Kupikir ini adalah perjalanan paling mengasyikan. Bagaimana tidak, selama perjalanan pulang ke kampung ibu, aku ditemani oleh seorang pria yang begitu mempesona dan menyihir semua perhatianku padanya.
Awalnya kursi penumpang di sampingku kosong. Aku lebih memilih duduk di samping jendela untuk bisa mendapatkan akses pandangan mata yang bebas lewat kaca jendela. Bis jurusan Jakarta-Banjar yang aku tumpangi itu tidak terlalu sesak oleh penumpang ketika keluar dari terminal Kampung Rambutan. Hingga kemudian di luar terminal bis kembali berhenti untuk menaikan penumpang yang lebih memilih menunggu di luar terminal itu.
Seperti sudah kuprediksi, bis pasti akan berhenti agak lama, jadi aku menenggelamkan diriku dalam alunan musik yang kudengar lewat earphone. Aku tidak terlalu memperhatikan atau memedulikan keadaan sekitar. Beberapa saat lamanya aku merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahuku dengan halus. Agak tergeragap, kucopot earphone yang menyumpal telingaku sembari mendongak, untuk memperhatikan siapa yang telah membuyarkan keasyikanku menyimak senandung lagu.
Di sampingku, menjulang sosok pria yang penuh pesona. Dengan senyum lebar yang mampu membuatku berpikir bahwa lelaki ini sudah barang tentu akan laku jika dia mau menjadi bintang film, iklan atau sinetron. Lagi pula, dengan tampang yang mempesona, semua keinginan begitu gampang didapatkan. Itu kata Rani, temanku yang punya tubuh semampai dan wajah nan cantik jelita. Dalam satu bulan, temanku itu mampu berganti pacar sebanyak tiga kali. Hanya dengan modal kecantikannya.
“Apakah kursi ini kosong?” tanyanya dengan sopan, sembari menunjuk kursi penumpang di sampingku.
Aku tergeragap untuk yang kedua kalinya dan mengangguk cepat. Entah kenapa, anggukanku begitu bersemangat sampai-sampai aku sendiri kaget dengan respon cepatku. “Iya kosong kok, saya duduk sendiri.”
“Kalau begitu saya duduk di sini ya,” timpalnya.
“Silakan, Kak,” jawabku. Kali ini disertai senyuman lebar. Aku tak akan pernah pelit memberikan senyuman kepada mereka yang melempar senyum yang sama ke arahku.
Pria penuh pesona itu pun menaruh tasnya di bagasi kabin, kemudian menghempaskan tubuhnya di sampingku. Sejurus kemudian dia menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku bisa merasakan aroma cologne menguar dari tubuhnya. Aroma minyak maskulin yang biasa menguar dari tubuh para lelaki.
Tentu saja kehadirannya mampu membuat suasana hatiku berubah. Maksudku, sejak awal aku memang merasa senang karena kurang dari dua belas jam aku akan segera tiba di kampung halaman dan bertemu dengan orangtua dan sanak saudara. Dan sekarang rasa senangku bertambah satu poin karena ada pria mempesona yang kini duduk di sampingku. Setidaknya itu lebih bagus daripada duduk bersebelahan dengan lelaki tua yang mabuk selama dalam perjalanan. Aku mengatakan ini karena aku pernah mengalaminya. Rasanya tidaklah nyaman duduk bersebelahan dengan pria tua dengan bau muntahan. Atau paling parah kau kena cipratan muntahan sehingga sepanjang jalan rasanya ingin mati saja.
Bis kembali melaju. Awalnya pelan, kemudian tersendat kemacetan. Setelah itu bis melesat dengan kecepatan yang maksimal di jalur tol tanpa hambatan. Aku dan dia sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku pikir, betapa mengasyikannya jika aku dan pria penuh pesona itu saling berkenalan dan mengobrol hanya untuk mengisi kesepian, rasa canggung dan jenuh yang tak tertahan.
Ternyata apa yang aku harapkan itu terjadi, tepat ketika bis keluar dari jalur tol Jakarta, pria itu menoleh ke arahku dengan senyuman yang masih sama. “Kamu mau kemana?”
“Saya mau ke Singaparna,” jawabku dengan detak jantung yang semakin berirama. Lihatlah, sekarang dia menyapaku. Setelah itu kami terlibat percakapan yang benar-benar aku harapkan. Dia bertanya tentang siapa namaku, apa kerjaku di Jakarta. Aku bilang saja dengan jujur, namaku Ani, kerjaku hanya sebagai asisten rumah tangga seorang pedagang batik.
Dia bilang sungguh beruntung. “Aku hanya pedagang buah di Jakarta. Enam bulan sekali aku pulang ke rumah. Awalnya aku pulang setiap dua bulan sekali, tapi semenjak aku bercerai dengan istriku, aku jadi jarang pulang,” akunya panjang lebar. Padahal, aku tidak bertanya lebih. Aku hanya bertanya tentang pekerjaannya.
“Kau tidak ingin tahu kenapa aku dan istriku bercerai?” tanyanya setelah sekian menit lamanya aku hanya menjadi pendengar semua celotehnya, tanpa pernah bertanya apa-apa. Lagi pula, aku cukup sungkan untuk bertanya hal-hal pribadi selain urusan nama dan pekerjaan.
“Jika Kakak tidak keberatan bercerita, maka aku dengan senang hati ingin mengetahuinya,” jawabku dengan antusiasme yang masih sama.
“Aku bercerai karena mendapati istriku selingkuh dengan lelaki lain. Kau bisa bayangkan, aku banting tulang kerja di rantau, istriku malah bermain api dengan lelaki lain yang selama ini jadi temanku di kampung.”
Aku mendesah. Aku merasakan rasa kecewa dari getar suara lelaki penuh pesona ini. Lebih dari pada itu, aku tak habis pikir, apa yang dicari mantan istrinya dengan perselingkuhan itu? Apakah memiliki suami yang memiliki paras yang sempurna dan tubuh tegap ini tak mampu membuat dia setia? Ah, kupikir godaan setan untuk berselingkuh tidak pernah memilah antara orang jelek atau orang tampan. Tiba-tiba saja, ada rasa iba dan rasa simpati yang mengisi hati. Betapa ingin aku menyentuh tangan lelaki penuh pesona ini dan menghiburnya bahwa akan ada wanita yang berhati suci mengisi kekosongan jiwanya. Bahkan hatiku riuh bersipongang, berharap takdir perjalanan ini tidak hanya menggariskan dia sebagai teman mengobrol saja.
Kemudian aku bilang padanya, “Tidak apa-apa, Kak. Setidaknya kakak tahu seperti apa sifat aslinya. Dan kuharap tak lama lagi Kakak akan menemukan wanita lain yang lebih baik dari dia.”
“Kau bilang tadi kau dari Singaparna. Apakah kamu tahu Desa Sukaherang?”
“Ya, itu tetangga Desa. Desaku Cikunten.”
“Wah, adikku menikah dengan orang Sukaherang. Kalau begitu, nanti jika aku main ke rumah adikku, aku bisa mampir ke rumahmu,” tambahnya dengan intonasi penuh semangat. Aku tidak bertanya, untuk apa dia memiliki rencana untuk mampir ke rumahku. Aku juga tidak bingung untuk urusan apa. Tapi yang jelas hatiku semakin bertalu-talu oleh gairah yang sulit aku tafsirkan.
Sepanjang perjalanan itu kami banyak mengobrol. Apa pun bisa menjadi bahan obrolan. Bahkan pedagang cangcimen dan minuman yang keluar masuk di rest area pun tidak mampu menghentikan keakraban kami bercerita tentang banyak hal. Hingga di rest area berikutnya, pria penuh pesona itu mengajakku untuk makan siang. Lebih tepatnya makan sore, karena waktu sudah hampir asar.
Aku mencoba menolak tawarannya dan lebih memilih berdiam diri di dalam bis untuk menunggu para penumpang menuntaskan urusannya di rest area yang rata-rata selalu beurusan dengan isi perut. Tapi dia memaksa, hinga akhirnya aku kalah. Lagi pula, aku menolaknya karena rasa gengsi dan sungkan yang masih mendominasi. Jika aku mau jujur, tentu saja aku sangat senang bisa makan berdua dengan pria penuh pesona itu.
Di meja paling pojok yang memiliki akses pemandangan sawah dan bukit, kami memesan ayam bakakak lengkap dengan sambalnya yang pedas. Kami makan dalam diam, sesekali dia mengerling dan tersenyum. Perutku mendadak mulas setiap kali dia memperhatikanku dengan seksama.
Tak berapa lama, ada pengumuman dari bis bahwa semua penumpang harus segera kembali karena bis akan kembali berangkat. Kami pun bergegas. Hatiku bersukacita. Aku harap dia pun merasakan hal yang sama. Di dalam bis, pria penuh pesona itu menawariku air mineral dalam kemasan. Aku tak menampiknya, meminum habis air mineral itu tanpa sisa.
“Aku mengantuk sekali,” bisikku tak berapa lama setelah bis kembali melaju dengan normal.
“Tidurlah. Kamu bisa tidur di bahuku,” ujar lelaki itu. Oh, sungguh mesra sekali. Aku tentu saja dengan senang hati melabuhkan kepalaku di bahunya yang lebar, jika memang aku menjadi perempuan yang tidak tahu malu. Tapi aku masih memiliki rasa malu sehingga lebih memilih bantalan kursi sebagai sandaran. Aku benar-benar tertidur. Dan sayup-sayup masih kuingat lelaki itu memindahkan kepalaku ke bahunya ketika kelopak mataku kurasa semakin berat.
***
Seseorang mengguncang bahuku. Ah, pria penuh pesona itu dengan baik hati membangunkanku dari tidur. Tapi mataku masih begitu berat oleh rasa kantuk. Aku berusaha membuka mataku hanya karena ingin melihat senyum indah lelaki itu.
Tapi aku tidak menemukannya duduk di sampingku. Aku hanya melihat sang kondektor. “Mbak! Ini sudah sampai di terminal Banjar! Mau turun dimana?”
Aku tercekat. Kemudian tersentak. “Banjar?”
“Iya,” jawab sang kondektur dengan ekspresi bingung. “Mbak kelewat ya.”
“Harusnya saya turun di terminal Tasik…” lirihku.
“Wah, kelewat dong.”
Tanganku kemudian merogoh tas yang sedari tadi teronggok di pangkuanku. Aku mencari-cari dompet kulitku. Tapi, kenapa tiba-tiba dompetku hilang? Aku mencoba mengaduk-aduk isi tasku. Nihil. Bahkan aku baru sadar jika ponselku juga turut raib.
Badanku panas dingin. Yang terakhir kuingat adalah senyum pria penuh pesona itu. Tak salah lagi.