Purnama Kedua Belas

18
299
purnama kedua belas

Kutatap matanya yang telaga. Mata tempat aku merajuk saat penat mendesak dan mengajakku beristirahat. Namun sekarang, ada kabut menggumpal di sana. Pekat.

“Mas menyesal sekarang?” tanyanya redup. Masih dengan sisa isaknya.

Aku menggeleng pelan, mencoba mengusir keraguan yang datang mengendap-endap. Masihkah ada setitik harapan untukku? Setitik saja! Agar mimpi-mimpi yang sempat kami renda di tiap malam menjelma.

Wajah Re sayu. Mungkin dia terlalu letih berkelahi dengan waktu. Kenyataan yang kami hadapi umpama siang yang tiba-tiba kelam. Sedih yang menampar-nampar. Dan kini Re kalah dalam perkelahiannya itu.

Namun begitu dia tetap cantik. Aku tak pernah berhenti memujinya sebab dia memang bidadari yang diciptakan khusus untukku. Suaminya. Biasanya wajah cantik Re akan merona merah saat kupuji. Dia menunuduk dalam, sambil memilin-milin ujung bajunya. Dan begitu jariku menjentik ujung hidungnya, tawanya lepas, menyuguhkan bahagia.

Ah, rinduku bertalu-talu. Sebab wajah cantiknya kini sedang sayu.

“Memilikimu adalah cukup, Re… kau sudah memberikan lebih dari yang kuminta,” hiburku sambil menyentuh kedua pipinya yang basah.

Namun tangan Re buru-buru menepisnya. Dia lalu menghapus kristal bening itu dengan punggung tangannya. Kasar. Serabutan.

Aku menghela nafas. Jika sedang marah, Re kadang memang seperti anak kecil. Dulu saat aku pulang telat dan lupa tidak membelikan pesanannya, Re merajuk semalaman. Dia memeluk guling dengan punggung menghadap ke belakang. Jadilah kami tidak tidur hanya karena salah paham.

“Saat ini Mas bisa bilang begitu, tapi bagaimana nanti saat usia perkawinan kita sudah berbilang tahun? Mas pasti sangat menginginkan anak itu dan menuntutnya kan?”

“Menuntut apa? Bukankah ada yang lebih berkuasa atas diri kita?”

Re langsung membalikkan badan, bahunya berguncang. Ah, mungkin nada suaraku mulai meninggi.

“Re…!” Aku menyentuhnya lembut. Sungguh, di saat-saat seperti ini aku ingin mendekap Re, meletakkan kepalanya di dada dan membiarkannya menangis sepuasnya di sana. Tapi Re sedang tidak ingin kusentuh.

“Re…!” panggilku sekali lagi, dengan suara setenang mungkin.

Dia bergeming. Hanya isaknya yang masih membiru. Mencipta syahdu yang semakin kelu.

Sementara jendela kamar kami menangkap purnama yang begitu sempurna. Ranting pohon mangga di samping kamar menusuknya.

Ah, Re…. lihatlah! Biasanya kau akan terpekik saat mendapati purnama di jendela kita. Dan bibirmu yang mungil itu tak henti bercerita tentang bidadari di sana bersama kucingnya. Bahkan kadang kau berandai-andai menjadi bidadari itu.

Re, aku rindu keceriaanmu itu!

*****

Pagi hari usai pernikahan kami.

Re tersenyum melati. Garis wajahnya nampak kelelahan dengan segala pernak-pernik pesta yang sangat menyita. Namun ada rona bahagia yang sempurna. Seperti juga rasa yang bersemayam dalam dada sebab cinta telah menemukan muaranya.

Kami adalah sepasang sayap, yang tak akan bisa mengepak jika tak kompak. Kami juga separuh nafas, yang tak kan bisa hidup jika tak bersama berdegup. Kami adalah sepasang jiwa… kami adalah cinta.

Tak ada kata yang sempurna untuk melukiskan rasa itu. Kami sedang takjub dengan ke-Mahaan-Nya.

Maka hari-hari setelah itu selalu luruh dengan warna rindu dan cinta. Rumah kontrakan mungil kami menjelma hamparan taman bunga. Re selalu bermain di sana, memetik sekian bunga dan  merangkainya menjadi berpuluh-puluh bahkan beratus tangkai. Setiap hari.

“Mas cepat pulang yaaa…!” ujarnya di samping pintu saat melepas keberangkatanku ke tempat kerja.

Re mencium punggung tanganku. Aku mencium keningnya. Rutinitas setiap pagi di hari kerja.

“Hati-hati di rumah ya,.” Sahutku sambil memanaskan mesin motor.

Re mengerjap, lalu mengangguk mantap.

“Pingin dimasakin apa?” tanyanya lagi.

“Semua pasti enak,” Jawabku, “Apalagi kalau makan bareng Re!”

Re mengerucutkan bibirnya. Matanya mengerling manja.

Setelah mengucap salam, aku pun berlalu meninggalkannya sendiri. Kulihat dari kaca spion, Re tidak akan meninggalkan halaman sebelum motorku berbelok di tikungan. Tatapannya menemu harap yang sungguh. Doa yang utuh.

Lalu saat pulang dari kantor, Re akan menghadangku dengan sambutan mutiara. Tangan mungilnya buru-buru meraih punggung tanganku dan menciumnya. Lalu tasku pun berpindah ke tangannya. Sambil bercerita tentang harinya, dia akan menyiapkan peralatan mandi atau membantuku melepas kemeja.

Selalu ceria. Tak ada duka sebab cinta masih utuh milik kami.

Malam kami penuh mimpi tentang suara anak-anakyang ramai bermain dan belajar. Mimpi tentang rumah takwa yang ingin kami bangun. Mimpi tentang surga yang akan kami masuki sebab anak shaleh yang kami besarkan.

Mimpi…  yang ingin segera kami wujudkan!

“Mau anak berapa?” tanyaku suatu waktu, tepat di usia sebulan pernikahan kami.

Re mengangkat telapak tangan kanannya. Kelima jarinya merenggang, diiringi dengan mata yang mengerjap jenaka.

“Lima?” tanyaku memastikan.

Dia mengangguk. “Mas ingin berapa?”

Aku pura-pura mengerutkan kening. Re nampak menunggu-nunggu jawabanku.

Lalu tiba-tiba aku mengangkat kedua telapak tanganku.

“Haaaa? Sepuluh?” bibirnya membulat.

Aku tertawa lepas. Sepuluh bukan keinginan yang keluar dari lubuk hatiku, tapi sekadar menggoda Re. Toh aku akan setuju dengan keinginannya. Lima tak masalah.

“Terlalu banyak, Mas!” Dia merajuk. Tangannya menarik-narik kerah bajuku.

“Ya deh…,” jawabku sambil menekuk jempol kananku.

Re merengut, “Sembilan masih terlalu banyak!”

Aku menekuk telunjuk kananku.

“Delapan juga masih terlalu banyak….” ujarnya.

Aku mesem. Kembali kutekuk jari tengah dan jari manisku sekaligus.

“Kok enam? Allah kan ganjil dan suka angka ganjil!”

“Terus berapa dong?” godaku sambil mencubit pipinya. Dia berusaha menghindar. Aku mengejar.

“Lima, Maaas…!” Dia berkelit ke tepi ranjang. Dari tempat itu kami bisa menatap luar kamar melalui jendela. Purnama sedang indah. Re terpesona, geraknya terhenti.

Maka…. Hup! Aku menangkapnya, dia meronta.

Lalu kubisikkan pelan di telinganya, “Terserah Allah saja ya… sebab kita hanya bisa berencana,”

Dia mengangguk mantap. Kami pun lalu melukis mimpi itu. Bernyanyi dzikir dalam kepasrahan untuh pada-Nya. Dan purnama semakin jelita di mata kami.

*****

“Re sudah hamil, Ka?” tanya ibu melalui telpon padaku. Pertanyaan itu seakan menyadarkanku, bahwa ada yang kurang dalam pernikahanku.

“Belum, Bu…. Baru lima bulan menikah, masih banyak kesempatan,” jawabku tenang, sebab aku tahu istri temanku baru hamil setalah dua tahun menikah, bahkan ada yang bertahun-tahun menunggunya.

Dan pertanyaan-pertanyaan serupa pun coba kulupakan. Aku dan Re telah berusaha. Mungkin Allah masih ingin kami selalu melukis cinta berdua, tanpa diganggu rengekan bayi mungil yang minta ASI atau popoknya basah minta diganti. Mungkin Allah masih ingin aku mengumpulkan cukup rezeki untuk biaya persalinan Re. Mungkin Allah menganggap kami masih belum siap menjadi orang tua. Mungkin amalan ibadah kami masih belum cukup untuk ‘ditukar’ dengan seorang anak.

Mungkin….

Hingga malam itu, purnama keenam yang kami lewati berdua. Itu berarti enam bulan usia pernikahan kami. Saat hari-hari Re masih menyisakan waktu jeda untuk tidak sholat dan puasa. Dia begitu risaunya. Aku mendapati wajahnya yang muram ketika tamu rutinnya itu datang.

Aku coba menghiburnya, dengan cerita kesabaran Nabi Ibrahim yang mengharap Ismail. Juga kisah-kisah pelipur lara, yang ujungnya membawa kami pada lautan syukur berlebih. Ada banyak nikmat yang kadang kami lupa.

Re pun kembali ceria.

Namun adakalanya kudapati, pupil matanya membesar saat melihat iklan susu bayi di televisi, yang tentu saja juga menghadirkan bayi lucu dan menggemaskan. Helaan nafasnya terdengar saat iklan itu usai.

Ah, Re… aku tak tega jika melihatmu begitu. Tenanglah, masih ada waktu untuk kita terus meminta.

****

“Mas, kalau kita punya anak shaleh, kita bisa masuk surga lebih mudah ya?” Tanya Re di suatu malam, sambil menikmati purnama kedelapan yang kami lihat dari jendela kamar.

Ah, pertanyaan itu lagi.

“Kan ada amalan lain yang juga bisa membawa kiita ke surga,” hiburku. Aku tahu arah pembicaraan Re. Matanya tak pernah bisa berdusta. Aku juga sangat menginginkannya, Re…. Sangat!

“Ya… setidaknya kalau punya anak yang shaleh kan sudah ada jaminannya.” Sahut Re sambil tetap menatap bulan penuh.

Aku menghela nafas. Mendengar keinginannya seperti menerima sekian beban di pundak.

“Re pingin segera ada janin di rahim ini, Mas…” ucapnya lirih sambil menunduk, mengelus perutnya yang masih saja langsing.

“Semua ada saatnya, Sayang…” kubelai kepalanya, menariknya dalam dekapan.

“Dan menunggu itu terlalu menyakitkan,” isaknya mulai tertahan.

Angin bertiup pelan, menggerakkan dahan pohon mangga yang mulai berbuah. Kalau sedang ngidam, pasti Re akan menghabiskan mangga-mangga muda itu dengan semangat, begitu ujarnya beberapa hari kemarin.

“Sayang Re tidak sedang ngidam ya Mas, jadi mangga mudanya dicuekin aja,”

Aku hanya menanggapinya dengan senyum waktu itu. Tidak semua orang ngidam pingin makan mangga muda. Bahkan ada yang punya permintaan aneh-aneh. Jika kelak Re hamil, aku tak ingin dia begitu. Aku mau yang wajar-wajar saja.

Atau seperti pertanyaannya beberapa waktu lalu,

“Rasanya hamil seperti apa ya?”

Lalu dia memasang beban di perutnya, berjalan seharian di rumah dengan beban itu sambil sesekali menggodaku. Tawanya jenaka, namun aku menangkap duka di baliknya. Ah Re… aku pun menginginkannya.

“Kita bikin nama buat anak kita dulu, yuk!” ajakku memecah kesunyian.

Re menoleh. Matanya mengerjap, lalu senyumnya sedikit mengembang.

“Re pingin kasih nama apa?” pancingku.

Dia mengerutkan kening. “Kalau Mas ingin ngasih nama apa?” Re balik bertanya.

Aku pun menyebutkan deretan nama untuknya. Re lalu merangkainya menjadi nama-nama indah. Kami petik dari barisan nama penghuni surga. Purnama menyaksikan kami begitu riuhnya menamai sesuatu yang belum pasti kapan hadirnya.

*****

Re menjerit tertahan. Matanya terpejam sedang tangannya mendekap perut. Keringatnya mengalir, membasahi keningnya yang berkerut-kerut menahan sakit. Bibir mungil yang biasa tersenyum ceria itu nampak tak henti bersenandung dzikrullah.

Aku menatapnya takjub. Ada apa? Kenapa juga taxi yang kutelpon tidak kunjung tiba. Aku ingin segera membawa Re ke rumah sakit.

“Mas, sakit sekali….” desah Re.

Aku menatapnya galau. Andai rasa itu bisa berpindah, biarkan aku saja yang merasakan sakitnya.

“Sabar ya…” hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Lidahku kelu. Tanganku bergerak menyusut keringat, mengelus lengan yang  memegang kencang perutnya.

“Allah…!” desis Re. Tubuhnya berguling ke samping. Meringkuk.

Tatap mataku tak lepas dari setiap gerak wajahnya.

Lalu sekian kebahagiaan kami yang bergulung-gulung, sekarang seperti terbendung. Melihat Re dalam kesakitan yang sungguh, aku dilempar pada semesta keluh. Namun bibit-bibit harapan itu kumunculkan, bahwa memang harus ada sekian peluh untuk bahagia yang utuh.

Dan mungkinkah ini saatnya? Kami mendapatkannya setelah dua belas purnama?

*****

Sejak malam itu tangis Re tak akan pernah berhenti. Seperti juga aku yang kini terpuruk dalam kenyataan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Uh! Kukepalkan tangan meninju udara. Masih sanggupkah aku bertemu matahari esok pagi? Sedang harap dan cita-cita yang selalu menyemangati itu telah sirna?

“Saat ini Mas mungkin bisa bilang begitu, tapi saat usia perkawinan kita sudah berbilang tahun? Tidakkah Mas sangat menginginkannya dan menuntutnya?”

Kalimat Re terngiang.

Bagaimana aku bisa menuntut untuk sesuatu yang kita sendiri tak punya kuasa, Re. Jika mampu pun aku ingin Allah mengubah garis takdirnya untuk kita. Tapi bukankah segala yang Dia tetapkan adalah baik?

Re masih tergugu. Operasi pengangkatan rahimnya beberapa waktu yang lalu telah melenyapkan mimpi-mimpi yang kami renda sejak malam pertama.

Sementara jendela kamar kami menangkap purnama yang begitu sempurna. Ranting pohon mangga di samping kamar menusuknya. Purnama kedua belas dan seterusnya yang akan kami nikmati berdua. Ya, hanya berdua saja! Sebab mimpi kami tentang riang anak-anak yang akan membawa kami ke surga telah sirna.

*****

Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNS

Buku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.


Previous articleTips Asyik Bikin dan Kelola Mading
Next articleSeratus Bunga Itu Gugur Dari Tangkainya
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

18 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here