BUAL
Kepul asap membubung, melingkar-lingkar lalu lindap
Bualmu tak kunjung senyap
Berteman pahit pekat kopi o dari cangkir berbibir tebal
Tak usai-usai memanjang bual
Matahari menukik
Klakson-klakson bertempik
Anak-anak sekolah bertebaran
Pegawai negeri bergegas gegas
Ibu-ibu menghitung uang belanja dan mengira ngira, apa yang bisa ditukar dengan selembar kertas ungu
Kau masih di sudut itu
Di sebuah kedai kopi di ujung jalan Ciku
Bualmu tak kunjung senyap
Petang merambang
Anak sekolah beranjak pulang
Pegawai negeri membubuh absensi
Ibu ibu memungut pakaian kering dan membuang sisa nasi basi
Kau melangkah pelan
Tinggalkan kedai kopi yang lengang
Membawa kaki seturut kata hati
Sungguh, kau benci petang hari
Benci akan tanya sang mantan pujaan hati tentang kaismu hari ini
Runsing akan rengek si bungsu yang minta sepatu baru
Risau melintas warung yang kau utangi saban minggu
Apa yang kau bawa hari ini, bang?
Sungguh, tak ada lagi sinar kejora
Dari sorot mata mantan perawan yang kau sunting 20 tahun silam
Yang ada kini hanya sepasang netra letih, bergayut kantung kelabu
Kau senyap
Bualmu lindap
Tak guna berhelah
Pula bujuk bermadah
Kau terpejam
Diam melarung khayal
Adakah esok, saudagar yang hendak membeli bual?
PESTA
Mari berpesta!
Riuh pengumuman ditabuh
Genderang memekak, memancing gaduh
Awang dan Ucu mengayuh sampan
Tak ambil pusing, karena pesta tak lebih menarik dari setangkup ikan yang tersangkut di jala
Mari berpesta!
Dansa tango, joget zapin, atau bernyanyi solo, semua ada!
Awang dan Ucu saling pandang
Kau nanti pilih apa, Wang?
Awang mencebik.
Lihat saja nanti. Yang menaruh sampan baru depan pondokku di pagi pesta, itulah dia. Kenape risau sangat?
Ucu tergelak.
Kau memang suke makan rasuah, Wang.
Siapa kata rasuah?
Awang menampik.
Orang beri kite ambil. Tak diambil, kite sombong. Kenape risau sangat?
Awang dan Ucu menebar jala.
Pesta nan riuh tak lagi jadi bahan cerita
Dansa-dansa meroyak di ballroom pesta
Madah-madah manis berkelana
Menjual mimpi membangun negeri bertatah permata
Mari berpesta!
Genderang kian riuh
Hari H tlah tiba.
Awang berlari ke dermaga.
Sebuah sampan baru tertambat.
Awang celik mata.
Itulah dia!
Awang ikut berpesta.
Memilihnya yang memberi sampan baru
Ah, tak hanya itu
Pula jam dinding yang berdetak, terlukis sosok sang lelaki yang berpeci dan tersenyum
Pesta pun akhirnya usai
Tahta kuasa tlah tersemat di dada sang pemenang
Oy, Awang , bangunlah cepat! Kite turun melaut lagi!
Awang tersentak
Bergegas ke dermaga tanpa menyikat gigi
Hei, di mana sampan baruku?
Awang ternganga.
Sampan barunya entah kemana
Yang ada hanya Ucu dan sampan buruknya
Awang mencubit pipi
Aduh!
Ini bukan mimpi
Perahu barunya raib sudah
Oy, Awang, sudahlah melamun!
Yang kalah jangan dikenang
Yang menang jangan disesal
Awang menatap jauh
Tak peduli siapa pemenang
Yang ia tahu hanya satu
Ia dah punya sampan baru
Awang berjalan gontai
Tak peduli pekikan Ucu dan langit yang beranjak terang
Awang naik ke rumah
Menatap jam dinding yang berdetak
Awang mencebik
Kenapa jam dinding ini tak ikut raib?
KORENG
Saat yang tersisa hanya letih
Tak ada yang bisa kuberi selain pedih
Mungkin, pedih telinga masih bisa kulihat
kapan hilang bekasnya
Tapi pedih
Yang menggores hati
Bagaimana kutahu
Bagaimana bisa kuduga
Apakah ia cepat hilang
Atau menyisakan luka yang tak pernah kering
Ataupun justru koreng yang bernanah
Belum sempat terbayang olehku
Apa jadinya
Jika suatu hari nanti koreng itu pecah
Menjelma bisul yang membengkak
Mungkin
Lebih tak mudah untukku
Sekadar menyiramnya dengan doa
Mungkin
Pedih itu juga kelak
Akan menggerogoti nyawaku
Jiwaku
Saat kutahu
Bahwa ternyata aku
Bukanlah seorang mantri
Bahkan tak cukup trampil tanganku
Untuk menutup luka
Mengorek nanah
Mengempis bisul sebelum ianya bengkak dan pecah
Maafkan aku, nak
Jika sampai hari ini
Belum juga kutrampil untuk membersihkan luka korengmu
Aku janji
Secepatnya akan kudatangi pak mantri
Agar tak lagi kuharus membiarkan korengmu pecah dan bernanah
Dan aku yang menatapnya
dengan sesal yang tak sudah
(Tanjungpinang, 1 Januari 2010)
‘H’ (Hah)
Resah
Gelisah
Gundah
Keluh Kesah
Dan amarah
Ah!
Engkau memang payah
Seakan dalam hidupmu hanya ada susah
Padahal, berkahNya melimpah ruah
Tapi mengapakah
Tak jua bibir mendesah
Melafal syukur menyebut asma Allah ?
Pergilah gelisah
Enyahlah gundah
Tak nak kudengar lagi segala kesah
Apatah lagi mulut yang hanya mengomel marah
Engkau memang payah
Seakan hidupmu hanya didera susah
Riawani Elyta. Lahir dan berdomisili di Tanjungpinang. Penulis 32 buku, Ketua Forum TBM Kepri dan telah meraih sejumlah penghargaan menulis tingkat nasional, diantaranya : Pemenang 2 Sayembara Cerber Femina, Pemenang 1 Lomba Novel Remaja Bentang, Pemenang 2 Lomba Novel Inspiratif, Pemenang 1 Lomba Novel Remaja, Pemenang 1 Penggiat Literasi Provinsi Kepri, dan sebagainya.
Email : riawanielyta@gmail.com
Blog : www.riawanielyta.com
IG : @riawani_elyta
Masya Allah…Keren banget puisinya! 🤙
Terimakasih