Sementara sudut kepalaku tengah mengenang-ngenang kebersamaan dengan Emak di dapur yang hangat, tubuhku menggigil bergelung selimut di sudut kamar yang lembab. Tidak ada yang bisa kuingat selain ingatan-ingatan itu. Bagaimana menyebutnya, entah rasa sakit atau rindu, atau keduanya, rasa sakit karena kerinduan. Pandangan nanar mataku tidak lepas dari lima buah sapu ijuk dengan gagang panjang berwarna merah marun yang tergantung di gantungan baju di balik pintu kamar. Berkabut, tetapi aku tak sanggup mengakhirinya.
Suara emak memanggil-manggil begitu lantang dari arah matahari yang hampir tenggelam. Deras air sungai yang mengalir di kaki bukit bahkan tak mampu mengalahkan lengkingan teriakan Emak. Empat orang temanku yang lain bergegas naik ke batu besar di seberang sungai mengambil sandal jepit dengan lumpur kering yang melekat, meninggalkan sepasang sandal milikku yang tak beda bentuknya. Baju muslim dan baju koko yang mereka kenakan ketika mengaji di mushola dekat rumah telah basah oleh air sungai. Masih tersisa warna kecoklatan bekas lumpur yang tak bisa hilang begitu saja dibilas air sungai.
“Sawitri! Pulang!” Nada suara Emak naik pada oktaf paling tinggi. Teman-teman sudah berhasil melarikan diri terbirit-birit meninggalkan sungai, tersisa aku yang dengan malas keluar dari air.
Satu hentakan gagang sapu mendarat di betis ringkihku sebelah kanan begitu aku naik ke seberang sungai. Aku mengernyit kesakitan tetapi tidak berani bersuara.
“Di tempat lain anak-anak perempuan akan berdiam diri di rumah, bukan kelayapan menjelang maghrib.” Sekali lagi gagang sapu itu mencium betisku semakin keras.
Ingatan lain muncul bergantian. Hari Ahad, matahari sedang terik-teriknya. Menjelang ujian kelulusan Sekolah Menengah Pertama, aku dilarang tidur siang karena harus belajar terus menerus. Kata Emak, aku harus pandai, aku tidak boleh seperti Emak yang menurutnya kurang pandai sehingga mengalami banyak hal menyulitkan.
Tadinya aku tidak paham maksud Emak. Sampai pada siang itu, pintu terus diketuk-ketuk. Semakin kencang, sampai lebih seperti terdengar digedor-gedor di telingaku. Kupikir Emak sedang tidak di ladang, atau ke rumah tetangga, atau ke pasar. Emak tidak pernah bilang mau ke mana setiap kali meninggalkan rumah sebentar. Aku meninggalkan meja di ruang tengah yang kugunakan untuk belajar menuju ruang tamu. Ternyata Emak tengah berdiri di balik jendela di ruang tamu, sesekali mengintip ke luar dari balik gorden.
“Ada apa?” Aku penasaran. Emak ada tetapi tidak membukakan pintu.
“Sssst… diamlah.” Emak berbisik sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir.
Tetapi pintu tidak hanya digedor, semakin lama seperti tengah hendak didobrak. Benar saja, tak butuh waktu lama karena kondisi rumah Emak adalah rumah peninggalan Mbah Putri, dan belum pernah diganti pintunya, dengan mudah pintu itu ambruk ke dalam.
Sontak aku dan Emak terkejut.
Ketika Bapak masih tinggal di rumah itu, kejadian gedor pintu bukan hal yang pertama kali terjadi. Sama seperti Emak, Bapak menyuruh aku dan Emak diam ketika bertanya itu siapa. Dengan membawa sapu ijuk merah marun yang panjang gagangnya, Bapak keluar. Memukul-mukulkan sapu ijuk pada laki-laki muda yang mengenakan jaket kulit tipis dan helm yang masih terpasang di kepalanya. Aku tidak heran melihat temperamen Bapak, tetapi aku cukup terkejut karena Bapak melakukannya kepada orang lain.
“Berapa hutang Bapak pada orang-orang itu?” Memberanikan diri bertanya pada Emak sebenarnya sama saja bunuh diri, karena Emak tidak suka jika putrinya ini bertanya hal-hal yang tidak perlu. Meskipun saat itu aku sudah menginjak usia remaja dan sudah tidak pernah mandi di sungai, tidak pernah bermain lumpur di sawah, di mata Emak aku tetaplah anak-anak dan sapu ijuk wajib melayang di betis jika menurut Emak aku bersalah. Dan bertanya tentang Bapak adalah kesalahan.
Pada malam-malam Bapak baru meninggalkan rumah, aku tidak berani bertanya mengapa, yang aku pahami Bapak telah pergi meninggalkan hutang-hutang yang sepertinya tidak sedikit.
Malam itu hujan turun dan petir bersahut-sahutan di luar. Seperti tengah berlomba dengan suara Emak dan Bapak yang tengah beradu mulut di ruang tamu. Awalnya aku diam di kamar karena ini bukan yang pertama terjadi sejak aku masih berusia SD dan Emak mulai sering mendaratkan gagang sapu ijuk di kedua betisku tidak peduli seberapa besar atau kecil kesalahanku.
Begitu keluar dari kamar, gagang sapu yang dipegang Emak mendarat lagi di betisku.
“Masuk!” Tanpa peduli rintihanku, sekali lagi Emak melakukannya.
“Kalau begini terus Sawitri capek!” Entah mendapat kekuatan dari mana, dengan suara bergetar kalimat dengan nada membentak itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa tangisan atau ekspresi apa pun.
Emak dan Bapak diam sejenak sebelum Bapak pergi ke kamar dan mengambil jaket dan tas ransel tua miliknya, berjalan ke arah pintu, membuka dan melangkahkan kakinya menerobos hujan setelah membanting daun pintu. Dari balik gorden aku mengintip dan Bapak sama sekali tidak menoleh lagi. Dan tidak pernah kembali ke rumah lagi.
Dan malam-malam selanjutnya ada perasaan yang meletup-letup di dadaku setiap kali mengingat Bapak dan semua yang ia tinggalkan untukku dan Emak. Kupikir ini adalah perasaan benci, marah dan sejenisnya.
Sampai suatu ketika, gagang panjang sapu ijuk berwarna merah marun patah menjadi dua setelah mendarat di kedua betisku bergantian. Emak tidak peduli aku masih menggunakan baju abu-abu putih dan berdiri di depan gerbang sekolah saat itu. Tanpa bertanya apa pun, Emak yang turun dari motor tukang ojek langsung menyeret lenganku.
“Kau mau jadi seperti bapakmu? Hah? Kau mau berakhir seperti dia?” Bahkan, ketika gagang sapu itu telah patah menjadi dua, Emak tidak berhenti melakukannya.
Tadinya, kupikir aku teramat membenci Bapak yang telah meninggalkan kami. Tetapi nyatanya aku sungguh tak bisa membencinya sedikit pun.
Jam istirahat hampir usai ketika langkahku berjalan hendak menuju kelas.
“Bapaknya meninggalkan banyak hutang dan emaknya sudah tidak waras. Kalau tidak karena bantuan dari sekolah, dia tidak akan bisa sekolah dan akan berakhir seperti bapaknya. Masih untung bapaknya tidak berakhir di penjara.” Kalimat itu sengaja dipelankan tetapi juga sengaja diperdengarkan di telingaku.
Aku tidak tahu gadis itu memiliki masalah apa denganku, beberapa kali menatapku sinis sejak pertama kali aku duduk di bangku SMA. Mudah saja mengabaikannya selama beberapa bulan terakhir. Tetapi kali ini tidak. Entah mengapa dadaku mendadak bergejolak, berdebum-debum dan meletupkan api amarah karena ia mengolok Emak dan Bapak.
Aku mendekatinya dan bertanya apa maksudnya, tetapi gadis itu geming.
“Jangan sekali-kali mengatai orangtuaku.” Aku mengucapkannya tepat di depan wajahnya.
Tanpa kuduga gadis itu mendorongku hingga aku terjatuh di lantai. Aku meringis dan berusaha bangkit, tetapi ia kembali mendorong dan kali ini juga menendang betisku. Bekas pukulan Emak terkumpul di sana dan rasanya panas. Namun, tidak lebih panas dari dadaku yang meletup-letup.
Aku sedikit kaget ketika yang sampai di telinga Emak adalah sebaliknya. Karena di hadapan pihak tata tertib, mereka bilang aku yang pertama mendorong dan ia tengah membela diri. Aku tidak mengerti, omong kosong macam apa itu.
Ketika pulang, Emak tidak berkata apa pun di dalam angkot yang kami tumpangi. Aku bisa melihat tangannya gemetar memegangi gagang sapu ijuk berwarna merah marun yang patah menjadi dua. Entah keberanian dari mana, aku duduk lebih merapat padanya dan memeluk tubuh Emak. Tidak peduli beberapa pasang mata menyaksikan kejadian itu.
Pelukan itu begitu erat, sampai-sampai air mataku jatuh membasahi pundak Emak yang kurus. Tubuh Emak terasa kecil sekali dalam pelukanku. Tidak ada mimik apa pun yang ditampilkan oleh Emak, hanya terdiam. Tetapi Emak juga tidak menolak ketika aku melakukannya.
Sejak saat itu aku memahami dengan jelas luka-luka yang ditanggung Emak. Setelah kejadian itu, Emak tidak berkata apa pun. Sesampainya di rumah hujan turun dan itu selalu mengingatkan padaku tentang kepergian Bapak dari rumah ini.
Di depan tungku yang menyala dan hawa hangat menjalar di tiap sudut dapur rumah tua milik Mbah Putri, aku dan Emak berdiam diri duduk di kursi kayu kecil yang ada di lantai tanah. Sesekali Emak membenahi kayu bakar yang ujungnya menyala-nyala.
“Mak… Sawitri minta maaf,” kataku pelan.
Emak menggelengkan kepala. “Kau harus jadi anak yang baik, anak yang pandai, kau bisa menjalani hidup yang lebih baik dari Emak dan Bapak, Sawitri. Berjanjilah!”
Tetapi saat rasa sakit karena kerinduan itu muncul bertubi-tubi menerkam dadaku, aku tak bisa untuk tidak menangis. Jauh di depan dari masa itu, yang bisa kulakukan adalah menekuri deretan sapu ijuk dengan gagang panjang berwarna merah marun. Meski itu bukan sapu ijuk yang sama dengan yang pernah patah di tangan Emak.
Emak, Bapak, Sawitri rindu.