar.

“Jadi kau ingin mengganti kemeja milik Moses ya? Apa Moses teman sekelasmu?”
“Ya, Ms. Jane. Dia menolongku saat Greg dan kroni-kroninya merebut makan siangku. Mereka berkelahi hingga dipanggil Kepala Sekolah,” tutur Amaar, “karena perkelahian itu, kemeja Moses jadi sobek begini.”
Ms. Jane memperhatikan sobekan lebar pada lengan kemeja itu. Lalu matanya menangkap sesuatu. “Kau perhatikan merk ini, Amaar?”

Amaar memperhatikan tulisan kecil yang berada di leher kemeja. “Aku baru tahu, Ms. Jane. Memangnya kenapa?”
“Kemeja ini bermerk ‘Sprout’s Wear’. Dan kau kini tengah berada di counter Sprout’s Wear. Kau tidak salah tempat, Nak.” Ms. Jane membelai rambut Amaar sambil tersenyum.
“Alhamdulillah…” senyum Amaar mengembang lagi.
“Apa yang barusan kau ucapkan, Amaar?” tanya Ms. Jane heran.
“Alhamdulillaah. Itu artinya ‘segala puji bagi Tuhan’, aku berterimakasih kepada Tuhan karena akhirnya aku bisa menemukan counter yang tepat, Ms. Jane.”

Ms. Jane tertawa mendengar kata-kata Amaar. “Anak yang baik. Maukah kau membantuku mencari di seluruh ruangan counter ini? Aku yakin masih ada beberapa potong.”
“Dengan senang hati, Ms. Jane,” Amaar tak mampu menyembunyikan kegirangannya.

Mereka berdua pun menjelajahi counter itu dengan seksama dan meneliti setiap kemeja kotak-kotak yang ada. Akhirnya, pada jam 3 sore, Amaar berhasil membawa pulang kemeja yang paling mirip dengan kepunyaan Moses.
“Maaf sekali, kemeja yang sama rupanya sudah habis, Amaar. Semoga Moses menyukai kemeja yang ini, meskipun warnanya beda sedikit,” ujar Ms. Jane.
“Aku harap begitu, Ms. Jane. Terimakasih telah membantuku hari ini. Kapan-kapan aku akan datang lagi, insya Allah,” Amaar menjabat tangan Ms. Jane.

“Apa yang kau katakan tadi, Amaar?” lagi-lagi Ms. Jane merasa asing dengan istilah-istilah berbahasa Arab yang Amaar ucapkan.
“Insya Allah, Ms. Jane. Artinya ‘bila Tuhan mengijinkan’. Setiap kali kita berjanji, kita haruslah mengucapkan kata itu, Ms. Jane. Kata ayahku, manusia bisa berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan.”
Ms. Jane tertawa mendengar penjabaran Amaar. “Kau anak yang baik, Amaar. Kau mendengarkan semua perkataan ayahmu dengan sangat baik. Semoga Tuhan memberkatimu,” Ms. Jane mendekati kening Amaar untuk mengecupnya.
Amaar tersipu malu. “Dadaah, Ms. Jane,” Amaar melambaikan tangan.
“Hati-hati di jalan, Amaar,” Ms. Jane balas melambai pada Amaar.

Amaar berjalan pulang menuju rumah dengan sangat senang. Akhirnya ia bisa membalas kebaikan Moses. Tapi… jangan sampai Ayah tahu kalau aku membelikan kemeja untuk Moses, batin Amaar, Ayah pasti sangat tidak senang.
Kekhawatiran itu membuat Amaar melangkah dengan agak takut ketika mulai memasuki halaman depan rumah. Hari ini seharusnya Ayah masih berada di rumah Paman Abdul, sekitar 12 blok dari rumah mereka. Tapi Amaar tidak tahu kapan ayahnya akan pulang, Amaar berharap…

“Amaar?” suara berat Ayah mengagetkan Amaar ketika membuka pintu rumah.
“I-i-iya, A-a-ayah, eh… Assalammu’alaykuum, Ayah,” Amaar mengucap salam dengan terbata. Perasaan khawatir, dan takut bercampur jadi satu.
“Wa’alaykuumsalaam,” jawab Ayahnya sambil melangkah menghampiri Amaar di depan pintu. “Ibumu hanya bilang kau sedang keluar mencari sesuatu, Nak. Apa yang kau cari, Amaar?”
Amaar mencelos. “Eh… anu… ini…” Amaar menyembunyikan tas dari kertas yang berisi kemeja untuk Moses itu di balik punggungnya.

Mata ayahnya menyipit. “Ada yang kau sembunyikan, Anakku?”
“Itu, Ayah… aku…” Amaar ingin berbohong. Tapi berbohong itu dosa dan para pembohong yang berdosa itu akan pergi neraka setelah mereka mati. Di neraka mereka akan dibakar sambil dipotong lidahnya, begitu cerita Ayah. Membayangkannya saja Amaar bergidik.
“Jelaskan pada Ayah, Amaar,” Ayah berkata dengan lembut sambil mengelus-elus jenggotnya yang mulai panjang.
“Aku mencari kemeja untuk… Moses, Ayah…” Amaar menjawab takut-takut.

Ayahnya mengernyitkan alis. Oh tidak, Ayah mulai marah, keluh Amaar dalam hati.
“Moses?” tanya Ayahnya, “Jadi kau masih berteman dengan anak Yahudi itu?”

Amaar takut mendengar ayahnya bila mulai marah. Tetapi ia selalu tidak paham apabila ayahnya mulai melarangnya berteman dengan Moses dan anak-anak lain hanya karena mereka semua beragama Yahudi. Suatu saat ayahnya pernah bilang bahwa orang-orang Yahudi itu telah banyak membunuh saudara-saudara mereka di Palestina. Ayahnya bahkan sampai mengajak Amaar menonton berita di teve tentang perang antara penduduk Israel yang beragama Yahudi, dan penduduk Palestina yang beragama Islam seperti mereka. Tetapi, dalam hal ini, Moses bukanlah warga Israel meski ia juga beragama Yahudi. Dan Amaar pun tahu, keluarga Moses tidaklah terlibat perang di Palestina. Ayah Moses sangat baik, ia seorang insinyur dan pandai membuat berbagai macam barang dari kayu. Hampir semua perabotan rumah Moses adalah hasil karya ayahnya. Ibu Moses pandai memasak. Suatu hari, ketika Amaar berkunjung ke rumah Moses untuk menyelesaikan proyek Biologinya bersama Moses, Ibu Moses menghidangkan kalkun panggang yang lezat. Malam itu, tidak ada hidangan yang dibuat dari daging babi di rumah Moses, karena Amaar datang berkunjung. Mereka memahami bahwa sebagai Muslim, Amaar dilarang makan daging babi.

“Dia teman sekelasku, Ayah, dan Moses sangat baik. Aku membeli kemeja ini karena ingin membalas budi kepada Moses, Ayah. Jumat lalu Greg menggangguku lagi. Kali ini dia ingin merebut sphagetti jamur yang dibuat oleh Ibu sebagai makan siangku. Aku melawannya, Ayah, tetapi karena Greg selalu main keroyokan, aku pun jatuh tersungkur di pojok kelas. Saat itulah Moses membantuku mengusir Greg—”
“Amaar, dengar, Nak,” Ayah memotong kata-kata Amaar. “Ayah sudah dengar semuanya dari Mr. Jhonson.”
Amaar kaget. “Ayah mendengar semuanya dari Kepala Sekolah?”
“Ya, tadi di jalan pulang, Ayah bertemu dengannya. Ayah rasa kau sudah saatnya belajar beladiri, Amaar, agar kau bisa mempertahankan dirimu ketika Greg mengganggumu lagi.”

Amaar memiliki nilai yang memuaskan untuk pelajaran Olahraga. Ia rasa itu ide yang bagus, mengingat Greg dan kawan-kawannya memang suka berulah dengan kekerasan.
“Berikan kemeja itu pada Moses, Nak. Memang sudah sepantasnya kita membalas budi kepada orang-orang yang berbuat baik pada kita.”
Kali ini Amaar heran dengan kata-kata Ayah. “Ayah tidak marah?”

Ayahnya tersenyum sambil mengelus-elus kepala Amaar dengan lembut. “Ayah rasa, Ayah hanya terlalu khawatir dengan pergaulanmu, Nak. Ditambah kesedihan Ayah pada krisis yang terjadi di Palestina. Tetapi, yah… dalam hidup ini, kita wajib menghargai orang-orang yang berbuat baik kepada kita, Nak. Ibumu sudah sering bercerita tentang keadaanmu di sekolah. Selama kau bisa membatasi diri dalam pergaulan yang buruk, kau akan aman, Nak.”
“Tapi Moses kan tidak membawaku pada pergaulan yang buruk, Ayah.”
Ayahnya tersenyum. “Aku rasa begitu, Amaar.”
“Terimakasih, Ayah. Ayah sangat hebat!” Amaar menghambur dalam pelukan ayahnya. “Aku berjanji, tidak akan mengecewakanmu dan membuat malu keluarga kita.”
Ayah terkekeh. “Kau sudah besar, Nak. Sudah seharusnya kau memenuhi janjimu itu ya.”

*****


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here