AKU CEMBURU
Aku cemburu pada serakan buku-buku itu.
Pada larik-larik sajak yang kau jadikan isak tangis.
Aku cemburu pada segala yang kau baca,
pada segala yang membuatmu berkaca-kaca.
Sedang saat kita duduk berdua,
kau enggan untuk berkata-kata.
Sedang kita dalam rembug yang tak purna,
kau mengukir paksa senyum dalam lelah kerja.
Aku cemburu,
teduhnya wajah mungil di balik mukena,
merdunya alunan kitab suci di balik bibir yang bergetar menahan kecewa,
bagimu itu semua adalah yang utama.
Yang kedua,
Bukan sisa yang kau beri waktu padaku,
Degup kelegaan hati mulai tersampaikan dari tutur katamu,
Bahwa, kepada Tuhan penenang segala pinta.
Menjadi pemenang atas segala hawa nafsu yang terkekang.
Aku cemburu, pada larimu.
Yang mengingatkanku pada Rabb-ku.
SUDUT BIRU
Ialah bumi tempatmu bersujud.
Serta langit tempatmu menengadah.
Semburat kerut wajah terkoyak masalah.
Padahal dunia semakin serba ada.
Namun manusianya yang terus serba salah.
Tergagap realita yang ngakunya dewasa.
Cerita sana sini.
Peluk sana peluk sini.
Akhirnya, tempatmu kembali.
Adalah sajadah panjang ini.
Semburat senyum tetiba terlintas.
Meski air mata terkuras.
Dengan sujud tanpa batas.
Hanya kau yang enggan membalas.
Sudut biru,
Lagi-lagi Engkau yang kutuju,
dengan segenap ruang rindu.
Pada raga yang hilang kalbu, pada-Mu.
RUANG KATA
Di sinilah aku,
di antara debu-debu yang menyimpan rapat rahasia.
Yang pernah kuceritakan pada kertas dan pena.
Tak pernah lelah kubaca,
aksara demi aksara.
Sepi, tiba tiba bersimpuh.
Cinta tak terkata, tak terbaca,
dan tak lagi terelakkan mata yang seketika berkaca-kaca.
Melodi degup jantung bergemuruh,
hanya sisa-sisa napas sesak rindu.
Ribuan sajak pada kalanya tempatku berpijak,
Menyuarakan celoteh rasa,
Seperti gemericik air hujan yang berisik.
Yang membasahi tanah.
Di sinilah aku,
membuka kenangan lama.
Tentang berjuang.
Tentang peristiwa yang tak berulang.
Tentang kasih sayang, tentang ingatan,
dan tentang impian yang tak pernah jadi kenyataan