Ketika Tuhan Bersabda
Ketika Tuhan bersabda,
Runtuh segala nabastala begitu juga dunia-Nya
Hanyut makhluk-Nya, begitu juga dengan nadi
Yang selama ini setia temani hamba
Bintang angkasa pun tak ragu ‘tuk
Seolah bermain paralayang
Bersama senja yang sekejap musnahkan cantiknya
Ketika Tuhan bersabda,
Tempat pulang yang paling arif adalah Surga dan Neraka
Bersandang Almarhum/almarhumah
Yang melekat abadi dari segala abdi pada Tuhannya
Kita tak akan tahu,
Kapan Tuhan mengutus hamba untuk berpulang
Temuinya, lalu mengabdi sepenuhnya dan bersujud di hadapnya
Cucuran air bening seolah menjadi penanda
Bahwa dosa hamba telah melebur halus bak bercampur air
Sehingga tak dapat terhitung seberapa banyak maksiat
Dari diri penuh dosa ini
Suara Pengemis Keadilan
Rimpuh,
Remuk redam badan memikul keluh
Menelaah Pertiwi di negara penuh angkuh
Menjilat keringat diri sendiri lalu menyeduhnnya
Menjadi rupiah dengan bayaran angka kepasrahan
Biar suaraku melengking bising
Menyayat Tuan hingga rekah,
Lalu meleburnya menjadi tawanan rakyat miskin
Yang ingin menagih janji kesejahteraan
Dari Tuan pengucap frasa pengkhianatan
Untuk apa?
Sampai suaramu tersisa lengkingan terakhir pun
Yang katanya penguasa jagad negri ini
Tetap saja tak acuh; malah menyeduh kopi
Kembali mengobarkan suara omong kosong
Berhenti–
Kasihanilah tenagamu yang kau isi
Hanya dengan nasi dan kerupuk putih
Tak lupa, malika–kedelai hitam
Sebagai bahan pemanis
Percuma,
Kopi hitam yang mereka seduh itu
Tidak akan pernah berubah menjadi susu
Begitupun dengan pemikiran kolot
Yang bersembunyi di balik layar kiwari
Juga tak akan menemukan terang dari segala remang kemiskinan