Aku bukanlah wanita beruntung yang bisa mewujudkan cinta yang sempurna kala itu. Dua tahun yang lalu, aku begitu bahagia karena akhirnya harapanku untuk merajut hidup bersamanya seumur hidup akan terwujud. Namun, pradugaku salah.
Aku terjatuh karena angan yang kujunjung. Salahku adalah bahagia karena telah percaya pada lelaki yang sering mengingkari janjinya padaku. Menaruh harap pada lelaki yang sebenarnya tak pantas kuharapkan, dan percaya pada lelaki yang tak pernah menanamkan sebuah kepercayaan.
Cinta yang salah membutakan hatiku kala itu. Cinta membawaku jatuh sejatuh-jatuhnya, membuatku sakit sesakit-sakitnya. Hingga benar-benar tak berdaya dan menghanyutkanku pada kepedihan yang tak terduga.
Namun, dua tahun yang lalu juga menjadi awal dari sebuah perjalanan yang mengubah jalan kehidupanku. Berusaha agar tidak lagi menaruh harap kepada manusia yang hanya bisa menciptakan kecewa.
Aku tidak tahu, sebenarnya apa yang kucari selama ini. Yang kutahu bahwa selama ini aku hanya ditipu halusinasi yang berhasil membuatku terbang, namun kemudian menghempasku ke dasar tanpa ragu.
Dalam kebahagiaan fana itu, Allah menyadarkanku dengan terbangnya undangan pernikahan dari seorang lelaki yang selama 4 tahun bersamaku.
Jika bertanya bagaimana perasaanku saat itu. Aku begitu marah, hancur dan satu yang kulakukan. Menyalahkan Allah yang Maha Baik. Astagfirullah. Ternyata benar, saat kita menjalin hubungan yang salah, maka pasti itu bersumber dari yang salah dan berakhir pada sebuah kesalahan pula.
Kini, aku tak ingin menyibukkan diri dengan hal yang sia-sia lagi. Aku tidak ingin hatiku tersakiti oleh harapan yang melayang tak tentu haluan. Jika dibilang aku pribadi yang lebih tenang saat ini, itu benar. Karena kini aku sudah tahu apa yang harus kuharapkan, apa yang harus kutunggu dan apa yang harus ku persiapkan.
Aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku setelah beberapa hari kejadian itu. Tempat yang baru, akan lebih memudahkanku untuk melupakan semua yang pernah terjadi.
Waktu berlalu begitu lamban bagiku. Rasa takut untuk mengagumi seseorang lagi masih membekas. Takut jika kekaguman itu berakhir dengan pengharapan lalu menuai kekecewaan. Kali ini, aku tidak seberani dulu. Mengumbar cinta pada seseorang.
Hari-hariku, kuhabiskan di Masjid. Berkiprah menjadi seorang tenaga pengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) merupakan obat terampuh dalam menyembuhkan luka yang pernah kuundang kedatangannya dulu.
Aku bahagia, dan ternyata lebih bahagia dari 4 tahun yang lalu saat aku memprediksi bahwa bahagiaku adalah ketika bersamanya. Bersama seseorang yang tidak halal untukku.
“Liana, tolong sampaikan pada Dokter Adnan. Malam ini Ustadz Hanafi tidak bisa mengisi pengajian, jadi tolong diisi dulu. Saya ada urusan mendadak, tidak bisa bicara langsung ke dokter Adnan,” pinta bu Aini yang merupakan kepala TPA Darussalam tempatku mengajar.
Raguku bergelimpangan. Bagaimana cara menyampaikan itu pada Dokter Adnan, apalagi kami belum pernah saling bertutur sapa sebelumnya.
“Akan saya coba sampaikan, Bu.”
Dia adalah dokter koas yang bertugas di puskesmas di kampung halamanku. Baru 2 bulan, dan itu cukup baginya untuk menarik perhatian semua warga. Suara merdunya sering terdengar mengumandangkan azan selama 2 bulan terakhir ini. Jika tidak ketika sholat subuh, pasti suaranya melantun di azan sholat Isya. Waktu-waktu sholat yang selalu berat dilakukan oleh orang-orang kebanyakan.
Dokter Adnan tidak banyak bicara. Apalagi ia begitu menjaga interaksinya dengan para wanita. Selain di puskesmas, ia menghabiskan waktunya di Masjid. Membuatku mau tidak mau selalu bertemu dengannya meski tanpa sapa juga senyum.
***
“Assalamu’alaikum.”
Aku menutup rapat kembali pintu utama perlahan. Wajah nenek sudah terlihat dari kejauhan.
“Waalaikumsalam. Liana, sini duduk.”
Nenek menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Aku segera menurut, mempercepat langkah dan membalas senyum sumringahnya. Setelah mencium punggung tangannya lembut, aku duduk di sebelahnya dengan tatapan manja yang selalu ku lemparkan.
Nenek adalah orang yang sangat berjasa dalam perjalananku menuju ketenangan yang selama ini kucari. Nenek tidak pernah meninggalkanku, ia selalu memberiku nasihat dan menjadi sosok penyemangatku untuk memperbaiki diri.
“Kamu nggak salim sama kakek?”
Aku menoleh ke sumber suara dan kepalaku langsung menunduk. Aku tidak bisa menyembunyikan kekakuan saat ini kurasa. Saat melihat Dokter Adnan di sana. Ia berada di hadapanku dan di sebelah kakek yang melempar senyum persis seperti nenek. Senyum bahagia.
“Oh iya. Maaf, Kek. Tadi nggak keliatan pas Liana datang.”
Aku segera berhamburan ke seberang, mengambil tangan kakek dan menciumnya dengan khidmat. Aku tetap tak bisa melihat wajahnya, menelungkupkan kedua tangan di depan dadaku saja sudah membuatku begitu canggung. Apalagi harus melihat wajahnya.
“Ada pertanyaan?” tanya kakek membuatku menggeleng namun canggung.
“Apa yang harus Liana tanyakan, kek. Topik masalah aja Liana nggak tahu.”
“Ya pertanyaan apa aja. Seperti kenapa Nak Adnan ke sini, mungkin?”
Aku semakin tidak mengerti. Kakek selalu bercanda di waktu yang tidak tepat. Jika tidak ketika aku sedang ingin sendiri, pasti ketika aku sedang penasaran. Kakek menyebalkan! Tapi aku menyayanginya.
“Liana.” Panggilan nenek mengalihkan tatapku dari kakek yang tidak juga memberi jawaban, “Wanita tercipta dari tulang rusuk seorang lelaki.”
Aku diam seribu bahasa, tahu kemana arah pembicaraan itu akan bermuara. Kepalaku menunduk dalam, tak tahu akan menanggapinya seperti apa kali ini.
“Maksud kedatangan Nak Adnan kesini, untuk menyempurnakan separuh dari agamanya. Dia ingin menjemput tulang rusuk yang dinantikannya sejak lama.”
Aku menahan napas.
“Selama satu bulan saya sudah melakukan sholat istikhorah. Dan Allah memantapkan hati saya untuk datang ke rumahmu dan memintamu untuk menjadi penggenap agama saya.” Kalimat dokter Adnan semakin membuatku gugup.
Aku sadar bahwa tingkahku kini semakin aneh. Aku masih membungkam mulut untuk sekadar memberi sebuah reaksi yang positif.
Bagaimana mungkin seorang lelaki yang diidam-idamkan oleh banyak orang datang ke rumah dan memintaku pada keluargaku. Menatapnya saja tak pernah, tersenyum sebagai tanda aku mengenalnya saja tak pernah, bagaimana bisa ia memilih seorang wanita yang tak ia kenal?
Hatiku bergeming, rasa sakit yang pernah ada di hati kini meluap ke permukaan. Mencari cara untuk keluar dari tetesan air mata. Aku tidak tahu apa yang kurasakan kini. Senang, sedih, atau merasa sakit hingga nafasku sedikit tersendat. Yang jelas, saat ini aku begitu sesak mendengar pernyataan Dokter Adnan.
***
“InsyaAllah, aku bakalan hadir di sana, Li. Tapi, telat dikit nggak apa-apa ya.”
Aku tersenyum tipis. Bahagia karena Karin sahabatku, bersedia hadir meski harus menempuh jarak antara Jakarta-Cianjur yang tidak dekat.
“Terimakasih Kar. Udah mau bela-belain dateng ke sini.”
Setelah mendengar kekagetan Karin dengan berjuta kalimat lebay yang meluncur darinya, akhirnya ia menutup telepon. Karin yang tahu semua liku jalan cerita cinta dan hijrahku, pasti saja ia yang paling banyak menanggapi pernikahanku kini.
Aku menatap wajahku dari pantulan cermin. Wajah bahagia yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku bahagia? Ya, tentu. Namun kali ini bukan bahagia karena sebuah kemaksiatan seperti dulu.
Bahagiaku kali ini bersumber dari Yang Maha Agung. Allah. Bahagia karena harapanku pada-Nya terlaksana, bahagia karena kini Allah mempertemukanku dengan seseorang yang Allah pilihkan untuk menjadi kekasih terindah dalam hariku hingga akhiratku kelak.
“Liana.”
Pintu terbuka lebar, beriringan dengan suara yang kutunggu untuk menenangkanku setelah beberapa jam merasa gugup. Ia berlari pelan ke arahku dan memeluk erat tubuhku.
“Barokallah, Sayang.” Suaranya bergetar, bisa kurasakan ia sedang meneteskan air mata. Menangis karena bahagia.
Aku meneteskan air mataku di pundak nenek. Hal kedua yang membuatku merasa tenang setelah aku memutuskan berhijrah adalah memutuskan untuk menerima Dokter Adnan dan melupakan masa lalu yang masih tersisa.
Aku yakin, bahwa jalan yang kutempuh kini akan membawaku lebih dekat dengan-Nya. Itu yang kuinginkan selama ini. Bersama kekasih halalku, aku akan merajut harapan yang dimimpikan setiap manusia.
Langkahku merayap menelusuri setiap anak tangga yang tidak begitu lebar. Aku tidak berani mengangkat kepala, melihat semua tamu undangan yang menunggu. Wajahku tetap menunduk meski menatap wajahnya adalah sebuah pundi pahala kini.
Aku malu, begitu malu dengan semua masa lalu yang pernah kulakukan. Aku merasa sudah mengkhianati kang Adnan sebelum aku bertemu dengannya.
“Liana Syifatunnisa. Aku mencintaimu karena Allah. Masa lalumu adalah masa laluku. Tidak perlu diingat dan menjadi alasan untuk merasa bersalah. Hiduplah bersamaku, temaniku untuk meniti jalan menuju jannah-Nya. Sayang, bersediakah kamu buka lembaran baru untuk hari-hari baru kita?”
Aku mengangguk perlahan. Gemuruh darah di nadiku berubah menjadi abnormal, jantungku juga serasa tinggal beberapa detik lagi meledak. Kalimat indah itu membuatku merasa sangat bahagia. Perlahan aku mengangkat kepala, seketika mataku langsung menembus mata teduhnya yang menenangkan.
Rona wajahku pasti seperti kepiting rebus ketika ia mendaratkan ciuman lembutnya di dahiku. Saat ia melepaskanku, senyumnya menyembul. Senyum indah yang selama ini tak berani kulihat dengan cara mencuri pandang,
“Kang Muhammad Adnan Al-hafiz. Aku juga mencintaimu karena Allah. Aku bersedia menemanimu meniti jalan menuju-Nya. Menghilangkan sisa kenangan masalalu dan membuka lembaran baru untuk hidup kita.”
Kini, kutemukan kekasih terindah dalam penantian indah. Pengharapan yang menjadi kenyataan dan sebuah ketetapan yang menjadi pelajaran. Allah menjauhkanku dari sebuah kesalahan besar, menggantikan kesalahan itu dengan beribu kebaikan yang kuterima selama aku berusaha dekat dengan-Nya.
Maha Suci Allah. Yang telah mengambil kebahagiaan fanaku kemudian menggantikannya dengan kebahagiaan halal yang abadi.