Esok pagi, masih ada waktu menelan kabut. Berjuang bersama embun yang gugur. Siangnya, masih pula ada matahari berbinar menyembul di balik laut. Alam tak pernah lelah menyuguhkan tantangan.
Sebagai anak pulau, aku tak pernah bosan melawan kabut, terus saja melawannya. Menerjang mendung. Mengangkangi laut pasang. Berbantal dan berselimut kecamuk badai. Walau akhirnya… Ah, entahlah!
“Kak, kapan kita terbangkan layang-layang lagi?”
Angin kencang berdesing. Mudah rasanya layang-layang mengangkasa di tengah kondisi angin seperti ini. Bibirku kelu. Aku sejak tadi terdiam kaku seperti batu. Iya, dari tadi aku tidak mengindahkan permintaan adikku. Sudah dua, tiga, dan empat kali namaku disebut. Adikku yang suka bermain layang-layang itu terus-menerus menarik bajuku. Merajuk. Aku hanya terdiam. Menatap tajam ke arah lautan lepas.
“Eh, iya.. kenapa… kenapa, dik?” Aku baru tersadar dari lamunannya.
“Mendung berduyun-duyun dari arah utara, dik. Rasanya sebentar lagi akan turun hujan. Layang-layang takut sama hujan!” imbuhku.
Aku dan adikku biasa menerbangkan layang-layang di tepian pantai, pantai Candin. Pasirnya menghampar luas. Di sana, tanah itu, adalah tanah di mana derap kaki-kaki para bocah melukis mimpinya. Bermain bola. Tertawa. Bermain petak umpet. Menerbangkan layang-layang. Atau, kala musim banyak ikan, bergerombol menjala ikan yang kemudian hasil tangkapannya dijual demi sekedar mengurangi beban orang tua.
“Kin… Kin…!!!”
Dari jauh ibuku memanggilku. Aku kaget. Aku punya tugas apa petang ini? Sore hari biasanya aku memiliki tugas mencuci sprai ke laut. Namun, bukankah sprai sudah aku cuci tadi pagi? Sprai yang mana lagi yang harus aku cuci? Atau, barangkali ada kapal nelayan yang bersandar dan membawa banyak hasil tangkapan ikan?
Ibuku berteriak memanggilku, mungkin menyuruhku agar aku ngujhur (meminta hasil tangkapan ikan kepada para nelayan di tengah laut dengan menggunakan potongan bambu utuh sebagai alat untuk berenang). Ah, tak mungkin. Mana ada kapal melaut dan datang bersandar sepetang ini? Lagian, ibu tak pernah menyuruhku melakukan itu. Apalagi, ibu tahu aku tak bisa berenang. Aku membatin. Sebentar lagi Maghrib.
Aku tidak menghiraukan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Kemudian, aku menarik lengan tangan kanan adikku, dan bergegas mendekati ibu.
Belum sempurna aku berdiri di depan ibu, kemudian Ibuku berkata dengan nada keras. “Ini sudah jam berapa, Kin. Sudah mau Maghrib. Sudah waktunya pulang. Cepat mandi, lalu berangkat ke mushalla. Kalau kerjaanmu main terus, mau jadi apa kamu nanti…?!!”
Oh, ternyata ibu mengkhawatirkan kami. Kami pun segera pulang meninggalkan pantai dengan langitnya yang mendung.
Hari sudah mulai gelap. Sang surya perlahan tenggelam. Siluet senja telah menampakkan ronanya.
“Sudah mandi, nak?”
“Iya, Bu, sudah!” Jawabku lancar.
Kemudian, “Ada ada apa dengan jidatmu, nak, kok bisa memar gini?”
Aku diam, aku takut kejadian kemarin malam dapat diendus ibuku. Aku memanjat pohon jambu di kebun milik tetangga bersama beberapa temanku. Tentu, demikian ini aku lakukan setelah pemiliknya memberinya izin. Aku terjatuh, dan kepalaku membentur batang pohon jambu. Ibu pasti akan marah, bila dia tahu, aku memanjat pohon.
“Kamu jangan nakal, ya nak?!”
Aku mengangguk kecil.
“Sudah ambil peci dan sarungmu, cepat berangkat ke mushalla!” lanjut ibuku.
Suara azan Maghrib sudah tak lagi terdengar. Suasana nampak lengang. Aku berangkat sendiri menapaki lorong setapak ditemani Al-Quran yang berukuran lima belas kali tujuh centimeter milikku. Sementara ibu memerhatikanku dari jarak yang cukup jauh. Memastikan aku sampai ke mushalla tempat aku mengaji.
“Piassss..sss..ss…….!!!” Bunyi rotan yang dipukulkan di atas meja.
“Berhenti.. berhenti.. Bukan ihdinasy syi.. Bukan pakai syin, tapi shad. Yang benar, ihdinash shirothol.. Ayo ulangi..!”
Kiyai sepuh itu membetulkan bacaan surat Alfatihah santrinya. Sekali dua kali ia berbatuk. Di usia yang sudah senja, dia masih sabar mengajar Al-Quran. Mushalla kiyai sepuh ini yang paling dekat dengan rumahku.
***
Bu, aku berangkat mancing ya?” Aku berpamitan.
“Iya, hati-hati!” jawab ibuku dari dalam dapur mengizinkan. Kemudian lanjutnya, “Jaga adikmu jangan sampai ke laut!”
Minggu pagi ini, aku bersama adik kecilku berangkat memancing. Aku harus membawa adikku. Sebab, tak mungkin ia bersama ibuku keliling berjualan. Kegiatan memancing biasa aku lakukan. Menurutku, selain hobby, memancing juga mengurangi beban hidup. Itu pun kalau hasil tangkapanku banyak. Kalau sedikit? Jelas menjadi lauk teman nasi untuk dikonsumsi sendiri.
Aku memahami keadaan diriku. Keadaan keluargaku. Penghasilan nelayan ayah yang pas-pasan, aku perlu melakukan sesuatu agar mengurangi beban berat keluargaku terlebih yang berkaitan dengan urusan kebutuhan sehari-hari. Dari pada diam tidak menghasilkan apa-apa lebih baik berbuat sesuatu asal ada hasil walau cuma sedikit. Begitu aku beralasan. Ibuku yang hanya berprofesi sebagai penjual gorengan keliling jelas serba kekurangan. Dan, di usiaku yang duduk di bangku kelas 6 SD ini hanya membantu ibu keliling berjualan itupun terkadang aku lakukan dan memancing ikan yang dapat aku lakukan demi untuk menambah lumbung pendapatan keluargaku.
“Dik, kita dapat banyak ikan hari ini!” Aku berteriak. Adikku tak peduli, ia terus saja bermain pasir.
Debur gemuruh gelombang mendentum membentur bibir pantai. Buih centang perenang. Butiran pasir naik turun terbawa ombak yang silih berganti datang mempermainkannya. Angin mengalunkan melodi sunyi. Sebuah nyanyian yang maha merdu. Merangkak maju. Mengelus daun-daun yang biasa terpaku selepas kemarau berlalu. Melodi alam ini semakin indah ditambah dengan siul nyanyian burung-burung mendayu dayu. Cericit dan kicauannya melenakan telinga. Aku terus saja memancing. Mumpung kali ini mujur.
Azan Dhuhur berkumandang. Ikan-ikan semakin ganas menyambar mata pancingku. Aku khusuk. Kali ini aku sadar. aku memancing berangkat bersama adik kecilku. Sejurus kemudian pandanganku mengarah pada tempat di mana adikku bermain pasir. Sejak tadi aku tak pernah menoleh ke arahnya. Namun, betapa terkagetnya aku. Adikku tidak di sana. Wajahku pucat. Tubuhku gemetar. Ia ingin sekali berteriak. “Dimana adikku” aku kelu membatin.
Lima jam berlalu. Aku belum pulang. Biasanya jam sebelas sebelum kumandang Azan Dhuhur aku bersama adikku sudah pulang. Pulang bergandengan. Mengucapkan salam dengan suara keras bersamaan. Ibuku yang baru saja datang berjualan merasa cemas.
Ia segera menyusul kami. Nampak olehnya aku berdiri di atas hamparan batu yang berjarak sekitar lima meter dari tubir pantai. Sementara adikku? Tubuhnya kotor penuh debu. Ia bermain di belakang pohon besar yang jaraknya lumayan dekat dengan tumpukan pasir. Pohon besar itu yang menghalangi pandanganku melihat adikku.
“Masya Allah, adik kok main disini. Mana tubuhnya kotor sekali..!” Kemudian digendonglah dia. Sambil menggendong anak bungsunya tersebut, ibu berteriak rendah, “Kin, Pulang!!”
“Baik, Bu!” seraya menoleh ke arah ibuku yang menggendong adikku itu. “Ah, itu adik.” benakku. Seraya bersyukur.
Di tengah jalan ibuku tak henti-henti menasehatiku. “Likin, harus rajin mengaji, rajin ke sekolah, rajin belajar. Biar jadi orang sukses. Jangan lupa doakan almarhum ayah, doakan ibu juga. Jangan lupa sholat….” Dan banyak lagi.
Hari semakin larut. Matahari semakin cepat berlalu, pergi ke tempat yang jauh. Sementara di tangan kananku, ikan-ikan tergolek tak berdaya di balik rajhut (tempat ikan yang terbuat dari potongan jala). Kali ini mungkin uang sakuku bertambah. Seraya menahan lelah dengan nada berat, aku menimpali nasehat ibuku, “Iya, bu. Siapa tahu aku jadi menteri!”
Seraya mengelus keningku yang polos, sang Bunda tertawa datar.
*)Guru dan penulis asal Pulau Mandangin Sampang – Madura