“Kalau Athar, apa cita-cita kamu, Nak?” tanya seorang guru cantik kepada bocah laki-laki bernama lengkap Muhammad Athar Rizky yang duduk di bangku paling belakang. Semua siswa yang berada di dalam ruangan tersebut mengarahkan pandangan mereka ke Athar.
“Cita-citaku mau jadi dokter, Bu. Supaya aku bisa menolong orang banyak nantinya,” jawab bocah itu polos. Bu guru yang bernama Vania tersebut tersenyum lebar mendengar jawaban dari bocah 9 tahunan itu.
Namun, tiba-tiba gelak tawa mengejek terdengar di dalam kelas tersebut. Semua siswa tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari salah satu teman mereka itu.
“Anak seorang pemulung mau jadi dokter? Ha, ha, ha! Jangan mimpi deh, Thar,” tutur seorang anak laki-laki yang duduk di bangku barisan paling depan sembari melanjutkan gelak tawanya.
Seketika wajah Athar berubah menjadi murung dan ia menunduk lesu. Bagaikan dihantam petir di siang bolong. Seketika jiwa bocah beralis tebal itu bergetar hebat. Sehina itukah menjadi anak dari seorang pemulung? Serendah itukah di mata mereka? Apakah anak dari seorang pemulung tidak patut bercita-cita?
Kalimat tersebut bukanlah yang pertama kali ia dapatkan, tetapi hampir setiap hari teman-teman sekelas maupun kelas lain selalu merendah dan mengejek dirinya.
Namun, Athar tidak pernah sedih ataupun patah semangat. Dikarenakan ia tahu, suatu hari nanti dirinya bisa mencapai kesuksesan tersebut dan membuktikan kepada mereka semua yang pernah menghinanya.
“Eh, udah-udah. Nggak boleh gitu. Kesuksesan ada pada setiap diri manusia. Tidak peduli dia seorang anak pemulung atau anak pengusaha, karena kekayaan belum tentu bisa menjamin kesuksesan. Yang terpenting adalah berusaha dan disertai dengan doa. Keduanya adalah kunci untuk kalian bisa menjemput kesuksesaan. Gimana, sudah paham, ‘kan, Anak-anak?” Bu Vania menjelaskan panjang lebar. Dikarenakan ia tidak mau jika siswa-siswinya menjadi anak yang suka merendahkan orang lain. Lalu, semuanya pun terdiam dan mengangguk paham.
***
Terlihat beberapa anak-anak sedang asik bermain bola sepak di lapangan dekat rumah Athar. Canda tawa dan teriakan kegembiraan terdengar begitu jelas di sana.
“Thar, ayo main bola bareng,” ajak seorang bocah berbaju hijau polos saat melihat kedatangan Athar.
Athar hanya tersenyum simpul menatap teman-temannya. Ia melirik ke arah karung dan pengait sampah yang ada di tangannya. Bocah berambut pirang itu ingin sekali bermain dengan teman-teman sebaya layaknya anak-anak pada umumnya.
Namun, nasib Athar tidak seberuntung mereka-mereka. Malah sebaliknya, ia harus bekerja membantu ayahanda. Dikarenakan, bocah laki-laki berhidung mancung tersebut tidak tega melihat sang ayah bekerja sendirian demi membiayai dirinya.
Athar menggelengkan kepalanya seraya berkata, “maaf teman-teman. Aku nggak bisa gabung bareng kalian. Soalnya aku harus mulung bantuin ayah,” jawab bocah laki-laki itu dengan tampang polosnya.
“Athar nggak serulah!” timpal seorang bocah berambut agak keriting.
“Huuu! anak pemulung! Athar bau sampah! Huu” Bocah-bocah yang berada di lapangan yang tidak begitu luas tersebut menyoraki Athar.
Namun, bocah tangguh itu tidak berniat marah ataupun membalas perbuatan tidak baik mereka kepada dirinya. Ia hanya tersenyum miring dan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.
***
Matahari bersinar terang. Membuat tubuh terasa panas dan gerah. Terlihat Athar sedang berteduh menghilangkan penatnya di bawah sebatang pohon rindang. Sesekali ia menyapu keringat yang bercucuran dengan tangan.
Tampak bocah dengan baju hitam bertulisan putih di bagian depan itu sangat kelelahan karena bekerja seharian. Ditambah lagi teriknya matahari yang membakar kulit. Athar mengipas-ngipas tubuhnya menggunakan sobekan kardus yang ia dapatkan di saat mulung tadi.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah restoran. Banyak orang-orang yang berada di sana. Berbagai macam makanan dan minuman terpampang jelas di atas masing-masing meja. Bocah dengan sepasang lesung pipi mengelus-ngelus perutnya. Ingin sekali rasanya ia bisa mencicipi makanan-makanan mewah tersebut bersama dengan sang ayah. Semoga suatu saat nanti bisa tersampaikan.
“Assalamu’alaikum, Adik.” Tiba-tiba datang wanita berpakaian syar’i bersama dengan seorang laki-laki yang kiranya adalah suami dari wanita muslimah tersebut. Ia tersenyum lebar ke arah Athar.
“Wa’alaikumsalam, Kak. Ada apa?” tanya bocah hidung mancung itu sembari bangkit dari duduknya.
“Tadi kakak perhatiin adek terus liat ke arah restoran itu. Adek lapar, ya?” tanya lelaki dengan rambut bak jambul ayam itu berjongkok di depan Athar seraya memegangi bahunya. Lalu, bocah berumur 9 tahunan itu mengangguk pelan sembari menatap lekat kedua netra lelaki tampan itu.
“Nih, kakak ada makanan buat adek.” Lelaki itu menyerahkan kantong plastik berisi sekotak makanan di dalamnya. Namun, tangan Athar tidak bergerak dan berniat dalam hatinya untuk menerima pemberian dari pasangan muda tersebut.
“Hayuk atuh ambil. Nggak usah takut. Kami berdua orang baik, kok,” jelas wanita dengan hijab pashmina berwarna peach itu ramah.
“Nggak, Kak. Aku lagi puasa,” balas Athar apa adanya. Memang benar, bocah tersebut sedang menjalani puasa.
“Puasa?” tanya lelaki bertubuh kekar itu sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Iya, Kak. Setiap senin dan kamis, aku dan juga ayahku selalu puasa,” ucap Athar menjelaskan. Lalu, pasangan muda itu saling berpandangan dan melemparkan senyuman khas mereka masing-masing ke arah bocah beralis tebal tersebut.
“Masya Allah, Sayang. Sungguh mulia sekali dirimu.” Lelaki itu mengelus lembut kepala Athar. Mereka berdua sangat terharu mendengar pernyataan dari bocah polos itu. Tanpa disadari bulir bening menetes dengan sendirinya dari netra wanita pemilik gingsul tersebut.
Kemudian, keduanya mengajak Athar masuk ke dalam restoran megah itu dan memesan apa yang diinginkan Athar. Lalu, pasangan suami istri tersebut meminta izin kepada bocah tangguh itu untuk berkunjung ke rumahnya dan Athar mengizinkan mereka berdua.
***
Tak terasa empat belas tahun berlalu begitu cepat. Tanpa disadari, kini Athar sudah mendapat gelar sarjananya dan ia dikontrak di sebuah rumah sakit ternama sebagai dokter umum.
Kini, cita-citanya yang dulu masih sebatas angan dan juga mimpi sudah menjadi nyata. Sekarang dirinya sudah bisa menggenggam bintang yang dulunya hanya sebatas fatamorgana, tetapi kini sudah benar-benar nyata.
Sekarang, Athar sudah mempunyai rumah megah dan mobil mewah. Semua yang ia inginkan bisa ia dapatkan dengan mudah. Kehidupannya saat ini sudah lebih beruntung dan tercukupi dibandingkan dahulu. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
***
Bruk!
Athar tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang sedang menyeberang. Tanpa pikir panjang ia langsung turun dan mengecek keadaan orang tersebut.
“Athar,” ucap lelaki itu lirih. Ia membelalakkan matanya menatap Athar penuh heran.
Betapa terkejutnya Athar ketika mendapati orang tersebut adalah Dito—teman sekelasnya yang sering mengejek dan merendahkannya di masa SD dulu. Namun, yang lebih membuat pemuda tampan itu terkejut adalah saat melihat keadaan Dito yang sangat memprihatinkan. Pakaian ia kenakan begitu lusuh dan robek di mana-mana. Begitu juga tubuhnya yang dulu berisi, tapi kini sudah kerampeng.
“Dito, kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Athar tidak percaya dengan pemandangan yang sedang ia saksikan sekarang.
“Keluargaku bangkrut karena uang perusahaan habis dibawa lari oleh karyawan tak berperasaan. Perusahaan papaku jatuh bangkrut dan rumah kami disita. Sebab itulah kami sekarang menjadi gembel seperti ini,” jelas Dito panjang lebar.
“Maafin aku ya, Thar. Maafin aku,” sambungnya lagi. Ia langsung memeluk lelaki berjas khusus dokter itu sembari menangis sesenggukan.
Athar tidak tahu harus mengatakan apa. Ia sangat merasa prihatin dengan keadaan sahabatnya itu. Walaupun dulu Dito selalu mengejek dan merendahkan dirinya, tetapi Athar tidak pernah menyimpan dendam kepada lelaki yang seumuran dengannya itu. Lalu, Athar langsung membawa sang sahabat ke dalam pelukannya.
‘Ternyata benar kata Bu Vania dulu. Kekayaan belum tentu bisa menjamin kesuksesan,’ batin Athar seraya tersenyum simpul.