Tetangga Depan Rumah

1
156

Bu Rita terkejut ketika dia melihat Si Tom, kucing anggora kesayangannya, datang dengan langkah terpincang-pincang. Dengan kerut di kening, Bu Rita meletakan koran yang sedari tadi dia baca di atas meja, kemudian memanggil kucing kesayangannya itu. “Tomy…Tomy…kamu kenapa sayang?”

Si Tomy hanya mengeong, mendongak dan menghampiri sang tuan. Manja. Bu Rita meraih kucing anggoranya dan meneliti kaki belakang si Tom yang pincang. Hm, tidak salah lagi, pasti ada seseorang yang menyakiti si Tom. Tapi siapa? Lagi pula tidak mungkin ada yang menyakiti si Tom karena kucing itu betah di rumah. Paling jauh dia hanya berkeliaran di beranda belakang dan ke jalan depan rumah. Si Tom tidak pernah berkeliaran ke sekeliling komplek. Dulu, sebelum disteril, Si Tom sangat suka kelayapan mencari pasangan hingga ke gerbang komplek perumahan. Tapi semenjak disteril, dia jadi lebih anteng dan tidak neko-neko.

“Siapa yang menyakiti kamu, Tom?” tanya Bu Rita. Dia bertanya seakan-akan kucingnya itu mengerti. Tapi mana bisa Si Tom mengadu?

Ini bukan pertama kalinya hewan peliharaan Bu Rita ada yang menyakiti. Dua minggu sebelumnya, ayam betina bu Rita pulang dengan kaki patah. Benar-benar patah sampai-sampai Bu Rita harus menyembelih ayamnya karena tidak tega jika ayam itu kesakitan terus.

Dan sebulan sebelumnya, adik si Tom, Si Toni juga mati. Jika dilihat dari tanda-tanda kematiannya, sudah jelas si Toni diracun. Ada buih busa yang keluar dari mulut si Toni.

Bu Rita semakin yakin, ada seseorang yang berbuat jahat terhadap hewan-hewan peliharaannya.

Akan tetapi, misteri itu pada akhirnya terungkap ketika Rudi, anak kedua Bu Rita yang duduk di kelas lima datang dengan tergesa sembari membawa si Tom yang mengeong. Eongannya seperti eong kesakitan. “Ma! Ma! Rudi kesel sama Si Rahayu! Dasar perempuan tak tahu diri!”

“Hush! Jangan kasar begitu. Kok bisa-bisanya kamu ngomong kasar sama Bu Rahayu!” tegus Bu Rita demi mendapati anak tetangganya menyumpah serapahi tetangga depan rumah mereka. Ya, Bu Rahayu yang rumahnya hanya terpisah jalan depan rumah.

“Habis Rudi kesal sih, Ma. Tadi Rudi mergokin Bu Rahayu lemparin si Tom ke jalan.”

Deg! Hati bu Rita jadi bergetar. Jangan-jangan Bu Rahayu yang membuat si Tom pincang. “Kok bisa?”

“Iya, dia kayaknya nggak suka si Tom main di pekarangan dia. Dilemparinnya sampai dibanting pula.”

Bu Rita hanya bisa geleng-geleng kepala. Kemudian dia meraih si Tom dari tangan anaknya. “Terus Bu Rahayu bilang apa ke kamu?”

“Dia kaget pas dia sadar Rudi ada di samping rumahnya. Dia nggak bilang apa-apa. Cuman melotot, abis itu banting pintu. Dasar Rahayu jahat!” ujar Rudi sambil bersungut-sungut. Bu Rita menepuk pundak anaknya, tak ingin anak itu menyebut nama tetangganya dengan panggilan tak sopan.

“Sudah! Mandi sana!”

Rudi pun berlalu dari hadapan mamanya, tapi gerutuannya terhadap Rahayu yang dia sebut sebagai wanita tak tahu diri itu tidak berhenti. Barangkali di kamar mandi pun anak lelaki itu masih menyumpahinya.

Bu Rita berpikir, barangkali dia lebih baik mengurung si Tom dan tidak membiarkannya berkeliaran ke pekarangan tetangga. Atau bisa-bisa nasib naas akan menimpa kucing kesayangannya. Tidak menutup kemungkinan ayam betina miliknya mengalami patah kaki karena tangan tetangga. Pun dengan si Toni yang mati dengan mulut berbusa. Benar-benar keterlaluan jika Bu Rahayu benar-benar bertindak setega itu!

***

Memang sudah sejak lama Bu Rita menangkap gelagat perilaku kurang menyenangkan dari tetangga depan rumah itu. Semenjak pindah ke komplek perumahan Indah Permai tiga tahun yang lalu, Bu Rahayu tidak pernah sekalipun menyapa dan berbasa-basi ketika bertemu. Kecuali jika ada maunya.

Pengalaman kurang menyenangkan yang pertama dialami bu Rita adalah ketika dia menangkap basah bu Rahayu bergosip tentang dirinya. Saat itu Rahayu membicarakan Bu Rita di hadapan ibu-ibu yang tengah membeli sayur di gerobak sayur Bang Leman.

“Saya itu pusing tahu nggak,” seru Bu Rahayu sembari memilah sayuran di atas gerobak.

“Pusing kenapa, Jeng?” tanya Ani, istri Pak RT yang masih keponakan dari Bu Rahayu.

“Sudah tiga hari ini sumur saya kering.”

“Lho, emang dari dulu kali komplek ini kekeringan,” timpal Riana, anak seorang pengrajin tahu yang rumahnya tiga petak dari rumah bu Rahayu.

“Iya, tapi kekeringan di kita makin parah semenjak ada tetangga baru,” ujar Bu Rahayu sembari melirik rumah Bu Rita. Dia tidak pernah tahu bahwa Bu Rita tengah berjongkok membersihkan daun-daun kering dan ulat di tanaman hiasnya di balik pagar. Tentu saja pembicaraan mereka sangat jelas terdengar oleh Bu Rita. Bu Rita hanya diam di tempat dan ingin tahu apa yang kira-kira akan dikatakan oleh tetangganya itu.

“Ah, jangan suudzon bu Rahayu,” timpal Bu Surti.

“Aku nggak suudzon lho. Sudah jelas kok kekeringan di komplek kita makin parah setelah datang bu Rita. Tahu kenapa? Karena dia make sumur bor! Jet pump itu lho. Otomatis semua persediaan air tanah kan tersedot!”

“Ah, itu kan asumsimu. Perasaan dari dulu juga kayak gini. Jadi bukan karena bu Rita pake sumur jet pump. Pak RW juga pake sumur jet pump kok,” timpal Bu Nina, mencoba menyanggah bu Rahayu.

Bu Rita yang sedari tadi hanya mendengarkan obrolan dari balik rumpun kuping gajah dan gelombang cinta, sudah tidak tahan untuk menampakan diri di hadapan ibu-ibu yang tengah memilah sayur. Hatinya menjadi panas karena dituduh telah menghabiskan persediaan air tanah oleh bu Rahayu.

“Ehm!” Bu Rita berdehem dengan batuk yang cukup keras. Cukup membuat ibu-ibu, terutama bu Rahayu, terkejut bukan alang kepalang. Sementara Bang Leman, si empunya gerobak sayur hanya tersenyum lebar demi melihat drama live di hadapannya.

“Eh, Bu Rita,” seru Bu Nani dengan senyum dikulum. “Nggak belanja sayur Bu?”

“Udah kemarin. Oh iya, lupa, bawang putih sama cabe rawit udah abis, ding!” Bu Rita pun membuka pagar dengan anggun dan bergabung. Dia ingat, masih ada uang sepuluh ribu di saku dasternya. Cukup untuk membeli bawang putih dan cabe rawit sebagai cover untuk menutupi plot sandiwaranya. Sementara wajah Bu Rahayu tampak pias. Sudah barang tentu dia khawatir jika tetangganya itu mendengarkan semua ghibahannya.

“Bang, Bawang putih sama cabe rawit. Masing-masing lima ribu.”

“Siap bu!” seru Bang Leman. Dengan cekatan tangannya membungkus bawang putih dan cabe rawit dengan lembar koran bekas. Setelah selesai, dia menyerahkan bungkusan itu kepada bu Rita, sementara Bu Rita menyerahkan uang sepuluh ribu dari saku dasternya.

Sebelum pergi, Bu Rita melirik Bu Rahayu dengan lirikan tajam, “Oh iya bu, jika ibu mau numpang ambil air di kran air saya, saya membukakan pintu pagar rumah saya selebar-lebarnya. Kan sudah sejak awal saya bilang, ‘kalo butuh air silakan datang. Saya tidak pernah pelit untuk urusan air. Bahkan bapaknya anak-anak sengaja membeli jet pump bukan hanya untuk kami, tapi untuk tetangga juga.”

Bu Nina menimpali, “Nah, betul Bu. Saya juga kan sudah sering minta air ke ibu. Omong-omong, sebelum ibu datang juga kita sudah biasa ambil air di bawah karena kekeringan.” Ya, memang orang-orang komplek menengah ke bawah itu sering menggantungkan hidup dari persediaan air di kali yang mengalir membelah sawah. Mereka harus menuruni jalan setapak menuju sumber air tersebut.

“Nah, makanya itu Bu. Saya tegaskan, kalo mau air, silakan ambil, buat mandi, buat mencuci, apalagi buat minum. Daripada ghibahin saya, betul nggak?”

“Ma…maafin saya Bu…” Bu Rahayu tampak semakin pias dan menunduk dalam. Sementara Bu Rita melenggang dengan hati yang plong!

Sejak kejadian itu, Bu Rahayu agaknya mulai insyaf diri. Dia mulai menyapa Bu Rita, berbasa-basi, bahkan berkunjung selayaknya tetangga normal pada umumnya. Tapi itu hanya bertahan seminggu. Setelah itu, wajah muram, roman masam dan bibir cemberut selalu menghiasi bibir Bu Rahayu tanpa alasan yang jelas. Yang bu Rita tahu, tahu-tahu tetangga depan rumahnya itu cemberut tanpa pernah ada hujan dan angin.

“Dia lagi kumat. Adatnya memang begitu,” ujar Ani, sang Ibu RT ketika Bu Rita curhat kepadanya. “Saya aja sebagai keponakan bu Rahayu udah sering dicemberutin! Apalagi orang lain!”

Tapi ada kalanya Bu Rahayu kembali berbaik hati. Tentunya karena ada maunya. Contohnya adalah ketika Bu Rahayu datang bertamu beberapa pekan yang lalu. Seperti tetangga pada umumnya, Bu Rita menyambut kedatangan tetangganya itu meski dengan hati bertanya-tanya.

“Gimana kabarnya, Bu?” tanya Bu Rahayu dengan keramahan maksimal.

“Alhamdulillah baik,” jawab Bu Rita.

“Kemarin dapat kabar ibu sakit?”

‘Ah, biasa. Hanya masuk angin. Digosok balsam sama minum tolak angin sudah mendingan.”

“Syukurlah, kalau begitu,” ujar Bu Rahayu sembari mencomot kue brownies yang disuguhkan bu Rita. Kemudian tatapan matanya beralih ke rumpun pohon pisang di samping rumah. “Ngomong-ngomong, itu jantung pisangnya nggak diambil, Bu?”

“Nggak, kenapa emangnya?”

“Enak lho kalau dibikin sayur lodeh. Dibikin bakwan juga gurih.”

“Kalau Bu Rahayu mau, ambil saja.”

“Wah….terimakasih ya, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu sebentar ya, mau ambil galah bambu dulu.” Tanpa menunggu respon sang tuan rumah, Bu Rahayu sudah melesat keluar dari pekarangan. Tak berapa lama, dia kembali dengan membawa galah bambu. Dengan semangat 45, dia berhasil menenteng tiga buah jantung pisang di kedua tangannya.

“Terimakasih, Bu Rita….” Serunya dengan wajah sumringah.

Bu Rita hanya tersenyum lebar. Sementara hatinya merutuk tak karuan. ‘Dasar! Giliran ada maunya aja, ramahnya minta ampun!’

Sorenya, Bu Rita menunggu kedatangan Bu Rahayu. Siapa tahu tetangganya itu memberinya sepiring sayur lodeh jantung pisang atau bakwan jantung pisang. Tapi tentu saja Bu Rahayu tak pernah datang mengiriminya olahan jantung pisang sebagai ungkapan terimakasih.

Rahayu….Rahayu….

TAMAT

Terimakasih buat Mamah yang curhatannya jadi ide cerpen ini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here