Sobar terjaga dari tidurnya saat mendengar suara lonceng jam yang ada di luar kamar berdentang tiga kali. Kelopak mata Sobar terbuka. Benaknya kembali disesaki kejadian yang barusan menyambangi alam mimpinya. Seumur hidup baru kali ini Sobar bermimpi sedang mengaji pada seorang kiai yang belum pernah dia kenal. Anehnya, dia mengaji di sebuah ruangan yang sangat besar tapi lengang. Hanya ada dirinya dan sosok kiai muda berjubah putih dan memiliki paras yang sejuk dipandang.
Sobar mendengarkan dengan saksama saat sang kiai berkisah tentang kehidupan Rasulullah Saw. yang dipenuhi keteladanan. Kepada Sobar, kiai muda itu berkisah tentang cara bergaul nabi yang lemah lembut terhadap sesama. Bahkan terhadap orang yang berbuat jahat sekali pun beliau meminta kita agar tetap berbuat kebaikan.
“Tidak usah membalas kejahatan seseorang dengan kejahatan serupa, karena kalau kita membalas kejahatan dengan kejahatan, apa bedanya kita dengan dia?” tegas kiai muda, membuat Sobar mengangguk takzim.
Sang kiai lantas berkisah, dulu pernah ada orang yang hobi menyakiti nabi. Bahkan, saat beliau hendak ke masjid, orang tersebut tega melempari beliau dengan kotoran. Hal ini terjadi selama beberapa hari tiap beliau hendak ke masjid. Hingga suatu hari, beliau merasa ada yang aneh karena tak lagi berjumpa orang yang biasa menjahatinya. Usut punya usut, orang tersebut ternyata sedang sakit. Rasulullah lantas berinisiatif membesuk orang yang jelas-jelas telah berbuat jahat padanya. Begitu bertemu beliau, dia merasa sangat malu dan akhirnya masuk Islam.
Saat Sobar tengah merenungi kembali mimpinya, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada keranjang yang berisi beragam buah seperti apel merah, jeruk orange, pir, dan kelengkeng madu di sudut meja kamar. Padahal sebelum tidur, dia tak melihat keranjang buah itu di sana.
“Aduh,” Sobar mengaduh saat merasakan nyeri yang tiba-tiba menyerang bagian kiri tubuhnya. Nyeri itu kian terasa dan membuat Sobar meringis kesakitan.
“Aduh, nyeri sekali,” Sobar kembali mengaduh sambil berusaha mengubah posisi miringnya agar bisa telentang, tapi tubuh bagian kanan yang ditopang dengan bantal guling tak bisa digerakkan. Ya, mana mungkin bisa digerakkan karena tubuh bagian kanan (mulai bahu, tangan, hingga kaki) mati rasa. Orang Jawa bilang mati separo.
Seminggu terakhir ini Sobar memang mengalami hal yang menurutnya sangat aneh. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba dia merasakan tubuh bagian kanannya sangat nyeri. Waktu itu dia sedang sibuk menata barang-barang dagangannya di kios kelontong miliknya. Sejak masih muda hingga berkeluarga dan dikaruniai dua putra yang sekarang ini sedang kuliah di Yogyakarta, keseharian Sobar memang menjadi pedagang aneka kebutuhan rumah tangga yang terbilang laris manis di daerahnya.
Dia memang menuruni bakat almarhum ayah dan kakeknya yang dulu pernah berjaya mengelola bisnis aneka kebutuhan sehari-hari tersebut.
Ketika sedang menata barang-barang dagangannya itulah Sobar tiba-tiba merasakan nyeri di bagian bahu dan tangan kanannya. Karena nyeri itu kian menjadi, dia segera memeriksakan diri ke dokter, diantar Sumi, istrinya. Waktu itu dokter hanya bilang kalau dirinya terlampau lelah bekerja sehingga menyebabkan bagian tubuhnya sakit dan harus banyak istirahat.
Namun, makin hari, rasa nyeri itu kian menjadi. Bahkan menjalar ke anggota tubuh yang lain. Rasa nyeri yang semula menyerang bahu dan tangan, merambat cepat ke pinggang hingga kaki kanannya. Alhasil, Sobar tak bisa beraktivitas sebagaimana biasa. Dia pun kembali memeriksakan dirinya ke dokter.
Hemiparesis, begitu dokter menyebut jenis penyakit yang dialami oleh Sobar. Hemiparesis adalah sebuah kondisi di mana salah satu bagian sisi tubuh kita mengalami kelemahan sehingga sulit untuk digerakkan. Anggota tubuh yang biasanya terkena imbas hemiparesis adalah tangan, lengan, dada, tungkai kaki, dan otot-otot wajah. Kondisi ini bisa terjadi pada anggota tubuh bagian kanan saja, atau bagian kiri saja.
“Bu… Ibuu!” setengah teriak, Sobar memanggil istrinya.
Tak berselang lama, Sumi tergopoh membuka pintu dan mendapati suaminya tengah meringis menahan sakit.
“Ya, Allah, nyerinya kambuh lagi? Ibu panggilkan dokter ya, Pak?” panik Sumi saat melihat kondisi suaminya.
Sobar menanggapinya dengan anggukan, sementara bibirnya terkatup rapat sambil mendesis-desis menahan rasa sakit. Sumi pun bergegas mengambil smartphone miliknya yang barusan diletakkan di meja ruang tamu. Jarinya sibuk menelusur, mencari nomor kontak Dokter Hadi dan segera menghubunginya. Sayang, dokter sedang berada di luar kota dalam rangka mengikuti kegiatan sosial di sebuah daerah yang masyarakatnya sedang terjangkit demam berdarah.
“Mungkin dokter ada rekomendasi dokter lain yang bisa diminta datang ke sini, Dok?”
“Ada, Dokter Harlan, tapi saat ini dia juga sedang berada di luar kota bersama saya,”
“Aduh, gimana, ya, Dok,” Sumi kebingungan. Dokter menyarankan agar suaminya dibawa ke rumah sakit saja bila kondisinya memang darurat.
“Baik, Dok. Terima kasih,” Sumi mengakhiri pembicaraan.
***
Sebuah keajaiban terjadi ketika Sumi bergegas masuk ke dalam kamar. Ternyata rasa nyeri yang barusan menyerang anggota tubuh bagian kiri sang suami sudah hilang. Sumi tak hentinya mengucap syukur.
“Beneran sudah nggak sakit, Pak? Soalnya dokter menyarankan agar periksa ke rumah sakit,” Sumi bertanya demi menegaskan kalau Sobar sudah tak merasakan nyeri.
“Nggak usah, Bu. Nyerinya sudah hilang. Alhamdulillah. Tolong ambilkan air putih saja, Bu,”
***
“Bu,” langkah Sumi terhenti ketika Sobar memanggilnya.
“Siapa yang membawa keranjang buah itu,” lanjut Sobar membuat Sumi lekas membalikkan badan.
“Oh, iya, Ibu hampir lupa,” perkataan Sumi membuat kening Sobar berkerut. Sumi melangkah mendekati Sobar yang berbaring dengan posisi miring ke kiri. Lalu duduk di bangku plastik warna putih di dekat ranjang tempat suaminya terbaring.
“Tadi ada kakek tua datang ke sini membawa buah dalam keranjang untuk Bapak. Dia bilang ingin membesuk Bapak. Ibu juga nggak tahu kakek itu siapa, tapi dia mengaku bernama Kakek Darma. Mulanya dia ingin melihat kondisi Bapak, tapi Ibu bilang Bapak lagi istirahat, jadi dia hanya mendoakan semoga Bapak lekas sembuh,” keterangan Sumi membuat Sobar diserbu tanda tanya.
Kakek Darma? Siapa dia? Perasaan dia tak mempunyai kenalan, teman, atau saudara bernama Darma.
“Coba Bapak ingat-ingat, siapa tahu Kakek Darma ini pelanggan dagangan Bapak atau teman orangtua Bapak,” ucapan Ibu membuat Sobar kembali serius berpikir. Tapi hingga sekian menit berlalu, Sobar tak kunjung menemukan ingatan tentang sosok Kakek Darma.
***
“Ini, Pak,” Sumi menyodorkan piring putih berisi irisan apel merah yang telah dikupas. Sobar menatap buah irisan apel itu dengan meneguk ludah. Sepertinya enak, gumamnya.
“Bapak mau duduk dulu, Bu, tolong bantuin Bapak,”
Sumi meletakkan piring di atas meja. Lalu membantu suami duduk berselonjor. Agar terasa nyaman, Sumi mengganjal punggung Sobar dengan tumpukan bantal.
“Gimana, sudah nyaman duduknya, Pak?” tanya Sumi.
“Ya, sudah, Bu,” Bapak tersenyum tipis. Saat kondisinya lemah tak berdaya seperti ini Sobar baru tersadar bahwa Sumi begitu sayang kepadanya. Dia begitu telaten merawatnya. Raut wajahnya yang masih terlihat cantik itu tak pernah mengeluh saat Sobar meminta ini itu. Sobar tiba-tiba merasa bersalah karena saat sehat sering memarahi istrinya bila melakukan kesalahan kecil atau hal-hal lain yang tak sesuai kehendaknya.
“Ini dicobain dulu, Pak, barusan Ibu sudah mencicipinya, manis apelnya,” ucapan Sumi membuyarkan lamunan Sobar.
“Eh, iya, terima kasih, Bu.”
***
Sumi tergesa menuju pintu begitu mendengar suara bel berbunyi. Begitu pintu terkuak, seorang lelaki tua langsung mengucap salam dengan raut wajah yang meski telah rata dihiasi keriput tapi tampak sangat ramah. Keramahan lelaki itu secara spontan menular ke diri Sumi.
“Waalaikumussalam,” Sumi menjawab dengan ramah dan seulas senyum terukir di bibir.
“Silakan masuk, Kakek Darma,”
“Terima kasih, Bu,” Kakek Darma berjalan pelan menuju ruang tamu, kemudian duduk di salah satu sofa. Meski usianya telah sepuh, tapi fisiknya masih tampak bugar dan bisa berjalan kaki tanpa bantuan tongkat.
“Bagaimana perkembangan kondisi kesehatan Bapak?”
“Alhamdulillah, sudah mendingan, nggak terasa nyeri lagi, meski sebagian tubuhnya masih seperti sebelumnya,”
Kakek Darma mengangguk-angguk, lalu berkata, “Apa Bapak sedang istirahat? Kakek ingin sekali bertemu dengannya,”
“Oh, silakan, Bapak sudah bangun dari tadi, kok,”
***
“Pak, ada tamu ingin menengok Bapak, beliau Kakek Darma yang kemarin datang membawa buah dalam keranjang itu,” terang Sumi sambil tersenyum manis saat sudah berada dalam kamar suaminya.
Kening Sobar berkerut saat melihat kedatangan Kakek Darma. Sobar berusaha mengingat-ingat sosok lelaki tua berambut dan berbusana putih agak kumal itu. Sobar memang pernah melihat tapi merasa tak mengenalnya. Sobar kembali berjuang mengaduk ingatannya. Dan, Sobar langsung tercekat saat Kakek Darma berjalan mendekat dan duduk di kursi di sebelahnya. Ya, Sobar kini ingat dengan lelaki tua di sebelahnya itu.
“Gimana kabarnya, Pak? Moga lekas sehat, ya,” Kakek Darma menyapa ramah. Seulas senyum terukir dari kedua sudut bibirnya yang kering dan keriput. Wajahnya meski sudah sepuh tapi sangat menyejukkan di pandang.
Bibir Sobar bergetar. Kedua kelopak matanya berkedut. Ya, Allah, mulia sekali hati Kakek Darma. Bila aku yang berada di posisinya, aku nggak bakal sudi menjenguk orang yang jelas-jelas telah menghina dan mengusirnya, Sobar bergumam dalam batin.
Ingatan Sobar perlahan mengumpul hingga membentuk gumpalan kejadian yang pernah dialaminya sebulan lalu. Waktu itu kiosnya tengah ramai pembeli yang mengantre. Di antrean paling belakang, Sobar melihat sosok lelaki tua yang bila dilihat dari pakaiannya yang lusuh, pasti bukan untuk belanja.
“Pak mohon baca tulisan itu,” kata Sobar dengan raut tidak senang kepada lelaki tua sambil tangannya menunjuk papan hitam yang tertempel di tembok toko, persis di sebelah lelaki tua itu berdiri. Papan hitam dengan tulisan kapital warna putih itu berbunyi: “TIDAK MELAYANI PENGEMIS DAN PENGAMEN KECUALI HARI MINGGU!”.
“Semoga Pak Sobar lekas sembuh,” ucapan Kakek Darma yang terasa begitu lembut di telinga sontak memecah gumpalan kejadian dalam ingatan Sobar. Sungguh Sobar tak mengira bila lelaki tua yang pernah dia usir adalah Kakek Darma. Sobar tak kuasa menahan tangis. Dadanya naik turun sementara kedua pipinya telah basah oleh butiran air mata. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada kejadian yang pernah dialaminya dalam mimpi tempo hari.
Ya, Allah, Kakek Darma ini benar-benar memiliki sifat mulia, sifat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Ah, jangan-jangan penyakitku ini akibat perbuatanku pada Kakek Darma?
Tangis Sobar pun meledak saat Kakek Darma bercerita bahwa waktu itu dia bukan datang untuk mengemis. Tapi untuk menanyakan kabar ayahnya Sobar. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Jadi ceritanya, ayahnya Sobar adalah sahabat karib Kakek Darma semasa muda.
“To… tolong ma… maafkan saya, Kek, ma… maafkan sa… saya.” Sobar dengan terbata-bata memohon maaf kepada Kakek Darma dengan wajah bersimbah air mata.
***C
atatan:
– Keterangan tentang penyakit Hemiparesis diambil dari www.alodokter.com.
Sam Edy Yuswanto*
*Lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya telah tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, antara lain: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll.
keren
terima kasih, Mas
Mantap 👍
makasih ya