Untuk Sebuah Surga

0
67

“Kenapa…?! Kenapa Emak selalu menghalangiku mendapatkan jodoh? Aku 19 tahun! Mau jadi apa aku kalau tak kawin cepat-cepat? Aku tak ingin tidak laku, Mak.”
“Aku tahu, kamu sudah dewasa. Sudah pantas dikawinkan. Tapi—”
“—tapi apa, Mak?!!”
Sehari-hari, jika tidak meributkan soal dagangan pisang goreng atau baju kaus mereka yang jarang di pasar, Mega dan Emak berdebat soal lelaki.

Emak rasa, sejak kecil, anak gadis tunggalnya itu terlampau haus kasih sayang seorang Abah. Mungkin kering sudah sanubarinya akan cinta seorang lelaki. Memang, Mega kecil hampir tak pernah mengeluh. Namun imbasnya baru terasa sekarang.
Mega kecil pernah bertanya, “Mak, Abah di mana sekarang?”
Senyuman, yang dengan sekuat tenaga berusaha Emak munculkan, terlukis juga di bibirnya. “Abahmu sudah tenang di sana, Ga.” Meski Mega kecil mengendus sesuatu yang dipendam dalam oleh sang bunda, gadis cilik tak begitu peduli.

“Lelaki seperti Riyadi terlalu malas untuk kamu jadikan suami, Nak. Anak kalian kelak mau dikasih makan apa?” kata-kata Emak terdengar khawatir.
Sejak awal, Emak memang tidak suka dan tak menyetujui hubungan Mega dengan Riyadi, si tukang ojek. Wanita tolol mana yang mau menerima pinangan pria semalas seperti dia? pikir Emak. Kalau tidak kelayapan, lelaki macam Riyadi biasanya suka main perempuan. Uang hasil ojeknya Riyadi gunakan untuk main taruhan.

“Suatu saat Bang Riyadi pasti berubah, Mak! Aku yakin itu…” elak Mega. Malu dan sewot bersarang di dada. Emak benar, itu memang nyata adanya.

Lalu keadaan berubah. Mega dekat dengan Roki, pemulung yang tak pernah merasakan bangku sekolah. Jelas, tak Emak setujui. Kelakuan Roki hampir sama dengan Riyadi. Penolakan Emak tak berhenti sampai di sini. Pun, ketika pada Herman, Mega jatuh hati.
“Jika dia rajin sholat dan sabar orangnya, Emak ikhlas melepasmu. Tapi, Ga, Herman senang mabuk, kamu harus tahu itu. Emak takut, nantinya kamu bakal kenapa-napa…” kekhawatiran begitu pekat menyelimuti batin Emak.
“Alasan! Emak cuma tidak suka melihat aku bahagia, kan?”
Mega kerap tak terima dengan perlakuan Emak terhadap ia dan pacar-pacarnya. Kalau bukan menjadi ibunya, wanita itu pasti sudah tak Mega pedulikan, pergi saja, kata hati Mega. Namun, Mega masih ingin meraih surga. Surga yang berada di bawah kaki renta Emak, sang ibunda.

Tiga pria sudah yang Emak tolak. Bukan mentah-mentah telak, melainkan melalui nasihat, biar sedikit-sedikit Mega sadar kelak.
Terkadang, Mega merasa Emak terlalu pemilih. Tiap orang yang coba mendekati Mega (atau sebaliknya) hanya sedikit yang dapat tanggapan manis. Akibatnya, para lelaki seperti mereka cuma berkomentar, “Kenapa sih Emakmu tidak bisa membiarkan kita enak pacaran?”
Mega merasa, ia dikurung. Dalam sebuah penjara berkedok kasih, ia terkungkung. Kadang ia menangis, ingin terbebas dari tirani kasih Emak yang diam-diam menjerat lagi memasung. Oleh sakit dan lara, hati Mega terkerudung.

Tiga minggu lagi bulan puasa. Sejak kecil, Mega telah Emak ajarkan untuk tak memihak, apalagi mempersoalkan perkara NU atau Muhammadiyah. Mega hanya Emak suruh ikut saja keputusan pemerintah. Pernah suatu kali Mega heran, mengapa A’am, sahabatnya, berpuasa duluan sebelum dirinya dan berlebaran lebih awal sebelum ia. Ternyata A’am jemaat Muhammadiyah. Mau apalagi, kepercayaan tak bisa diubah. Yang penting mereka tetap rukun akur, bersahabat, bukan saling sergah.

Semakin dekat dengan Bulan Seribu Bulan, makin dekat Mega dengan Arif, pemuda kaya yang ia kenal di dekat pangkalan ojek. Setahu Emak, menurut pengamatan ditambah kabar burung yang tersebar, Arif dapat cipratan harta warisan ayahnya. Ia sendiri, si Arif itu, adalah seorang pedagang tanaman hias.
“Yang penting mapan, bertanggung jawab, dan bisa bikin Mega bahagia, kelak. Ya kan, Mak…?” ada sebuah harapan manis yang Mega gantungkan.
“Iya, Mega… tapi—” omongan Emak terputus, Mega keburu meraih tangan kanan Emak, menciumnya dan lantas berbalik pergi dengan paras berseri. Rencananya, selepas maghrib, Mega akan diajak ke pertunjukan dangdut.
Yang kamu tahu, bisa saja tidak seindah kenyataan, Anakku…

Biasanya, sehabis sholat tarawih, Susi tadarus barang satu hingga dua juz. Malam ini ia sudah khatam juz ke-7. Al-Maidah telah tamat ia baca, berganti kini al-An’am.
“Sesungguhnya, mereka mendustakan kebenaran, tatkala kebenaran itu sampai padanya…” Arti ayat terakhir baru saja Susi baca.
Masjid an-Nur melengang. Sebagai jamaah yang terakhir selesai bertadarus, Susi terbiasa menutupi semua gorden dan memastikan bahwa semua lampu masjid tak menyala. Setelah mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat, Susi serahkan kunci masjid pada Habibah, kawan pengurus masjid.

Nun di jembatan yang nantinya bakal Susi lewati, berkumpul pemuda-pemudi diiringi genjrengan gitar, sedari tadi. Mereka berpuasa, mereka berbuka. Namun enggan bertadarus apalagi tarawih. Dengan kekuatan hati yang teguh, Susi melangkah cepat menyusuri jembatan. Diriku terlalu tua buat mereka goda, pikir Susi sedikit ganjen, membuatnya ingin menertawakan diri sendiri.

“Balikin, oh-oh balikin… hidup gue yang dulu lagi…” seloroh mereka dalam nyanyian sumbang, diikuti sederet canda dan komentar. Ada cukup banyak orang di tempat itu, 8 orang. Tiga di antaranya pemudi, cewek-cewek bercelana cekak dan jaket. Di tengah mereka, mata Susi menangkap sosok seorang pemuda yang ia kenal—

Astagfirullah, itu kan Arif?!
Arif—dalam penglihatan Susi—tengah bercengkerama dengan salah satu pemudi. Astaga! Anaknya, kah?
“Tenang, abang cuma main-main sama si Mega. Buat latihan. Lama nggak pacaran.” Arif lebarkan senyum nakal pada cewek yang bergelayut manja di dekatnya.
“Kalau sama saya, Bang?”
“Hmmm… gimana yah?”
“Iih, Abang buaya daraat…!” keduanya tertawa. Makin erat pelukan Arif. Tangannya nakal bertengger di pinggang.
Suara-suara mereka masih bisa Susi dengar. Ia berjalan makin cepat menjauhi euforia itu. Seiring langkahnya, ia merintih dalam hati,
Anakku, betapa sedih hatimu jika kamu tahu… Ia menghela napas. Masygul.

“Aku tidak mau, Mak! Bang Arif itu orangnya baik. Dia perhatian sama Mega. Kenapa sih, Emak suruh Mega menjauhi Bang Arif??” tak habis pikir Mega, hari itu.
“Mega, Emak hanya tidak sreg saja. Baiknya, kamu jauhi Arif dari sekarang—”
“Kenapa sih, Mak?! Kenapa?” Marah dan kecewalah Mega. Napasnya memburu. Susah payah ia bendung emosi.
Tak akan kamu percaya apa yang akan kukatakan, Mega…
“Jawab, Mak…” mata Mega mulai berkaca-kaca. Ingin menangis, tapi ia tahan. Tak ingin puasa ia batalkan.

Emak tertunduk dengan wajah muram. Luka. Telah ia lakukan sebuah kesalahan, membuat hati sang ananda karam. Seharusnya tidak siang ini. Mungkin nanti habis maghrib… Tapi, maaf, Nak, aku terlalu gegabah.
“Aku mau ke pasar, Mak. Bantu-bantu A’am. Assalammualaikum…” Mega pergi dengan langkah cepat. Sembari melangkah, satu-dua tetas airmata pun tumpah.

“Di sini saja ya?”
“Iya,” Mega mengangguk dan tersenyum sumringah. Saat itu malam minggu. Setelah menit-menit sholat isya dan tarawih, pojok Alun-alun menjadi salah satu tempat sepi yang nyaman bagi kawula muda berpacaran. Arif merangkul Mega, sementara rokok mengepul dari mulutnya. Mega nikmati maskulinitas Arif. Baginya, orang lelaki tak merokok berarti tidak jantan.

“Sebenarnya, apalagi yang kurang dari Abang, Ga?”
Mega menggeleng. “Tak ada, Bang. Kenapa?” Tampan, romantis, dan kaya. Apalagi? Meski cuma gara-gara warisan. Yang penting kaya…
Arif mulai mencopoti kancing kemejanya satu per satu. “Ufff… di sini panas ya?” saat itulah ia benar-benar melepas balutan kemeja yang ia kenakan. Mega terkesiap. Padahal angin malam berembus menggigilkan bulu kuduk. Pojok Alun-alun cukup sepi dan gelap. Meski begitu, Mega nikmati pemandangan Arif yang telanjang dada. Ada satu dua titik keringat yang menetes di leher pria itu.

“Mega, sini… dekat Abang,” uluran tangan Arif meraih pundak Mega. Pelukannya mendekatkan kepala gadis manis itu ke dada bidangnya.
“Ah, Abang,” Mega coba menolak. Ia ingat, ini Bulan Puasa. Ramadhan. “Nggak ah, di sini saja…”
“Ayolah, Mega, Abang ingin memelukmu. Abang ingin bercerita sesuatu—”
“Tidak harus sambil berpelukan, kan?” Mega mengelak kembali. Ada seoktaf nada pemaksaan dalam kata-kata Arif, baru saja.
“Jadi kamu tidak mau?!” Arif kini tak lagi menahan buncahan nafsunya. “Dasar perempuan sok alim. Malam ini, kamu akan kunikmati… Hahahaha!”
“Bang! Bang! Jangan, Bang!!!”

… Izinkan ia menemukan seseorang yang pantas buatnya, Yaa Baari’… Perkenankan seorang perkasa datang menjaganya, tak sekadar mendampingi bersama, teruntuk anak hamba, Yaa Hafiizh… Meski dari rotan dan bambu, bangunlah istana keberkahan nan megah bagi ia, Yaa Majiid… “Rabbanaa atinaa fiddun yaa khasanah, wa fil aakhirati khasanah, wa qinaa adzaabannaar…”
Dalam doa, Susi tak henti-hentinya mengucap permohonan pada Allah, al Mujiib. Baginya, mendoakan si ananda adalah wajib. Tak peduli bila putrinya tak membalas.

“Sudah, sudah, Ga…,” A’am mencoba menenangkan. Air mata sang sahabat bercucuran. Luka hatinya terlanjur menganga tak terperi. “Aku tak percaya Bang Arif ternyata… ternyata—”
“Aku kecewa, Am!” Mega mengeluh di tengah derai airmata dan napasnya yang sesenggukan. “Kenapa aku selalu kecewa, Am? Kenapa??”
“Sssttt…,” tangan A’am mengucap kepala Mega, lembut.
“Aku menyesal, Am… Menyesal!”
“Ga, maaf, bila aku bertanya. Bagaimana dengan Emak?” gurat keraguan terpahat pada mimik A’am. Mega semakin dalam membenamkan kepala di pelukan sahabatnya itu.

Firman Allah, Mak, juga sabda Rasul junjungan kita, surga itu di bawah kakimu. Di bawah kaki Emak. dulu sempat aku bingung. “Lantas, Emak menginjak-injak surga dong?” Tentu saja tidak, Emak menjawab sambil senyum. Aku baru sadar artinya sekarang, Mak. Ternyata sulit menanggung beban sebuah surga yang berada di bawah telapak kaki. Setelah belaian Abah untuk kita sirna karena beliau tiada, Emak harus menanggung semuanya. Setelah ribuan hari kita lewati sudah tanpa beliau jadi tulang punggung buat kita, surga itu tampak semakin indah. Menawarkan janji-janji manis, menawarkan tiket ke sana, setelah kita berpulang kelak, Mak. Aku ingat, Emak pernah bercerita bahwa pada suatu malam Emak bermimpi menggandengku memasuki salah satu gerbangnya.

Namun, sebegitu sulitkah meraih surga yang berada di bawah telapak kakimu? Haruskah tergantikan dengan penjara yang Emak beri padaku? Emak, aku terpenjara karena surgamu. Emak, aku terkekang karena surgamu.
Mega menangis terpuruk seorang diri di atas kasurnya yang lapuk. Air matanya berceceran, basahi pipi, leher, dan kaus usang yang Mega kenakan. Sakit. Cuma itu yang ia rasakan. Membuat Mega tak berdaya sekaligus menyesali.
. . .
“Tolong! Bang, jangan, Bang! Kita belum kawin! Belum muhrim!”
“Hah, persetan! Aku tak akan mengawinimu. Aku hanya akan menikmati tubuhmu!”
“Jangan, Bang! Tolong! TOLONG…!”
Untung ada seseorang yang mendengar. Bersama beberapa orang lain, mereka memergoki perbuatan Arif terhadap Mega.
“Heh! Dasar bajingan! Lepaskan dia!” hardik salah satunya.
. . .
Emak, maafkan aku. Tak perlu menunggu lebaran tahun ini, aku ingin bersujud di kakimu yang selalu membawahi surga.

Malam setelah tarawih, hujan di luar cukup lebat.
“Bukan salahmu, Nak. Memang takdir kita merana.”
“Andai Abah ada di sini, ya, Mak?” Mega menatap sang bunda dengan senyum yang bersanding harapan.
“Nak, Abah sudah tenang di sana. Sudahlah, kewajiban kita mendoakan beliau.” Emak bahkan tak kuat menahan sebuah kedongkolan dalam dada. Mereka kembali berpelukan.
Mendoakan? Bahkan aku sulit untuk melupakan hari itu, Mas.
. . .
“Siapa dia, Mas?! Siapa?!”
“Kamu tahu apa?!”
“Kenapa Mas khianati cinta kita? Tega Mas bercinta dengan wanita lain!”
“Hahahahahaha, bahkan aku ingin menikahinya. Orangtunya menjanjikan harta. Daripada hidup denganmu, aku merana!”
Lelaki pergi. Melangkah mantap keluar. Meninggalkan dua orang perempuan lemah yang masih mengharapkannya kembali. setelah berkemas dan mencangking tas kumalnya. Masih dengan tawa licik yang buaya.

“Mas… Mas, bagaimana dengan anak kita?! Mega membutuhkanmu, Mas!”
“Heh!” dengusnya, “urus saja sendiri. Itu anakmu. Bukan anakku. Heh, bisa saja kamu nyeleweng dengan lelaki lain, kan?!”
“Astagfirullah!”
“Sudahlah, sebelum kunikahi dia, akan kuceraikan kamu. Tak perlu khawatir gono-gini, ambil semuanya. Toh aku akan jadi orang kaya! Hahahaha!”
“Mas…! MAS!” dalam hujan, ia menangis. Mengaduh. Hancur. Tak sanggup menjalani hidup yang menanjak miris.
. . .

Andai kamu tahu. Andai kamu mengerti semua, Mega… Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri agar kisahku tak berulang padamu, Anakku.
Dua tetes airmata meluncur jatuh di kedua pipi Emak.
“Emak, kenapa menangis?” Mega heran, Emak kaget. Isakannya tepergok oleh putrinya.
“Ini tangis bahagia. Emak bahagia, kamu masih bisa mempertahankan kesucianmu…”
Sepanjang malam itu mereka berdua bertadarus, berzikir, dan bersitighfar. Memaknai apa yang telah terjadi. Mengagungkan Asmaul Husna Sang Ilahi.
Yaa Salaam, berikanlah kesejahteraan bagi anak hamba kelak.
Aamiin.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here