Perjuangan Jiwa

4
146

“Hari ini bendera kuning di rumahku kembali terpasang. Ini adalah yang keempat kalinya, di mana sebelumnya kedua Akangku dan Ambu dipanggil kematian akibat tak sanggup bertahan dari monster ganas yang menyerang tubuh mereka. Sekarang aku sendiri yang terbujur kaku dan sebentar lagi hendak di bungkus dengan kain kafan. Aku ingin berterus terang pada kalian bahwa caraku menjemput kematian tidaklah wajar.”

Aku masih meringkuk di kamarku yang tak seberapa besar. Pandangan mataku masih seperti kemarin, redup tanpa sinar kebahagiaan. Bahkan nyalanya hampir mati, hingga membawaku ke dalam sebuah lorong yang sangat gelap. Terkunci dan terkurung penuh rasa sesak. Aku coba untuk keluar dari lorong kegelapan itu tapi sia-sia, sekuat tenaga pun aku berusaha. Kegagalan untuk bisa keluar dari lorong gelap yang akhirnya berubah abu-abu, membuatku hampir gila oleh rasa putus asa. Terkunci, sepi, dan begitu sendiri. Tak kurasakan lagi indahnya pelangi hidupku yang pernah penuh warna. Meskipun lebih banyak hitamnya. Tapi lebih menyakitkan aku rasakan terkurung di dunia abu-abu. Hitam masih menarik meskipun pekat. Tapi abu-abu?

Aku jadi teringat saat kecil dulu, ketika Kang Asep sering mendongengkan sebuah cerita kerajaan abu-abu. Betapa membosankannya hingga sang raja dan ratu mencari penyihir yang mampu menyulap kerajaan mereka agar berwarna. Belgeduel sang penyihir pun berhasil menyulap istana menjadi indah dan meriah dengan banyak warna. Raja dan rakyat kerajaan abu-abu pun kembali hidup penuh gairah. Warna abu-abu mampu dilenyapkan selamanya oleh Belgeduel sang penyihir. Tapi kini, dunia abu abu itu menghampiriku tanpa permisi. Sungguh membosankan dan mematikan hasrat! Siapakah gerangan yang mampu menghapus warna abu abu ini di hidupku?

Kutatap obat-obatan yang harus aku minum seumur hidupku. lalu aku coba bangkit dari pembaringan demi menghindari rasa bosan yang kian menumpuk dan menyesakkan. Menghampiri cermin yang telah setia menemani hari hari kelamku selama tiga bulan ini. Kulihat wajah serupa mayat terpantul dari cermin, wajah tanpa ekspresi yang telah mati akan antusiasme hidup. Apapun tak lagi menarik minatku kini, sejak kenangan pahit itu kembali datang. Sebenarnya psikiater yang melihat kondisiku menganjurkan agar aku dirawat inap di rumah sakit. Tapi aku menolak!

Tak dapat kubayangkan diriku yang akan semakin kesepian dan merasa lebih tersingkir dari orang-orang. Meski psikiater Ana beralasan agar lebih mudah mengawasi diriku yang setiap saat ingin mengakhiri hidup. Ingin ku teriakkan,
“Aku tak butuh rumah sakit, psikiater apalagi obat-obatan dalam hidupku!”
Aku kembali merebahkan badan, meskipun tidak mengantuk. Sebentar-sebentar tubuhku miring ke kanan dan ke kiri bergantian dalam hitungan detik. Tiba-tiba energiku yang berlebih bangkit lagi. Rupanya cairan kimiawi di otakku kembali berulah. Barusan dia menurunkan serotoninku sampai titik minus. Sekarang naik lagi melebihi batas optimum. Rasanya, cairan di otak ku tak sudi menahan diriku untuk duduk diam barang sejenak. Andai bisa aku hentikan barang sedetik saja. Lalu, suara-suara itu kembali mengusikku tanpa henti.

“Sebentar lagi dirimu akan mati, bersiap-siaplah!”
Aku berusaha menutup kupingku sekuat-kuatnya. Tapi malah terngiang kembali ucapan dokter,
“Sepertinya bibit penyakit kanker yang menimpa kedua saudaramu berasal dari Ibumu, yang memang potensinya diturunkan pada anak laki-laki,” terang dokter yang merawat Ambu.

Tiba-tiba saja kematian beruntun menimpa satu-persatu anggota keluargaku, membuatku diserang rasa takut berlebihan. Bahkan rasa takut itu melebihi ketakutan akan kematianku sendiri. Tapi di sisi lain, aku selalu berniat untuk bunuh diri, karena trauma dan putus asa. Sebenarnya lebih tepat dibilang kalau aku tak bernafsu lagi menjalani hidup ini, akibat didera kecemasan dan takut monster yang menghabisi keluargaku juga akan menyerangku. Belum lagi rasa putus asa berjuang melawan penyakit mental yang aku derita sejak dulu, bipolar disorder kata psikiater yang merawatku. Membuatku harus minum obat bipolar seumur hidup demi kestabilan mood ku yang suka naik turun.

Kini kesedihan dan kecemasan yang amat sangat kembali mentrigger. Aku begitu terpukul dan ngeri mendengarnya, sambil membayangkan nasibku kelak. Walau terjawab sudah teka-teki munculnya monster mengerikan itu di keluarga kami. Rasanya, aku ingin menghilang saja dari alam semesta ini, agar tak lagi merasa sedih, cemas dan takut berkepanjangan. Ibaratnya, aku takut mati tapi tak berani hidup, hingga berubah menjadi seorang pengecut! Akhirnya ditengah kelabilan jiwa, aku menelan seluruh obat penenangku sekaligus.

“Arghhhhh!!!”
Aku merasakan sakit yang amat sangat dari ujung kakiku. Rasa sakitnya tak pernah ku rasakan dan bayangkan selama hidup didunia, yang bila digambarkan bagaikan seribu pedang tajam menusuk-nusuk kakiku. Apakah lelaki ini malaikat maut? Yang datang untuk mencabut ruh dari badanku? Jeritan kesakitanku menggema keras seiring lepasnya ruh dari tubuhku. Padahal kata Ambu, aku sepertinya memiliki banyak nyawa karena sedari kecil selalu selamat dari maut. Ketika mengandung diriku Ambu tidak tahu, hingga tetap minum pil KB. Tapi herannya aku tidak gugur namun tetap bisa lahir meskipun prematur dan sering sakit-sakitan. Aku juga pernah jatuh dari dari kamar di lantai dua rumah kami, tapi bisa selamat karena tergantung di kawat jemuran. Para tetangga sampai berteriak histeris, menyaksikan bayi yang masih berumur 4 bulan jatuh dari rumah bertingkat. Sementara di bawahnya sudah menunggu batu-batu yang cukup besar, yang mampu memecahkan kepalaku mungilku.

“Sebuah keajaiban, anakmu Jun bisa selamat, Lis. Sepertinya di tolong malaikat.” Seru para tetangga takjub.
Bahkan aku pernah terkena sakit liver parah tapi bisa sembuh dan sehat kembali. Walau setelah dewasa, aku sering protes dalam hati mengapa harus selamat? Akankah kini nyawa cadangan ku masih tersisa? Atau aku bakalan mati dan takkan pernah bisa diterima rahim bumi?

Kini ruhku tersekap dalam ruangan yang menyesakkan dada. Hitam, suram, pengap dan dingin. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain kegelapan yang panjang. Aku terus berjalan mengendap-endap sambil meraba-raba. Namun tak jua kutemukan ujung dari lorong hitam ini. Tak setitik pun cahaya menerangi lorong. Dimanakah gerangan kini aku berada ya Tuhan! Apakah lorong ini tak berujung? Namun tiba-tiba perlahan-lahan cahaya terang menembus lorong, hingga kutemukan setitik sinar di ujung jalan. Tertatih-tatih, kusongsong cahaya terang yang membawaku menuju pintu keluar. Rasa lega luar biasa menghinggapi ku, bagaikan baru saja lepas dari jebakan demi jebakan yang menantang maut. Begitu sampai di luar lorong yang mirip labirin mencekam tak berujung, aku bernafas lega. Seakan baru saja terbebas dari jalan gelap yang menghimpit dadaku.

Sekarang aku berpindah ke sebuah tempat di mana terhampar sebuah taman yang sangat indah, dengan mata air yang memancar deras. Seribu kali lebih indah dari taman yang aku temui di dunia. Para remaja berusia muda, berkumpul dengan wajah yang bersinar bak mutiara bertaburan. Tak kudapati orang-orang yang berusia tua, rata-rata masih muda belia. Aku terpana menatap keindahan yang sama sekali belum pernah kulihat dan terbesit di hati, apalagi terbayangkan di benak saking indahnya. Bahkan terpikirkan pun tak pernah. Apakah ini surga? Terlihat anak-anak kecil yang tengah berlarian dan bermain dengan wajah begitu ceria. Orang-orang dengan wajah tanpa beban, tersenyum ramah padanya. Suasana terasa begitu menyenangkan. Kususuri lokasi sembari tak berhenti berdecak kagum sembari memandang hamparan taman yang dipenuhi bunga berjuta warna penuh pesona. Gemerisik dedaunan terdengar bagaikan musik indah di telingaku, sebelum jatuh ke tanah. Aku pungut dan remas beberapa helai sembari mencium aromanya yang begitu harum dan menyegarkan.

“Jun, Sayang….” Suara lembut seseorang mengusik keterpanaanku. Aku menoleh demi melihat siapa yang memanggilku.
“Ambu?” apakah ini ambu? kutatap rindu seorang wanita yang wajahnya begitu mirip dengan ambu.
“Iya Nak, ini ambu,” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Ambuuu! Betapa Jun rindu pada ambu. Peluk Jun kuat-kuat, Jun tak ingin ambu pergi lagi. Jun begitu merasa sendirian,” aku tersedu dan menghambur ke pelukan ambu.

“Iya sayang, ambu akan selalu ada bersamamu. Tapi, sedang apa kau di sini, Nak.”
“Jun juga tidak tahu, sepertinya kematian itu sudah menjemput Jun.”
“Nak, belum saatnya kamu berada di sini. Kembalilah ke dunia karena masih banyak orang yang mengharapkan kehadiranmu. “
“Iya Dek, Pulanglah karena masih banyak yang menginginkan dan merindukanmu.” Tiba-tiba Kang Asep dan seorang pria setengah baya, yang ternyata almarhum abah muncul dan berdiri disampingku. Tanpa menunggu lagi, segera ia peluk tubuh Kang Asep dan abah yang aku rindukan selama ini.

“Abah, Kang Asep, tolong jangan usir Jun dari sini. Jun masih ingin bersama akang, abah dan juga ambu. Jun rindu akang jaga lagi seperti dulu,” tangisku kembali pecah ke udara. Kang Asep hanya tersenyum sembari memeluk tubuhku erat dan membelai rambutku.

“Akang akan terus menjagamu dari sini, Jun. Kembalilah menjadi dirimu yang lebih baik. Bila saatnya tiba, kita pasti akan berkumpul lagi disini.”
“Iya, Sayang,” jawab abah sambil memelukku erat. Tangisku semakin tak mau berhenti. Namun diriku langsung tersentak, saat sosok abah, ambu dan Kang Asep tiba-tiba menghilang. Berganti oleh dua orang lelaki berbadan besar.
“Kami adalah amal baik dan burukmu.”

“Benarkah? Kemana kalian akan membawaku?” tanyaku cemas.
Kedua orang yang mengaku sebagai amalku itu hanya diam dan terus berjalan sambil menggiringku ke suatu tempat yang penuh sesak dengan manusia. Sebuah lapangan terhampar sangat luas. Sedang apa orang- orang ini berdiri disini? Ada yang wajahnya berseri-seri, namun banyak juga yang berwajah masam dan pucat pasi penuh ketakutan sepertiku.

“Ini adalah pengadilan yang sebenar-benarnya ,” jawab amalku seolah bisa membaca alam pikiranku.
“Sebentar lagi giliran kamu akan ditimbang. Bersiaplah!” jawab amalku yang satunya lagi.

Ditimbang? Oh Tuhanku! Bagaimana bila amal burukku lebih banyak dari amal baikku selama di dunia? Hatiku mendadak dipenuhi rasa takut luar biasa. Lidahku kelu dan keringat membanjiri seluruh tubuhku, mulai dari tengkuk hingga ujung jari, begitu melihat api besar menjilat-jilat ganas. Suara melolong dan jeritan kesakitan terdengar begitu jelas di kupingku. Beginikah rupanya bentuk neraka itu?
“Tidakkkkk!!!! Jangan masukkan hamba ke api yang sangat panas itu, Ya Allah! Hamba memohon ampuni hamba.”

Rasa takut luar biasa ngeri menyiksaku, saat antrian sudah semakin dekat. Ingin rasanya aku berlari namun kedua kakiku seolah berat untuk diangkat. Namun tiba-tiba terdengar sebuah suara di kupingku.
“Mayatnya bergerak-gerak seperti cacing kepanasan!”

“Bukankah kematian bukanlah kematian? Kematian sebenarnya adalah kehidupan. Adapun kematian sebelum waktu kematian adalah kematian yang tidak akan pernah mati.” (The Coffin Movie)

Keterangan:

Dalam Al-Quran fungsi ruh dan jiwa berbeda. Ruh bertugas menghidupkan tubuh, menggerakkan jantung, tubuh dsb. Jiwa bisa mendengar, bisa melihat, bisa berpikir. Bisa berkumpul dalam satu kesatuan dan bisa berpisah sementara dan pergi atau dibawa pergi ketika dalam keadaan tidur maupun koma.
Warna abu-abu adalah lambang bipolar dalam dunia psikologi
Trigger : pemicu
Ambu : Ibu bahasa Sunda

Penulis lahir dan besar di Medan yang hobi traveling dan nonton film. Karyanya berupa buku, novel dan cernak diantaranya buku aku mencintaimu dan novel rindu yang tak pernah diam bersetting Yogya. Ingin lebih kenal bisa berkunjung ke ig irhayati hatun dan blog www.duniaiir.com


4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here