Matahari musim semi memancarkan sinarnya yang hangat. Langit cerah berwarna biru muda seperti sebuah kanvas polos. Awan putih memberikan sentuhan indah berupa larik-larik tipis yang menyebar di beberapa titik, membuat gradasi warna langit yang menarik. Bagi sebagian orang, musim semi selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, karena warna-warni bebungaan dan tunas-tunas tanaman yang bermunculan terlihat begitu menyegarkan mata, menggantikan putih salju saat musim dingin. Ketika salju mencair dan musim dingin berakhir, matahari mulai menampakkan dirinya, orang-orang pun melepaskan pakaian tebal dan berlapis-lapis mereka, menyambut musim semi dengan penuh suka cita.
Namun keriangan itu mendadak berubah kepanikan saat sebuah ledakan keras mengguncang kota Washington. Pennsylvania Avenue disesaki warga yang diliputi rasa cemas dan penasaran, sejenak meninggalkan taman-taman kota dan beberapa pusat perbelanjaan. Sirine mobil kepolisian meraung-raung dari kejauhan. Mobil ambulance pun tak mau kalah cepat, suara sirinenya yang melengking tinggi berhasil membuat mobil-mobil lain menepi dan memberi jalan yang lebih lapang.
Dalam waktu singkat polisi yang tiba di tempat kejadian perkara segera merentangkan police line mengelilingi bagian bangunan yang runtuh terkena ledakan, membiarkan puing-puingnya berserakan sebagai bagian bukti penyelidikan. Beberapa pasukan SWAT berjaga-jaga di sekeliling police line dengan tatapan angker, menyandang sub-machine gun dan mengenakan seragam militer hitam lengkap. Sebagian lagi berada di dalam Gedung Putih mengamankan para pejabat tinggi dari tindakan terorisme lanjutan setelah serangan bom bunuh diri pukul delapan tadi pagi.
Robert Johnson melangkah di antara puing-puing reruntuhan, menepis debu-debu yang beterbangan dengan tangan kanannya. Udara musim semi bercampur asap dan debu. Untung saja lelaki itu mengenakan masker. Jika tidak, mungkin ia sudah terbatuk-batuk dan menderita sesak nafas.
“Kau terlihat tidak bersemangat hari ini,” desah William, salah seorang rekannya yang juga sedang bertugas menyelidiki ledakan bom di gedung putih. Robert hanya melirik sekilas ke arah William yang tengah memotret lokasi dengan kameranya.
“Tentu saja aku tak bersemangat. Rencana awal musim semiku gagal gara-gara teroris sialan itu.”
William tertawa, kemudian beralih ke salah satu sudut reruntuhan dan menemukan sesuatu yang menarik penglihatannya. Ia merunduk dan mengambil gambar. Robert pun melakukan hal yang sama ketika menemukan sebuah benda menyerupai kotak berbahan logam yang sebagian sisinya hancur dan terburai.
“Yeah, kuharap otak serangan ini segera tertangkap. Aku tak sabar ingin segera menguliti tubuhnya,” desis Robert. Ia meraih kotak peralatannya dan mengambil plastik kedap udara, kemudian memasukkan temuan itu ke dalamnya.
Mereka kembali menyusuri serambi depan yang telah hancur. Bongkahan-bongkahan pilar teronggok begitu saja sepanjang paviliun, sementara memasuki ruang tamu bangunan itu tampak masih utuh dan hanya terdapat sedikit saja kerusakan. Penjagaan di dalam maupun di luar komplek Gedung Putih semakin diperketat. Pentagon seperti kebakaran jenggot mengingat pelaku pemboman kali ini begitu mudahnya menerobos masuk ke komplek Gedung Putih dengan melewati pasukan penjaga di pintu gerbang. Beruntung ledakan yang ditimbulkan tidak terlalu besar dan hanya menghancurkan bagian serambi depan, bukan ruang pertemuan atau di tempat sang presiden melakukan tugas kenegaraannya.
“Bagaimana dengan korban?” Robert melirik sang rekan yang baru saja menutup teleponnya. Beberapa menit yang lalu petugas paramedis telah mengangkut semua korban luka dan tewas pada ledakan itu. Robert hanya ingin memastikan korban kali ini kondisinya tidak seburuk peristiwa-peristiwa sebelumnya.
“Hanya satu orang tewas diduga pelaku ledakan. Lima orang dilaporkan mengalami luka serius. Tenang, ini tak separah serangan 11 September. Kau bisa lebih banyak bernafas dibanding saat itu.” William tersenyum.
“Iya, Tuan Senior.” Robert membungkukkan badannya di hadapan William, ritual yang selalu ia lakukan jika seniornya di kepolisian itu membicarakan tugas-tugas berat yang pernah pria itu hadapi. Hanya sebagai candaan penghilang kebosanan.
Mereka tertawa bersama, sejenak melupakan beratnya resiko pekerjaan. Beberapa orang di sekitar area ledakan menoleh ke arah mereka dan memandang heran.
“Lihat, mereka mungkin mengira kita sudah gila. Tertawa di tengah kepanikan,” bisik Robert.
William mengedarkan pandang. Ia mengangguk dan menyunggingkan senyum. “Oke, bersikaplah biasa seolah tak terjadi apa-apa. Kita selesaikan tugas kita secepatnya dan segera membawa barang bukti ke laboratorium.”
Robert menarik nafas lega. Penyelidikan di tempat kejadian perkara telah menghasilkan beberapa petunjuk. Dan kini saatnya mereka harus segera kembali ke markas dan melanjutkan penyelidikan pada bukti-bukti yang telah didapatkan.
Dalam hangatnya mentari dan sejuknya udara musim semi, pria itu tersenyum puas.
***
Entah apa yang menyebabkan pria itu begitu sulit memejamkan mata. Lelah yang menderanya tidak juga membuat matanya terasa letih dan mengantuk. Insomnia mendadak menyerangnya saat dirinya mencoba merebahkan tubuh di ranjang apartemen. Robert menyilangkan tangannya ke belakang kepala, matanya menatap lurus langit-langit apartemen dan lampu yang tergantung di tengah kamar. Pikirannya melayang pada tugas yang kini tengah dihadapinya. Bukan sekali dua kali ini pernah menangani kasus serupa, kasus terorisme yang kerap kali menimpa negaranya. Sejak peristiwa 11 September setelah hampir dua belas tahun berlalu, seperti tak ada lagi ruang untuk rakyat Amerika merasakan kebebasan. Nyawa mereka dapat terancam sewaktu-waktu.
Sederet bukti-bukti dan hasil penyelidikan mulai menunjukkan titik terang. Tes DNA pada korban tewas ledakan dua hari yang lalu di Gedung Putih telah diketahui hasilnya. Seperti yang sudah diprediksi sedari awal bahwa sekelompok muslim garis keras telah merencanakan teror untuk menebarkan ketakutan pada pemerintah dan rakyat AS. Pelaku diidentifikasi sebagai Ahmad Sofyan, seorang mahasiswa keturunan Mesir di salah satu universitas ternama di Amerika.
Ahmad Sofyan adalah seorang aktivis di sebuah organisasi yang bergerak di bidang HAM. Mereka aktif menyerukan adanya persamaan hak dan kesempatan bagi rakyat muslim Amerika untuk tetap hidup aman dan diakui tanpa perlu dicurigai sebagai bagian dari terorisme internasional. Dan ketika penyelidikan itu berujung pada perintah penangkapan sang ketua organisasi yang diduga sebagai otak pengeboman di Gedung Putih, Robert merasakan sesuatu mengusik sanubarinya. Pria itu masih mengingat dengan jelas surat perintah penangkapan yang ditunjukkan William padanya.
Robert menghela nafas dan berusaha membuka lembaran memori di kepalanya, terkait sosok bernama Farouq Abbas yang namanya tertera pada surat resmi penangkapan. Awalnya Robert tidak merasa pernah mengenal sosok itu. Namanya mungkin tidak berarti apa-apa jika dirinya bukan seorang aktivis muslim yang frontal dalam menentang segala kebijakan pemerintah yang berpihak pada Zionis dan menyudutkan islam. Ia hanya sekilas melihat kiprahnya di televisi, tidak pernah melihat wajahnya lebih dekat. Namun berkas perkara yang terlihat di atas meja William menunjukkan profil lengkap sang tersangka utama peledakan Gedung Putih. Wajah timur tengahnya, riwayat hidupnya, kesamaan itu terasa seperti sebuah kebetulan yang disengaja.
Farouq Abbas, benarkah itu kau? Batin Robert gelisah.
Dua puluh tahun lalu, saat itu usianya baru menginjak sepuluh tahun. Ia ingat bagaimana kehidupannya dulu saat masih kecil. Hidup dalam keluarga serba tidak harmonis, dengan ayah pemabuk dan ibu yang tak berdaya. Hingga kemudian pada hari itu, ia mendapati rumah kosong di sebelah rumahnya kini berpenghuni. Robert menyingkap tirai ruang tamu, mengintip ke seberang pagar rendah yang membatasi kanan-kiri rumahnya. Seorang anak seumurannya, dengan raut wajah asing namun bersahabat, tampak terlihat duduk di beranda rumah.
Robert mengulur waktu dan terus memperhatikan anak itu dari balik kaca. Sesuatu dalam diri anak itu memancarkan kebaikan dan sikap rendah hati. Hanya saja wajahnya tidak seperti orang Amerika kebanyakan, seperti berasal dari suatu tempat di negeri antah berantah atau dongeng seribu satu malam. Sesaat dirinya ragu untuk menjadikan anak itu sebagai teman barunya.
“Apa yang kau lihat di sana?” seru Mom mengagetkannya. Robert berbalik, mendapati Mom menatapnya ingin tahu.
“Anak yang tinggal di rumah peninggalan Mrs. Oliver itu, bolehkan aku berkenalan dengannya?” Robert selalu meminta pendapat Mom apapun yang akan ia lakukan, bahkan untuk sebuah pertemanan.
Wanita itu menggeleng. Aneh, biasanya Mom hampir tak pernah melarangnya untuk berteman dengan siapa saja. Tapi kali ini berbeda.
“Tidak. Jangan berteman dengan dia. Orang Arab itu terkenal kasar dan beringas. Tidak akan ada manfaatnya jika kau kenal dia,” tukas Mom sambil berlalu dari hadapan Robert.
Nyatanya larangan itu sama sekali tidak digubrisnya bahkan membuatnya penasaran, lalu diam-diam menemui anak itu tatkala Mom dan Dad tidak ada di rumah. Semua prasangka buruk yang Mom utarakan tidak terbukti sama sekali. Bahkan Farouq –begitu sulitnya Robert melafalkan nama anak itu– terkesan ramah dan baik perangainya. Begitu pun ayah dan ibunya yang biasa dipanggil dengan sebutan Abi dan Ummi.
Farouq juga pemberani dan tak kenal takut. Saat serombongan anak nakal mencaci dan mengolok-olok Robert sebagai anak seorang berandal dan pemabuk, Farouq datang membela bak seorang pahlawan. Bahkan ia mampu melindungi Robert dari keroyokan bandit-bandit kecil itu meski harus merelakan tubuhnya sendiri babak belur terkena tendangan dan pukulan.
Memori itu masih tersimpan rapi dalam otaknya meski telah berlalu dua puluh tahun yang lalu. Pertemanan mereka hanya berlangsung singkat, karena setelah itu Farouq beserta keluarganya pindah ke negara bagian lain. Tanpa kabar atau kata pamit, seperti sedang diburu sesuatu. Robert mengira kepindahannya itu dikarenakan keluarga Farouq tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar yang homogen dan cenderung rasis.
Jika memang benar sosok itu Farouq Abbas yang ia kenal, maka ia akan bimbang memposisikan diri sebagai siapa. Sebagai sahabat lama, atau seorang yang senantiasa siap sedia menodongkan pistol ke kepala Farouq.
***
Robert berjalan mengendap-ngendap melewati pagar setinggi lehernya, mengikuti komando pemimpin pasukan penyergapan di depannya yang telah merangsek maju menuju sasaran. Lima orang polisi ditugaskan melakukan penangkapan terhadap Farouq Abbas, tersangka utama peledakan Gedung Putih. Di halaman sebuah masjid kecil di kawasan barat Washington mereka bersiap melaksanakan misi penangkapan di kegelapan malam. Senjata api dan peluru telah disiapkan, mengantisipasi kemungkinan terburuk adanya serangan balasan atau target yang melarikan diri.
Robert menghela nafas panjang. Perasaan gugup menyelimuti tubuhnya, seperti berat menentukan pilihan. Ia tengah dihadapkan pada posisi sulit. Namun beberapa kali pula sisi lain benaknya mengatakan bahwa itu bisa saja bukan Farouq yang ia kenal. Bisa jadi orang lain yang kebetulan memiliki garis wajah dan nama yang sama. Dan sebentar lagi pembuktian itu akan segera terjadi, tepat pada malam ini.
William melangkah paling depan dan memberikan aba-aba kepada polisi di belakangnya untuk maju ke sisi kanan, sebagian lagi beranjak ke arah belakang. Mereka mengepung dari empat penjuru, berusaha meminimalkan target melarikan ke arah belakang masjid.
“Siap?” seru William setengah berbisik. Keempat rekannya mengangguk cepat, namun tak begitu dengan Robert. Ia terlihat tegang dan gelisah seperti baru pertama kali melakukan penyergapan. Hanya saja tak ada seorang pun menyadarinya.
Lalu, ketika tangan William teracung dan melambai, mereka mendorong pintu masjid dengan keras hingga menjeblak terbuka. Pistol teracung ke hadapan pria keturunan Arab itu. Farouq masih dalam posisi duduk bersila di lantai masjid sambil membaca Al-Qur’an. Suaranya lembut dan mengalun merdu. Ketika menyadari kedatangan polisi yang tiba-tiba di hadapannya, ia bergegas menutup kitab suci dan berdiri seolah menyambut kedatangan mereka. Tak ada kepanikan di raut wajahnya, hanya ekspresi terkejut dan kerutan di kening pria itu menunjukkan keheranan.
“Anda kami tangkap atas dakwaan kasus terorisme! Sekarang, segera berbalik menghadap dinding dan lipat tangan ke belakang!” seru William selaku komandan pasukan penangkapan. Pistol masih teracung tepat di hadapan Farouq seiring langkah kaki William yang terus melangkah mendekat.
Farouq terlihat tak sedikit pun merasa takut. Ia malah tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kalian pasti salah tangkap. Aku tidak pernah terlibat satu pun tindakan kriminal,” ujarnya tegas. Meski dalam posisi terdesak Farouq sama sekali tidak menggubris perintah sang komandan. Ia tetap berdiri tegak tak bergeming.
Robert menyaksikan pemandangan di hadapannya dengan perasaan tak menentu. Setelah pertemuan yang tak diinginkannya ini dirinya semakin yakin bahwa pria itu memang benar Farouq, teman masa kecilnya. Keberanian pria itu tak pernah hilang sejak dulu. Apa ia mengenaliku di antara para polisi yang ingin menangkapnya? bisik hati kecilnya.
Robert merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat. Adrenalinnya berpacu. Ini tidak bisa dibiarkan. Saatnya mengakhiri kebimbangan hatinya dengan sebuah keputusan tepat.
Tiba-tiba Robert menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkan ke arah William. Terdengar suara tembakan dan peluru berdesing cepat mengenai tangan sang komandan. Jeritan William menggema. Robert mengincar salah satu rekannya yang paling lemah, untuk kemudian menyergapnya dari belakang dan mengarahkan pistolnya ke kening rekannya itu.
“Letakkan senjata kalian di bawah, sekarang!” seru Robert sambil terus menempelkan moncong pistol dan menyeret tubuh rekannya mendekati Farouq. “atau kubuat peluru ini menembus kepalanya.”
“Robert!” jerit William kesakitan. “Apa yang kau lakukan, bodoh! Kenapa kau melindungi teroris seperti dia?”
Wajah Farouq yang awalnya kebingungan kini menatap tubuh Robert yang berdiri membelakanginya. Ia sedikit tersentak atas drama yang terjadi di depan matanya. Ingatannya sesaat melayang menembus ruang dan waktu. Ia tidak akan pernah lupa jalinan persahabatan yang ia rengkuh bersama Robert.
“Robert Johnson…” desis Farouq. “Kau tidak perlu melakukan ini, Sobat. Aku siap menghadapi apapun yang mereka tuduhkan kepadaku.”
“Tidak Farouq! Pergilah segera dari sini!” sahut Robert tanpa menoleh. Ia terus bersikap waspada dan menatap lurus-lurus ke depan.
“Kalian hanya tak ingin orang-orang seperti Farouq terus-menerus menyampaikan kebenaran. Ia tidak bersalah, tapi kenapa setiap terjadi kasus peledakan selalu dikait-kaitkan dengan aktivis muslim, seperti Farouq?” cecar Robert. “Ini hanyalah sebuah konspirasi! Aku tidak mau lagi membohongi hati nuraniku sendiri. Aku sudah muak menjadi bagian dari kalian!”
Farouq sesaat memejamkan matanya. Jika ia pergi, mereka akan segera melumpuhkan Robert. Masih ada dua orang polisi di luar sana yang bisa sewaktu-waktu menghentikan Robert dengan satu atau beberapa tembakan. Bahkan ia pun tidak akan bisa hidup tenang dan keluar dari negara ini tanpa jaminan bebas, karena namanya bakalan tercatat sebagai buronan teroris. Pemerintah AS akan memburunya hingga ke lubang semut sekalipun.
Robert… kenapa kau membahayakan dirimu sendiri? Batin Farouq sedih.
“Apa yang kau tunggu Farouq? Pergi dari sini! Mereka bisa membunuhmu!”
“Tidak Robert, aku tidak mau pergi. Aku tidak ingin menjadi pengecut dan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.” Ucap Farouq tegas.
Robert tak sempat menanggapi dan berkata apa-apa lagi, saat dua orang polisi yang bertugas mengepung dari arah belakang tadi, merangsek masuk ke dalam masjid.
Dor!
Terdengar bunyi tembakan keras dari jarak beberapa meter. Semua terjadi begitu cepat. Robert tak dapat menghindar. Peluru melesat mengoyak betis kiri Robert. Ia mengaduh, kedua kakinya seketika tertekuk dan mengucurkan darah segar. Meski masih menggenggam pistol di tangannya, namun tubuhnya terasa kebas dan tidak dapat digerakkan.
Willian terkekeh. Dalam kesakitan yang masih tersisa di wajahnya, ia tersenyum mengejek. Sambil terus memegangi tangan kirinya yang tertembus peluru, ia mengeluarkan perintah. “Cepat tangkap mereka berdua! Bawa ke markas!”
Robert dan Farouq tak dapat berbuat banyak. Tangan mereka di letakkan secara paksa di belakang badan, kemudian diborgol dan digelandang menuju mobil polisi yang diparkir di halaman masjid. Orang-orang di sekitar komplek masjid berkerumun setelah mendengar dua kali bunyi tembakan, dan tak menyangka orang yang selama ini terkenal santun dan baik itu kini menjadi tahanan polisi. Ditambah lagi seorang berseragam polisi ikut digiring dengan kaki terpicang-pincang dan raut wajah kesakitan.
Tak ada penyesalan di wajah Robert. Meski kariernya telah hancur dan ia akan menghadapi siksaan dibalik jeruji besi, ia merasa puas karena dapat membalaskan perlindungan Farouq kepada dirinya.
***
“Kau tidak takut terhadap penyiksaan yang lebih menyakitkan lagi di luar sana, Robert?” ucap Farouq. Seketika tubuhnya berguncang-guncang. Berada di dalam truk besar dan tertutup ini terasa begitu pengap. Tubuhnya berkeringat. Hawa panas berhembus dari arah luar. Dari celah yang sedikit terbuka antara dinding truk dan udara luar, tanah gersang tanpa pepohonan terhampar sejauh jangkauan pandangannya.
Di dalam truk itu beberapa tahanan kebanyakan tertidur. Mereka terdiri dari berbagai macam tahanan pemerintah AS, mulai dari mafia obat bius, penjahat narkoba, juga terdakwa kasus terorisme. Dari sel pengap di balik jeruji besi penjara di tengah kota, mereka dipindahkan di penjara yang lebih luas lagi, jauh di luar sana. Entah sampai kapan perjalanan ini akan berakhir.
Robert menghela nafas. Ia terdiam sejenak dan menerawang. Tak ada yang perlu disesali atas keputusan yang dipilihnya. Meski orang lain menganggapnya bodoh karena telah mengambil jalan di luar nalar mereka, tapi inilah hidup yang sesungguhnya. Ia tak perlu lagi gelisah menghadapi semua. Malah justru sebaliknya, hatinya terasa begitu lapang. Hidupnya merasakan ketenangan dan kedamaian yang selama ini tak pernah ia dapatkan.
“Robert?” panggil Farouq setelah tak ada tanggapan. Robert tersentak, tersadar setelah tangan Farouq mengguncang tubuhnya.
“Maaf, Farouq. Aku tidak akan pernah menyesali keputusanku. Aku tidak akan pernah takut,” tegasnya. Farouq mengangguk.
“Dan jangan panggil aku dengan nama lama-ku, Farouq. Sudah dua minggu ini namaku berganti menjadi ‘Fatih’. Hey, kenapa kau mendadak amnesia begini? Bukankah kau yang mengusulkan nama itu, heh?” candanya.
Farouq tertawa. Tangannya meninju lengan sahabatnya itu. Robert kini telah memeluk islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Fatih, berkat bimbingan seorang Farouq. Kini, mereka berdua siap menghadapi apapun itu di luar sana.
Tanpa ragu.
*****