Puisi dalam Bualan Pesta

2
57

BUAL

Kepul asap membubung, melingkar-lingkar lalu lindap
Bualmu tak kunjung senyap
Berteman pahit pekat kopi o dari cangkir berbibir tebal
Tak usai-usai memanjang bual

Matahari menukik
Klakson-klakson bertempik
Anak-anak sekolah bertebaran
Pegawai negeri bergegas gegas
Ibu-ibu menghitung uang belanja dan mengira ngira, apa yang bisa ditukar dengan selembar kertas ungu

Kau masih di sudut itu
Di sebuah kedai kopi di ujung jalan Ciku
Bualmu tak kunjung senyap

Petang merambang
Anak sekolah beranjak pulang
Pegawai negeri membubuh absensi
Ibu ibu memungut pakaian kering dan membuang sisa nasi basi
Kau melangkah pelan
Tinggalkan kedai kopi yang lengang
Membawa kaki seturut kata hati

Sungguh, kau benci petang hari
Benci akan tanya sang mantan pujaan hati tentang kaismu hari ini
Runsing akan rengek si bungsu yang minta sepatu baru
Risau melintas warung yang kau utangi saban minggu

Apa yang kau bawa hari ini, bang?

Sungguh, tak ada lagi sinar kejora
Dari sorot mata mantan perawan yang kau sunting 20 tahun silam
Yang ada kini hanya sepasang netra letih, bergayut kantung kelabu

Kau senyap
Bualmu lindap
Tak guna berhelah
Pula bujuk bermadah

Kau terpejam
Diam melarung khayal
Adakah esok, saudagar yang hendak membeli bual?

PESTA

Mari berpesta!
Riuh pengumuman ditabuh
Genderang memekak, memancing gaduh

Awang dan Ucu mengayuh sampan
Tak ambil pusing, karena pesta tak lebih menarik dari setangkup ikan yang tersangkut di jala

Mari berpesta!
Dansa tango, joget zapin, atau bernyanyi solo, semua ada!

Awang dan Ucu saling pandang

Kau nanti pilih apa, Wang?

Awang mencebik.
Lihat saja nanti. Yang menaruh sampan baru depan pondokku di pagi pesta, itulah dia. Kenape risau sangat?

Ucu tergelak.
Kau memang suke makan rasuah, Wang.

Siapa kata rasuah?
Awang menampik.
Orang beri kite ambil. Tak diambil, kite sombong. Kenape risau sangat?

Awang dan Ucu menebar jala.
Pesta nan riuh tak lagi jadi bahan cerita
Dansa-dansa meroyak di ballroom pesta
Madah-madah manis berkelana
Menjual mimpi membangun negeri bertatah permata

Mari berpesta!
Genderang kian riuh
Hari H tlah tiba.

Awang berlari ke dermaga.
Sebuah sampan baru tertambat.
Awang celik mata.
Itulah dia!

Awang ikut berpesta.
Memilihnya yang memberi sampan baru
Ah, tak hanya itu
Pula jam dinding yang berdetak, terlukis sosok sang lelaki yang berpeci dan tersenyum

Pesta pun akhirnya usai
Tahta kuasa tlah tersemat di dada sang pemenang

Oy, Awang , bangunlah cepat! Kite turun melaut lagi!

Awang tersentak
Bergegas ke dermaga tanpa menyikat gigi

Hei, di mana sampan baruku?
Awang ternganga.
Sampan barunya entah kemana
Yang ada hanya Ucu dan sampan buruknya

Awang mencubit pipi
Aduh!
Ini bukan mimpi
Perahu barunya raib sudah

Oy, Awang, sudahlah melamun!
Yang kalah jangan dikenang
Yang menang jangan disesal

Awang menatap jauh
Tak peduli siapa pemenang
Yang ia tahu hanya satu
Ia dah punya sampan baru

Awang berjalan gontai
Tak peduli pekikan Ucu dan langit yang beranjak terang
Awang naik ke rumah
Menatap jam dinding yang berdetak
Awang mencebik
Kenapa jam dinding ini tak ikut raib?

KORENG

Saat yang tersisa hanya letih
Tak ada yang bisa kuberi selain pedih
Mungkin, pedih telinga masih bisa kulihat
kapan hilang bekasnya
Tapi pedih
Yang menggores hati
Bagaimana kutahu
Bagaimana bisa kuduga
Apakah ia cepat hilang
Atau menyisakan luka yang tak pernah kering
Ataupun justru koreng yang bernanah

Belum sempat terbayang olehku
Apa jadinya
Jika suatu hari nanti koreng itu pecah
Menjelma bisul yang membengkak
Mungkin
Lebih tak mudah untukku
Sekadar menyiramnya dengan doa
Mungkin
Pedih itu juga kelak
Akan menggerogoti nyawaku
Jiwaku
Saat kutahu
Bahwa ternyata aku
Bukanlah seorang mantri
Bahkan tak cukup trampil tanganku
Untuk menutup luka
Mengorek nanah
Mengempis bisul sebelum ianya bengkak dan pecah

Maafkan aku, nak
Jika sampai hari ini
Belum juga kutrampil untuk membersihkan luka korengmu
Aku janji
Secepatnya akan kudatangi pak mantri
Agar tak lagi kuharus membiarkan korengmu pecah dan bernanah
Dan aku yang menatapnya
dengan sesal yang tak sudah

(Tanjungpinang, 1 Januari 2010)

‘H’ (Hah)

Resah
Gelisah
Gundah
Keluh Kesah
Dan amarah
Ah!

Engkau memang payah
Seakan dalam hidupmu hanya ada susah
Padahal, berkahNya melimpah ruah
Tapi mengapakah
Tak jua bibir mendesah
Melafal syukur menyebut asma Allah ?

Pergilah gelisah
Enyahlah gundah
Tak nak kudengar lagi segala kesah
Apatah lagi mulut yang hanya mengomel marah

Engkau memang payah
Seakan hidupmu hanya didera susah


Riawani Elyta. Lahir dan berdomisili di Tanjungpinang. Penulis 32 buku, Ketua Forum TBM Kepri dan telah meraih sejumlah penghargaan menulis tingkat nasional, diantaranya : Pemenang 2 Sayembara Cerber Femina, Pemenang 1 Lomba Novel Remaja Bentang, Pemenang 2 Lomba Novel Inspiratif, Pemenang 1 Lomba Novel Remaja, Pemenang 1 Penggiat Literasi Provinsi Kepri, dan sebagainya.
Email : riawanielyta@gmail.com
Blog : www.riawanielyta.com
IG : @riawani_elyta


2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here