Ibu selalu melotot bila melihat Aliya Hastuti berdiri di depan pintu rumah. Secepat kilat, tangan ibu mencubit paha gadis 17 tahun itu seraya membentak, “Jangan berdiri di depan pintu. Tak baik buat gadis, nanti sulit jodoh!”
Ah, Aliya masih sekolah, mengapa ibu bicara soal jodoh?
“Apa kata tetangga bila setiap kali melihatmu berdiri di depan pintu? Kita ini orang Jawa, tak baik menentang adat,” kata ibu.
Saat di sekolah, Aliya menceritakan peristiwa itu pada teman-temannya dan mereka tertawa. Aliya juga curhat pada Bu Maya Puji Lestari, guru Bahasa Inggris yang selalu berpenampilan modis, yang selalu tampak cantik dengan jilbab model apapun, dan yang pernah ikut program pertukaran guru di Melbourne.
“Mengapa anak gadis dilarang berdiri di depan pintu, Bu Maya?” tanya Aliya, ketika bertemu di perpustakaan.
“Kamu sering melakukannya, Liya? Berdiri di depan pintu?” Bu Maya balik bertanya.
Aliya mengangguk.
“Karena secara logika akan menghalangi orang untuk masuk rumah. Secara etika pun kurang sedap dipandang,” kata Bu Maya.
“Tapi menurut saya bukan karena alasan itu ibu melarang saya berdiri di depan pintu,” sahut Aliya.
“Karena ibumu takut kamu akan sulit dapat jodoh?” timpal Bu Maya tersenyum.
Sekali lagi Aliya mengangguk.
“Kamu percaya pada mitos itu?” tanya Bu Maya.
Aliya menggeleng.
“Kalau begitu mengapa kamu mesti cemas? Santai saja, tetapi kamu juga harus menghormati adat.”
“Lantas, saya harus bagaimana, Bu?”
“Jangan berdiri di depan pintu rumah saat ada ibumu.”
Aha! Mengapa Aliya tidak berpikiran seperti itu? Maka di hari-hari lain, Aliya menjauh dari pintu rumah bila sekiranya ibu bisa memergokinya. Namun, bila ibu sedang pergi, Aliya bisa leluasa menyalurkan kesukaannya berdiri di depan pintu rumah. Itu hobi murah dan unik bagi Aliya, dan ia tak peduli anggapan orang-orang tua yang masih mempercayai takhayul.
Pada perkembangan kemudian, Aliya lebih menuruti kata-kata Bu Maya yang berpikiran modern, daripada petuah-petuah ibu yang kolot. Aliya tidak takut kelak sulit jodoh, karena menurutnya jodoh di tangan Tuhan, bukan karena berdiri di depan pintu atau tidak.
Aliya makin merasa dekat dengan Bu Maya, ketika suatu kali beliau mengaku gemar berdiri di depan pintu saat seusia dengannya. Bu Maya tenang-tenang saja meski di usia 33 saat ini beliau masih melajang.
“Bu Maya sudah punya pacar?” tanya Aliya, hati-hati, suatu kali.
“Mengapa?” Bu Maya balik bertanya, tenang dan senyum selalu menghiasi bibir tipisnya.
“Bu Maya cantik, muda, mengapa…..”
“Belum dapat jodoh, maksudmu?”
Aliya menyeringai dan garuk-garuk kepala.
“Kamu mulai terpengaruh mitos itu rupanya,” sentil Bu Maya terkekeh.
Aliya tertegun. Perjalanan waktu memang membuat keyakinannya goyah. Bagaimana bila mitos itu benar? Bukti sudah di depan mata; Bu Maya belum menikah meski usianya telah berkepala tiga. Bahkan, Aliya belum pernah melihat Bu Maya bersama pacar. Ah, apakah Bu Maya punya pacar?
“Percayalah, Liya. Jodoh bukan di tangan pintu, melainkan Tuhan yang menentukan,” kata Bu Maya begitu yakin dan senyum guru cantik itu mampu melegakan hati Aliya.
Suatu sore Aliya melihat Bu Maya diboncengkan seorang pemuda tampan. Bu Maya sudah punya kekasih? Oh, tampan sekali kekasih Bu Maya, tetapi pemuda itu tampak lebih muda dari Bu Maya. Bu Maya suka daun muda?
Keesokan hari, Alya menanyakan hal itu pada Bu Maya.
“Pacar Bu Maya ganteng sekali.”
“Pacar?”
“Itu, yang kemarin memboncengkan Bu Maya.”
Bu Maya tertawa kecil.
“Itu adikku, Liya. Namanya Satrio, masih kuliah arsitektur. Dia sedang libur dua hari. Sekarang dia sudah kembali ke Semarang.”
Aliya mengangguk-angguk, mengerti. Aliya ingat, Bu Maya pernah bercerita bahwa sejak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakan bus yang mereka tumpangi, Bu Maya harus membiayai sekolah Satrio, adiknya. Mungkin karena itulah Bu Maya belum memikirkan tentang pernikahan, karena baginya lebih penting memikirkan pendidikan adiknya.
Waktu demikian cepat berlalu. Tak terasa Aliya sudah lulus dari SMA Negeri 007 Batang dan kuliah Sastra Inggris di sebuah PTS di Yogyakarta. Aliya masih sempat beberapa kali bertemu dengan Bu Maya saat pulang kampung.
Hingga suatu hari Aliya mendengar kabar Bu Maya menikah, tetapi Aliya tidak bisa menghadiri resepsi pernikahan beliau, karena saat itu ia sedang ujian akhir semester. Kabarnya, rumah Bu Maya yang selama ini ditempatinya telah disewakan. Kini Bu Maya tinggal bersama suaminya di sebuah perumahan di Pekalongan. Batang-Pekalongan, hanya sejengkal. Bila ada kesempatan, ingin sekali Aliya berkunjung ke rumah Bu Maya.
Dan, kesempatan itu datang pula. Aliya berkunjung ke rumah Bu Maya, suatu siang ketika pulang kampung. Di teras rumah bercat hijau pupus, tampak seorang pemuda tampan sedang duduk membaca koran. Itukah suami Bu Maya?
Aliya mengucapkan salam, menyampaikan maksud kedatangannya, lalu pemuda itu menyilakannya duduk di kursi teras.
“Sebentar saya panggilkan,” kata pemuda itu, lalu masuk ke rumah.
Tak lama kemudian, Bu Maya muncul.
“Masya Allah, Aliya? Sudah besar kamu sekarang, semester berapa sekarang?” seru Bu Maya lalu memeluk Aliya.
“Tinggal skripsi, Bu Maya. Mudah-mudahan semester depan bisa wisuda,” sahut Aliya, seraya melirik ke dalam rumah. “Maaf, yang tadi itu suami Bu Maya?” tanya Aliya tersipu.
Bu Maya tertawa kecil.
“Bukan. Suamiku sedang ke Jakarta, ada seminar tentang smart city. Suamiku jadi pembicara,” sahut Bu Maya. Aliya ingat, suami Bu Maya adalah dosen komputer di sebuah PTS di Pekalongan.
“Lalu siapa dia, Bu Maya?”
“Bukankah kamu pernah melihatnya, beberapa tahun silam? Itu Satrio adikku. Dia jadi arsitek sekarang, di Surabaya. Dia baru datang kemarin, karena waktu pernikahanku dia sedang tugas di Kendari.”
Aliya mengangguk-angguk. Hatinya merasa lega mengetahui pemuda tampan itu bukan suami Bu Maya. Beberapa saat kemudian pemuda itu keluar membawa dua gelas sirup warna kuning –pasti rasa jeruk segar.
“Kamu masih suka berdiri di depan pintu rumah, Liya?” tanya Bu Maya, setelah terlebih dulu menyilakan Aliya untuk menikmati sirup yang tampak segar di Minggu siang yang cukup terik itu.
Aliya menyeringai. Berdiri di depan pintu, oh, itu seperti sudah mendarah daging bagi Aliya. Di dekat mereka, Satrio tersenyum mendengar pertanyaan kakaknya itu.
Senyum pemuda itu, ah, membuat dada Aliya berdebar, tubuh gemetar, dan wajah bersemu merah. Ia memainkan ujung jilbab merah mudanya.
“Tidak takut sulit jodoh?” canda Bu Maya.
Aliya gugup, apalagi melihat pemuda di dekatnya tersenyum. Rupanya pemuda itu tak mau membuat Aliya malu, ia mohon diri lalu masuk ke rumah. Meski begitu, Aliya belum mampu menjawab pertanyaan Bu Maya yang bernada guyonan itu.
Bu Maya mencondongkan tubuh ke arah Aliya, melirik ke arah pintu rumah yang terbuka, lalu berbisik, “atau jangan-jangan jodohmu sudah ada di depan pintu?”
Aliya gelagapan, pipinya merona merah oleh rasa malu dan bahagia yang membaur di hatinya. Aliya ingin membenarkan ucapan Bu Maya, tetapi gadis itu terlalu malu untuk mengatakannya.
*****
Batang, 29 Mei 2023
Suistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.
Biodata penulis
Sulistiyo Suparna, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Menyelesaikan pendidikan di S1 juran Administrasi Negara, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, lulus 1999. Saat ini, selain menulis, dia juga memiliki usaha berjualan soto ayam.
Bagus cerpennya, bernas dan mengkritisi mitos dengan lucu. Mohon maaf masukan untuk redaksi, informasi pribadi penulis sebaiknya tidak ikut ditampilkan 🙂