Rumah Impian

3
103

Tak ada yang tak heran dengan Pak Tarto. Lelaki paruh baya yang tinggal hanya bersama istrinya itu, selalu mengumpulkan bahan bangunan di samping rumahnya yang reyot. Tak banyak, hanya beberapa tumpuk bata, batu kerikil, sedikit pasir, dan kayu-kayu jati yang masih gelondongan. Setiap bulan tumpukan itu bertambah, tapi hanya sedikit demi sedikit. Entah darimana dia mendapatkannya, yang jelas warga tahu kalau Pak Tarto tidak mencuri. Dia orang yang jujur. Meskipun miskin, tak sekali pun pak Tarto menyusahkan tetangganya.

Tumpukan material di samping rumahnya sudah berbilang tahun. Tak ada yang tahu persis hendak diapakan barang itu. Sambil mengumpulkan, Pak Tarto yang juga Pak Bon di sebuah sekolah, selalu menghabiskan waktu sebelum dan sesudah kerjanya di pekarangan rumah. Mengukur, mematok bahkan kadang menggali. Semua dilakukannya dengan gembira, seolah tanah warisan nenek moyangnya itu adalah satu-satunya harta yang paling bernilai.

Kali ini tanggal muda. Sepulang dari sekolah Pak Tarto membawa satu karung pasir, diletakkannya di boncengan belakang sepeda kumbang bututnya. Wajahnya cerah dengan senyum yang selalu mengembang. Dalam bayangannya, sesuatu yang diidamkannya selama ini akan segera terwujud.

Monggo, Pak…!” sapanya saat melewati Pak Lurah yang sedang menyiram bunganya di halaman.

Nggihmonggo Pak Tarto, bawa apa itu kok besar sekali?” sahut pak Lurah, tak lebih dari sekadar basa-basi. Ia hanya melirik karung yang di boncengan Pak Tarto.

“Cuma sedikit pasir, Pak,” jawab Pak Tarto.

“Pasir? Mau buat apa? Saya lihat di rumahmu sudah menumpuk pasir,” sahut pak Lurah sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.

Pak Tarto hanya tersenyum sambil pamitan berlalu.

*****

“Pak, kalau mimpi itu mbok ya jangan tinggi-tinggi. Nanti kalau jatuh sakit lho!” ujar istri Pak Tarto, sambil menyapu halamannya. Di sebelahnya, suaminya sedang menghaluskan kayu yang kemarin-kemarin telah digergajinya dengan ukuran tertentu. Bunyi pasak yang beradu dengan kayu jati itu menimbulkan irama teratur.

“Aku nggak mimpi, Bu, tapi ikhtiar,” jawab Pak Tarto.

“Tapi apa sampeyan nggak capek, sebelum berangkat kerja ngerjain itu, sorenya juga ngerjain itu lagi!”

Pak Tarto tersenyum, “Daripada nganggur!”

“Tetangga kemarin rasan-rasan lho Pak, katanya sampeyan itu aneh-aneh. Masa’ material ditumpuk-tumpuk, kayu-kayu disimpan, kalau pagi dan sore nrithik di pekarangan. Mereka nanya ke saya sebenarnya mau bikin apa to?”

“Terus kamu jawab apa?”

“Ya aku cuma tersenyum, kalau aku menjawab bikin rumah ya mereka nggak percaya. Mana mungkin orang miskin kayak kita bisa membuat rumah yang bagus. Wong kerjanya saja cuma Pak Bon, istrinya nganggur!” ujar Bu Tarto, seperti menyesali nasibnya sendiri.

Husy, nggak boleh gitu! Itu namanya putus asa dan tidak syukur nikmat!”

Bu Tarto diam. Dia memperhatikan pekarangan rumahnya yang sudah di pathok-pathok dan digali untuk pondasi. Semua hasil kerja Pak Tarto sendiri! Dua bulan lebih pondasi pun belum juga selesai. Benar-benar bisa terwujudkah mimpi itu?

*****

Ee… jadinya tuh mau bikin rumah to, Yu?” Bu Lastri, tetangga pak Tarto bertanya, nyinyir.

Bu Tarto hanya tersenyum. Pekewuh.

“Kok dikerjakan sendiri? Mau selesai berapa tahun lagi?”

“Ya…terserah bapaknya,” jawab Bu Tarto lirih. “Wong cuma modal nekat, yang penting bisa untuk berteduh.”

Bu Tarto jadi teringat. Lebih dari tujuh tahun yang lalu, saat ide itu muncul dari suaminya, mereka benar-benar ingin mempunyai rumah tembok yang bagus. Rumah yang halamannya penuh bunga, teduh dan menenangkan. Namun bagaimana bisa sedang penghasilan mereka tak pernah lebih dari cukup untuk makan. Maka upaya pun dicari, menabung material rumah sambil menggali tanah untuk pondasi, sambil memecahkan batu, sambil menggergaji kayu, sambil melakukan apa saja! Yang penting rumah itu akan lahir dari tangannya sendiri!

Pak Tarto yang pernah jadi tukang bangunan, tahu bagaimana cara membuat pondasi, tahu berapa takaran pasir dan semennya, tahu bagaimana kayu penyangga atap harus disambungkan, tahu bagamana menyusun batu bata, dan tahu banyak hal tentang membangun. Kini dia sedang mempraktekkannya sendiri! Dalam hitungan waktu yang tentu saja akan sangat lama!

“Kalau ada apa-apa itu mbok bilang sama tetangga biar bisa bantuin, jangan main kucing-kucingan. Masa’ mbangun rumah kok sendiri. Itu namanya sombong, Yu!” Bu Lastri membuyarkan lamunan Bu Tarto.

“Sombong?”  Bu Tarto retoris. “Ta-ta-tapi Bu…” suara Bu Tarto hilang ditelan tangisnya yang meledak.

Maka sejak itulah—saat pondasi jadi—orang-orang di kampung itu mulai ramai membicarakan pak Tarto. Pertanyaan mereka tentang material yang ditumpuk-tumpuk seolah terjawab sudah. Pak Tarto, si Miskin, ingin membangun rumah tembok sendiri. S-e-n-d-i-r-i!

*****

“Orang miskin kok aneh-aneh! Bukannya rajin bekerja mengumpulkan uang malah mimpi terlalu tinggi!”

“Iya, lagipula mana mungkin sih membangun rumah kok sendirian,”

“Tapi hebat juga tuh orang, sabar banget! Mau jadi berapa tahun coba kalau semuanya dikerjakan sendiri,”

“Luar biasa! Pak Tarto benar-benar lelaki hebat sedunia! Kalau rumah itu jadi, aku akan mendaftarkannya masuk rekor MURI,”

Dan berbagai komentar lainnya dari warga. Pak Tarto menutup telinga. Tak ada alasan lainnya dia ingin membangun rumah itu sendiri selain karena biaya. Ya, biaya! Dengan waktu luangnya di pagi dan sore hari, dia bisa mengerjakannya sendiri. Pak Tarto yakin, rumah impiannya pasti akan jadi!

*****

“Lihat rumah itu, bagus ya?” tanya seorang ibu kepada teman wanitanya, sambil menunjuk sebuah rumah besar dengan halaman penuh bunga.

Sang teman mengangguk mantap, “Milik siapa?”

“Sepasang jompo yang legendaris!”

“Legendaris?”

“Iya, dulu mereka membuat rumah itu sendiri,”

“Sendiri? Maksudmu?”

“Dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Dan mereka merawatnya seperti merawat bayi. Sangat hati-hati! Makanya sampai sekarang rumah itu begitu anggun berdiri.”

“Kita ke sana, yuk!”

*****

“Lihat rumah itu, Nak!” seorang ibu yang mengajak putri kecilnya, berhenti di dekat sebuah rumah. Rumah yang berdiri kokoh, namun tak lagi terawat. Taman bunga di halamannya semakin lebat.

“Rumah siapa, Bunda? Rumah hantu ya?”

“Bukan! Kata kakek bunda, itu rumah kasih sayang,”

“Kasih sayang?”

“Iya, karena dulu pemiliknya membangunnya dengan kasih sayang dan kesabaran penuh. Mereka membangunnya dengan cinta!”

“Rumah kita bisa dibangun dengan cinta juga, Bunda?”

Sang bunda tersenyum manis menatap putri kecilnya.


Previous article5 Tips Membeli Token Listrik Hemat Biaya Admin
Next articleHilangnya Pendaki Wanita
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

3 COMMENTS

  1. Masyaallah… Pak Tarto bener2 ngajarin apa itu arti man jadda wa jadda, ya?

    Meniru Pak Tarto untuk bangun rumah? Mungkin gak bisa, gak tahu bagaimana cara buat pondasi, gak tahu berapa takaran pasir dan semennya, gak tahu bagaimana kayu penyangga atap harus disambungkan, gak tahu bagaimana menyusun batu bata, pokoknya banyak gak tahulah kalau urusan membangun.

    Tapi semangat Pak Tarto sejatinya bisa kita jadikan pelajaran, bahwa gak ada yang tak mungkin, intinya sabar, jangan dengerin bisik2 miring dari kiri dan kanan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here