TIDAK BANYAK komunitas yang bernapas panjang. Begitu pembukaan Sutejo, pakar Literasi, dalam sebuah bincang komunitas bersama Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) STKIP PGRI Ponorogo di tahun 2019. Pernyataan ini bukanlah omongan tak berdasar. Nyatanya, kita seringkali menemukan komunitas yang tidak langgeng usianya. Atau jika pun langgeng, malah kita menemui adanya big boss (sebutan dari Maman S. Mahayana dalam buku Pengarang Tak Mati) yang justru mematikan potensi anggota. Sebutan big boss ini merujuk pada keberadaan senior dalam sebuah komunitas yang merasa ‘harus’ didewakan, anti kritik, hingga merasa superior. Hal ini tentu berseberangan dengan konsep komunitas yang seharusnya menjadi bengkel penggodokan kreativitas semua anggotanya.
Siapa yang tidak mengenal Yuditeha bersama komunitas Kamarkata-nya. Dari komunitas yang bermukim di Karanganyar ini telah lahir nama Panji Sukma (penulis Novel Sang Kering, pemenang DKJ 2019), Beri Hanna (pemenang DKJ 2022), Ian Hasan (finalis anugerah “Rasa” Ayu Utami), Ruly (cerpenis produktif) dan nama-nama lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Dari Indonesia bagian Tengah, kita juga mengenal komunitas Akar Pohon yang digawangi Kiki, Sulistyo, Tjak S. Parlan, Iin Farliani, Alliurridha, dan nama-nama lain yang malang melintang dalam khazanah sastra Indonesia hari ini. Dan Forum Lingkar Pena (FLP), komunitas yang digawangi Afifah Afra, Shinta Yudisia, dan lainnya telah memiliki cabang di berbagai daerah bahkan luar negeri. Telah banyak nama-nama dari komunitas FLP yang malang melintang dan berprestasi di tingkat nasional, katakanlah Shinta Yudisia yang masuk dalam karya terbaik DKJ tahun 2021, Mashdar Zainal yang produktif menulis cerpen di media nasional, Fahrul Khakim, dan masih banyak lagi (tidak bisa saya sebutkan satu-satu). Baik Yuditeha, Tjak S. Parlan, Kiki Sulistyo, Afifah Afra, dan tokoh lain, mereka tidak berdiri mengibarkan bendera ketokohannya sendiri. Namun, menjadi pijar yang mengidupkan teman-teman komunitasnya.
Mari kita sedikit menengok perkembangan kesusastraan di negeri Sakura. Dalam buku Pengarang Tak Mati, Maman S. Mahayana secara gamblang menjelaskan bahwa eksperimentasi, pembelotan pada tradisi, dan gerakan pembaruan, justru lahirnya dari sastrawan yang punya atau tergabung dalam komunitas. Sebut saja misalnya, Mori Ogai, Tayama Katai, Natsume Soseki, Mishima Yukio, atau Yasunari Kawabata. Mereka sengaja bergabung dan berkomunitas untuk membangun kesadaran sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan profesi dan sekaligus memantapkan peran kesastrawanannya dalam kancah kesusastraan Jepang. Nama mereka kini dikenal dalam sejarah sastra Jepang dan bahkan diakui keberadaannya di dunia. Kita setidaknya mengetahui bahwa karya mereka diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Termasuk Bahasa Indonesia.
Dari masa ke masa, peran komunitas dan sastrawan memiliki cerita tersendiri. Sudah banyak sastrawan kita yang besar bersama komunitas yang membersamainya. Kita tidak perlu berdebat apakah sastrawan itu yang menghidupkan komunitas. Atau malah keberadaan komunitas yang membesarkan sastrawan. Yang jelas, faktor kreativitas dan konsep diri seorang sastrawan tentu berpengaruh terhadap karirnya sendiri. Di samping lingkungan komunitas yang baik.
Pertanyaannya, bagaimanakah komunitas yang baik?
Sutejo menganalogikan komunitas sebagai rumah lebah. Tempat berbagi madu, saling membangun rumah yang kuat, tempat datang dan berkembang bersama. Namun sekali lagi, peran komunitas adalah wadah atau bengkel penggodokan kreativitas. Penentunya tentu masing-masing individu yang tergabung di dalam lingkaran itu. Maka dari itulah, diperlukan konsep diri dalam berkomunitas.
Rhenald Kasali memperkenalkan pentingnya konsep diri dalam buku berjudul “Self Driving” terbitan Mizan tahun 2014. Konsep diri ini berkaitan dengan mandataris kehidupan yang diemban manusia dari Tuhan. Rhenald mengibaratkan tubuh kita sebagai kendaraan. Maka diperlukan seorang pengendara yang baik untuk menuntun hidup kita ke arah yang ‘benar’. Celakanya, jika kita tidak bisa mengenali apakah kita menjadi pengendara dalam hidup kita atau malah menjadi penumpang. Sialnya, jika kita adalah penumpang yang buruk!
Maka dari itulah, kita perlu mengenali posisi diri kita. Pertanyaan terbaik dari tahap ini adalah apakah kita hidup berdasarkan prinsip hidup kita sendiri? Atau malah mengekor prinsip hidup orang lain. Mengenali diri sendiri sekaligus prinsip yang dimiliki sangat penting dalam berkomunitas. Tujuannya untuk menghasilkan komunitas yang sehat. Artinya, paling tidak kita harus bisa menjadi pengendara atau ‘driver’ bagi diri kita sendiri dalam berkomunitas.
Bagaimana caranya?
Ada empat prinsip seorang driver menurut Rhenald yang bisa kita aplikasikan dalam berkarya dan berkomunitas. Pertama, inisiatif. Yaitu, pola kerja tanpa ada yang menyusuh, berani mengambil langkah berisiko, responsif dan cepat dalam membaca gejala. Kegiatan berkomunitas seringkali diisi dengan diskusi buku dan kekaryaan. Anggota komunitas yang bermental sebagai driver, tentu saja tidak hanya menggunakan waktu kumpul komunitas untuk belajar atau membaca atau mengkaji suatu karya. Dia akan memanfaatkan waktu di luar waktu kumpul komunitasnya untuk mengembangkan diri. Bisa dengan memperkaya bacaan atau menambah jam latihan menulis.
Kedua, melayani. Yaitu kebiasaan memikirkan orang lain. Orang yang bermental melayani memiliki kemampuan mendengar dengan baik, mau memahami, peduli, dan memiliki empati yang tinggi. Prinsip kedua inilah yang akan mengikis atau bahkan menghapuskan lahirnya big boss dalam suatu komunitas. Selain mau mendengar atau membaca karya orang lain, dia memiliki gairah untuk terus menyemangati sesama anggota komunitas. Anti kritik bukanlah sifat melayani, bahkan haram!
Ketiga, kemampuan navigasi. Yaitu keterampilan membawa diri ke suatu tujuan. Dia tahu arah dan mampu mengarahkan, pemberi motivasi, dan mampu menyatukan tindakan. Seseorang berkemampuan navigasi yang baik mampu memelihara kehangatan komunitas. Kemampuan bernavigasi memang lazim dimiliki oleh ketua komunitas atau orang yang dianggap senior. Namun, sekali lagi, masing-masing individu wajib memilikinya. Anggota komunitas yang bernavigasi baik adalah dia yang tahu berada di tahap mana proses belajarnya. Dia tidak pelit dalam memberikan semangat. Dan selalu mengedepankan kebersamaan. Bukankah, komunitas adalah rumah? Bahkan ada yang mengatakan komunitas adalah keluarga kedua.
Keempat, tanggung jawab. Setiap anggota komunitas harus bertanggung jawab pada proses kreatifnya masing-masing dan keberlangsungan komunitas. Tingkat tanggung jawab seseorang bisa dilihat dengan jelas. Utamanya ketika datang sebuah masalah. Apakah dia suka menyalahkan orang lain atas kesalahan sendiri? Apakah dia suka berbelit dalam suatu permasalahan? Penilaian-penilaian semacam ini tentu saja dapat dilihat oleh siapapun. Maka, kita pun bisa melihat bagaimana kadar tanggung jawab seseorang pada keberlangsungan komunitas. Atau lebih spesifik, tanggung jawabnya pada proses kreatif.
Membincangkan perihal komunitas beserta naik turunnya tentu tidak bisa terlepas dari peran masing-masing individu. Sebuah komunitas bisa menjadi rumah lebah yang menggemukkan bagi masing-masing lebahnya, selama masing-masing anggotanya bisa saling nyengkuyung bareng. Dalam filosofi Jawa, ketika terlibat dalam lingkaran tertentu, kita mengenal pepatah: mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, lan wajib melu angrungkebi. Kurang lebih artinya berani mawas diri, merasa ikut memiliki, wajib ikut menjaga/membela. Mawas diri menjadi poin pertama. Artinya, introspeksi diri atau merenungi keberadaan diri. Maka di situlah pentingnya konsep diri dalam berkomunitas. Begitulah! []Ponorogo, Oktober 2022
*Sapta Arif. Berkarya d(ar)i Ponorogo. Menjadi redaktur esai di lensasastra.id. Buku terbarunya “Bulan Ziarah Kenangan”.