Suara-Suara di Surau

0
76

Dari dalam ruangan berukuran tujuh kali tujuh meter ini, aku melihatmu duduk di kursi rotan di halaman depan. Di antara tanaman serai, pandan, dan rerumputan. Di bawah pohon rambutan yang berbuah lebat dan berwarna merah pekat.

Angin sore yang gersang menggasak debu-debu di sekitarmu. Mata ruyupmu terlihat berkedut-kedut. Kedua tangan ringkaimu memegang lutut. Kautatap kelebat-kelebat kendaraan yang berlalu lalang dan dedauanan cokelat yang pretel berhamburan.

Biasanya di tempat itu, kau akan menghabiskan senja bersama istrimu. Membicarakan tentang ayam-ayam tetangga yang suka masuk rumah; air sungai yang mengental dan ditumpat sampah-sampah; anak-anak kecil yang suka naik skuter di jalanan, juga anak-cucu kerabat yang sudah menikah dan tamat sekolah. Tapi sore ini, di sana kau hanya sendirian.

Istrimu pernah bilang ingin dibuatkan sebuah surau di sudut kanan pekarangan rumah, menghadap taman anggrek dan lahan parkir, di samping kiri pagar beton pembatas rumah dan sungai. Agar setiap hari kalian—dan orang-orang di sekitar—bisa beribadah berjamaah tanpa harus melewati kawasan pabrik tekstil yang panjang dan sungai yang berkelok-kelok.

Tapi, baru tiga bulan bangunan ini berdiri, istrimu pergi tak kembali.

“Kasihan, Pak Tua! Apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan?” bisik seorang lelaki yang memiliki bintil hitam di bawah bibir pada lelaki berkepala plontos di sampingnya. Mereka tengah duduk di teras surau selepas melaksanakan salat Asar. Aku tak mengenal mereka. Barangkali mereka bukan warga sini. Maka aku memilih diam; seakan tak mendengar.

“Aku pernah dengar katanya Pak Tua itu gila. Semenjak istrinya meninggal, ia suka marah-marah dan tak mau salat berjamaah,” jawab lelaki berkepala plontos tadi.

“Masa’ sih? Tapi sepertinya dia baik-baik saja. Bajunya tidak kumal. Rambutnya juga tidak terlalu ikal. Tampaknya ia masih rajin membersihkan dirinya,” sahut lelaki berbintil hitam, “mungkin ia hanya sedang belum bisa menerima kenyataan. Coba saja kaubayangkan! Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kaucintai? Kau pasti terluka dan butuh waktu untuk mengobatinya.”

Aku masih bergeming mendengar percakapan mereka. Mereka yang sok tahu tentang dirimu itu. Tapi aku tak menegur mereka, meski sesungguhnya aku merasa terganggu. Aku tak mau membuat masalah. Kubiarkan saja mereka berbicara semaunya.

Tapi jika dipikir-pikir, benar juga yang dikatakan lelaki berbintil hitam tadi: bahwa saat ini kau hanya sedang terluka. Tidak gila seperti yang sebagian orang katakan. Dan kau butuh waktu untuk sembuh. Tapi, sampai kapan?

Ah, melihatmu seperti itu, kadang aku tidak tega. Andai aku bisa menghiburmu. Membuatmu tertawa dan kembali menyapa setiap yang datang ke surau ini seperti dulu. Namun kau selalu menutup diri. Apa pun yang ada di hadapanmu kini seakan tiada arti. Kau juga menyumpal telingamu dari omongan orang lain. Kau sibuk dengan pemikiranmu sendiri.

Aku tidak tahu sampai kapan kau begitu. Lihat! Surau ini sekarang berbau debu, senyap dari seruan salat, dan teramat pengap. Sangat timpang dengan keadaan tiga tahun lalu.

“Sepertinya aku bakal betah jika berlama-lama di sini seharian,” kata istrimu waktu itu, sesaat selepas membuka pintu. Semilir angin dari jendela-jendela yang menganga menggoyangkan rambut peraknya yang dibiarkan masai.

Aku yang saat itu juga berada di sini bisa turut merasakan udara sejuk itu menyentuh kulit tipisku. Aroma pelitur dinding kayu masih terasa sedikit menyengat. Namun perbaduan warna putih-karamelnya seakan memberi kesan yang lembut dan hangat. Di bagian tengah dinding di dekat tempat imam, kau menempelkan sebuah jam bundar yang dibingkai ukiran kayu jati Jepara menyerupai daun dan paruh ayam. Ketika mendekati waktu salat, jam itu akan berbunyi seperti kokok ayam—sebelum azan berkumandang: memanggil orang untuk salat.

Lalu di bagian luar, tepatnya di samping teras—yang berkolong dan ditopang papan-papan kayu dan dipasang undak-undakan setinggi satu meter—terdapat lima padasan tanah liat berjajar yang bertopi seperti tutup panci, serta sebuah cermin mungil yang berbingkai kayu sebentuk jam dinding tadi.

Kami semua berdecak kagum. Kau telah menjual separuh lahan sawah demi mewujudkan impian istrimu. Aku tahu itu bukan keputusan yang mudah. Kau pernah mengeluh tentang hal itu di depanku—dan tampaknya tak ada lagi cara lain yang bisa kaulakukan. Andai punya tabungan banyak, pasti aku akan membantumu karena selama ini kau sudah berbuat baik padaku. Tapi nyatanya, aku tak bisa membantu. Maka waktu itu, kuturuti apa pun keputusanmu.

Hasil penjualan sawah kautukar dengan genting, kayu, kubah, paku, dan alat bangunan lain. Kemudian bersama warga sekitar, kau bergotong-royong membangun surau ini.

“Sungguh, ini lebih indah dari yang kuharapkan!” puji istrimu ketika pertama kali surau ini berdiri. Setitik air menjatuhi pipinya yang keriput.

“Akhirnya sekarang kita tak perlu lagi jauh-jauh menyeberang!” Para warga bersorak. Kami semua bahagia dengan kehadiran surau ini. Kami semangat meramaikan surau setiap hari. Surau ini terasa hidup dan jamaah begitu guyup. Namun tiba-tiba semua berubah ketika virus laknat itu mewabah desa kita.

“Aku tidak percaya dengan semua itu. Hidup dan mati sudah ada yang ngatur. Kalau waktunya mati, ya mati. Kalau tidak, ngapain kita harus dilanda ketakukan secara berlebihan?” katamu di suatu sore di Bulan Ramadan, pada seorang lelaki yang datang menyerahkan surat dari pemerintah agar jamaah salat Tarawih di rumah.

“Asal kau tahu saja, Pak Tua. Yang jadi korban sekarang banyak. Bahkan Pak Haji sampai kritis di rumah sakit. Keluarganya sudah diisolasi. Kami belum ada yang berani salat di Masjid.”

“Ngapain kalian percaya omongan mereka? Hari Jumat kemarin aku masih ketemu Pak Haji. Tapi nyatanya aku sekarang sehat!” tegasmu, “apa pun yang terjadi, aku tidak akan menutup surau ini! Titik!”

“Tapi, bukankah kita juga tetap harus waspada?”

“Paling itu hanya masuk angin biasa. Orang masuk angin, kan, memang begitu gejalanya. Jangan terlalu dilebih-lebihkan!”

“Terserah kau sajalah, Pak Tua. Aku hanya menyampaikan pesan dari Pak Lurah,” kata lelaki berkupluk hitam yang miring dan terlihat tidak presisi dengan kepalanya.
Saat itu aku melihat kalian terus berdebat di halaman. Sampai akhirnya lelaki itu menyerah dan pamit pulang.

Pada malam harinya orang-orang masih berdatangan ke surau. Hanya saja tidak sebanyak biasanya. Jamaah salat tanpa masker dengan saf berdempetan. Seusai salat, ketika hendak bertadarus, tiba-tiba istrimu mengeluh pusing. Ia memutuskan tidak tadarus dan memilih istirahat di rumah. Lalu keesokan harinya, istrimu tidak terlihat salat di sini. Katamu, ia demam. Terkadang, aku juga mendengar suara batuk yang menggigil dari dalam rumahmu yang berujung pada erangan.

“Kenapa kau tak bawa istrimu ke Puskesmas, Pak Tua?” tanya salah satu warga selepas salat Subuh.

“Apa kau gila? Itu sama saja aku menyerahkan umpan pada mereka. Aku tidak mau keluar uang hanya untuk tes… apa namanya? Swab? Tidak! Aku tidak mau!”

“Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya, Pak Tua? Sudah lebih dari sepekan tapi istrimu belum sembuh juga!”

“Istriku hanya butuh istirahat dan minum obat. Aku bisa membelinya sendiri di apotik.”

“Tapi ini juga demi kebaikan kalian, Pak Tua. Aku hanya mengingatkan kalau virus itu benar-benar berbahaya.”

Kau terdiam mendengar ucapan orang itu. Dan keesokan hari ketika kami hendak menasihati lagi, kau lebih dahulu menghalangi. Bahkan ketika Bidan Desa, Pak Lurah, dan Pak Babinsa mendatangi rumahmu, kau malah mengusirnya.
Sementara semakin hari keadaan istrimu melemah. Dan jamaah di surau pun berkurang. Bahkan nyaris tak ada. Mereka meninggalkanmu. Tapi tidak denganku. Aku tak peduli apa kata orang. Aku tahu sebenarnya kau tak ingin menyakiti siapa pun. Kau hanya tidak suka ketika ibadahmu bersama warga di surau ini diganggu. Iya, kan?

Kau mengangguk. Ya, malam itu kau mengangguk di depanku. Barangkali karena kau bingung tak ada yang mau berbicara denganmu, kau bertanya banyak hal padaku. Lalu kau mengajakku ke rumahmu. Kulihat istrimu terbaring tak berdaya di sana. Kudengar napasnya tinggal satu-satu. Kau semakin sesenggukan.

“Apa yang harus kulakukan?” Kulihat matamu kelabu, “aku tak mau orang-orang itu membawa istriku. Aku tak bisa jauh darinya.”

Kau bersandar padaku. Aku bisa merasakan hatimu terguncang hebat. Aku bisa merasakan sentuhan tanganmu—sebagai orang tua—dan itu adalah momen yang selalu kunantikan. Sungguh aku terharu bisa sedekat itu dengan seseorang, meski kau bukan keluargaku.

Kubiarkan kau menumpahkan bebanmu. Tubuhku basah dan aku turut menangis bersamamu. Sampai akhirnya waktu itu, tepat pukul sebelas empat lima, Tuhan mengambil istrimu selamanya.

Sejak saat itu kau tak mau lagi menginjak suraumu. Orang-orang mulai bergunjing tentangmu. Dan ketika orang-orang semakin kebal dan virus itu mulai jarang diberitakan, perlahan jamaah di surau mulai kembali datang. Setiap di antara mereka ada yang mengajakmu salat, kau malah marah-marah. Bahkan pernah kau melempari mereka batu-batu di depan rumah. Mereka jadi takut padamu, dan memilih tak menggubrismu. Begitu pun aku.

Namun saat ini, kulihat ada yang sedang berusaha mendekatimu. Maksudku lelaki berbintil hitam tadi. Wajah lelaki itu tampak serasi dengan sikapnya yang cerewet. Sedangkan lelaki berkepala plontos memilih duluan hengkang dari pekarangan rumahmu.

Gelagat lelaki berbintil hitam itu tak bisa kutebak. Ia sedang menelepon seseorang. Dan sepertinya ia mengaktifkan tombol loudspeaker di ponsel sehingga aku tahu bahwa ia sedang berbicara dengan seseorang. Dari suara yang terdengar, aku bisa mengira bahwa yang dihubungi seorang perempuan tua. Namun aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Saat ini jarak kalian semakin dekat, dan ia terus saja ngobrol seolah tak peduli dengan keberadaanmu. Kau yang semula tak acuh, pada akhirnya menoleh ke arahnya. Setelah itu, ia menutup ponselnya.

Kulihat ia menyapamu, menceritakan sesuatu, dan sesekali menunjukkan ponselnya padamu. Ah, kukira lelaki itu terlalu percaya diri berbuat seperti itu. Ia sama sekali tidak takut jika akan dimarahi dan dilempari batu. Padahal ia bukan warga sini. Bagaimana kalau nanti kau ngamuk, dan ia melaporkanmu ke Polisi?

Tapi, tidak! Itu tidak terjadi karena yang kulihat kau justru tersenyum. Iya, kau tersenyum pada lelaki itu. Lalu dalam beberapa jenak, dia berpamitan pulang.

Entah apa yang lelaki itu bicarakan padamu dan itu menjadi pertanyaanku setiap hari. Karena setelah itu kau mulai mau mendekati surau ini. Kau membasuh tubuhmu. Seolah segala keterpurukan yang pernah memasung jiwamu turut luruh bersama air dari gentong itu. Ketika jam dinding itu berkokok seperti ayam, kau melangkah masuk dengan setengah membungkuk. Kauedarkan pandang ke sekeliling lantas meraih pengeras suara dan lantang mengumandangkan azan.

Suaramu bergetar. Menggelegar. Membuat para warga bermunculan di ambang pintu. Kau tersenyum setelahnya, menyapa mereka—seperti sebelum-sebelumnya.
Lalu ketika salah satu dari mereka mendekatiku, kudengar kau berseru.

“Jangan kausentuh! Itu sajadah kesayanganku!” (*)


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here