Cinta Monyet

0
132

Pagi itu tak biasa. Saat mentari menyongsong hari, aku seperti rerumput yang gelisah akan lepasnya sang embun. Seperti dedaun yang bimbang karna terpaan angin.

Aku diam di pojok kelas, menunggu ramainya celoteh teman-teman. Kebetulan pagi itu aku yang paling awal datang ke sekolah.

Deretan pintu-pintu kelas menganga. Hanya ada tukang kebun sekolah, Pak Damis yang nampak di halaman. Pintu ruang guru tertutup rapat. Di sisi arah selatan sekolah, tepat bersebelahan dengan pohon beringin juga nampak ibu-ibu yang berjualan. Aku masih diam, seperti bocah yang tersesat di tengah jalan. Memandang nanar setiap penjuru halaman.

“Sepagi ini sudah datang, Cong?” Pak Damis membuyarkan lamunan.
“Iya, Pak Damis” jawabku ringan.
Jelang beberapa menit kemudian, satu-persatu teman-temanku berdatangan. Suasana hening seketika menjadi riuh.

“Hai Cong…!”

Gadis itu menyapaku. Tatapan matanya membinar. Senyumnya siluet senja memancarkan keanggunan. Padma namanya. Putri seorang kiyai yang saban pagi membuhul sarung. Melipat kaki. Terkadang aku menyaksikannya meneguk secangkir kopi. Molang ngaji di sebuah surau kecil dekat pantai. Banyak berdehem. Terkadang memukul-mukul rotan di badan dhampar tatkala salah seorang muridnya kurang betul ngajinya.
Gadis itu pada babak berikutnya disukai sepupuku. Tentangnya sungguh lucu sekaligus mengesankan.

“Assalamu alaikum, anak-anak!” Salam Bu Sun secara otomatis menghentikan obrolan kami.

“Waalaikumsalam, Bu!” riuh kompak kami menjawabnya.

Bu Sun wali kelas kami. Riang dan nampak seperti tak pernah ada kesedihan. Barangkali rasa sedihnya yang ditinggal pergi suaminya setahun lalu ia kubur dalam-dalam. Suaminya meninggalkannya lantaran lebih memilih perempuan lain yang lebih gemukan darinya. Bu Sun yang saat ini kurus kerontang baginya tidak menarik lagi.

“Laki-laki pengkhianat seperti dia, untuk apa diharapkan lagi.” begitu kupingku mendengarnya di balik pembatas triplet saat ia ngobrol dengan Bu Leha di ruang guru. Kebetulan ruang kelas kami dengan ruang guru bersebelahan. Apa saja yang diobrolin guru dengan bebas kami mendengarnya.

Semenit kemudian, Bu Sun membuka tas yang tergeletak di mejanya. Diambillah satu buah buku, entah apa judulnya. Sejurus ia memperhatikan kami satu-persatu. Lalu menyuruh kami mengeluarkan satu buku yang biasa disebut buku khusus nyanyi-nyanyi. Aku pun mengeluarkannya dari dalam ransel plastikku. Meskipun kami di kelas tinggi, menyanyikan lagu anak-anak seperti barang wajib yang tak boleh ditinggalkan.

Kali ini aku belajar menyanyi lagi. Pelajaran yang menurutku mengasyikkan. Bagiku yang paling asyik ketika belajar menyanyi adalah saat memukul-mukul bangku kencang-kencang, layaknya drummer kondang.

Ambilkan Bulan, Bu. Ya, begitu judulnya sekarang, setelah minggu lalu Tik tik tik bunyi hujan.
Aku tak begitu semangat. Lagu Ambilkan Bulan, Bu terlalu lembek bagiku. Aku tak bisa menjaga tempo lagu dengan musikalisasi pukulan bangku yang biasa aku mainkan. Aku asal-asalan menyanyi sambil menaruh pipi sebelah kiri di meja tulis. Ya, tidak semangat. Sama sekali tak semangat.

“Bu, sekarang siang, bulannya tak ada” Aku komplin, dibarengi gelak tawa teman-teman.

Ibu guru yang satu itu tersenyum ramah. “Cong, kita belajar nyanyi, nak!” katanya lembut. Sejurus melemparkan sungging senyuman di semua penjuru ruang kelas itu.
“Lagunya lemes, Bu!” lanjutku. Kemudian aku diam, seperti tak ada hasrat untuk menyanyi lagi.
***

Kelas empat berlalu, kini aku naik ke kelas lima. Dengan pasti, Bu Sun tidak lagi menjadi wali kelasku.
Namun, ada cinta di sana yang membakar jiwaku. Di lorong-lorong kecil tempat kami bermain petak umpet saat istirahat dan jam pelajaran kedua belum dimulai. Cinta itu tumbuh bersemai sekalipun musim kemarau. Nyatanya cinta itu hanya sebatas ta-cintaan, bukan cinta sebenarnya. Ah, hanya cinta monyet rupanya.

Kalian tahu? Di kelas baru itu, aku sekelas bahkan sebangku dengan adik sepupuku yang usianya lebih muda tujuh bulan dariku. Ia tidak naik kelas lantaran sering bolos. Bahkan pernah sebulan berturut-turut tidak masuk kelas. Lebih menarik, ia juga jatuh cinta padanya, pada seorang gadis yang tatapan matanya membinar, yang senyumnya siluet senja memancarkan keanggunan itu. Putri seorang tokoh kiyai pemilik surau kecil dekat pantai itu.

Hujan rintik saat yang tepat menulis surat, begitu mungkin isi benaknya. Waktu itu jam pelajaran belum dimulai dan para guru masih menyiapkan segala perlengkapan di ruang guru.

Aku di sampingnya menyaksikan gelagatnya yang mencurigakan. Mendongak lalu merunduk, mendongak lalu merunduk, seperti ayam kelaparan yang mengais makanan di balik rumputan kering. Mendongak kemudian merunduk, begitu seterusnya. Sesaat kemudian ia berbisik pelan padaku, “Cong, seneng apa bahasa Indonesianya?”
Aku yang juga tidak tahu, sok tahu menjawab, “Benci!”.

Dia mengerinyitkan muka dan berkata “Masa benci?”

“Iya” jawabku.

“Bukannya benci itu bâjhi’?” katanya ragu.

“Ada apa kok tanya begitu?” tanyaku penasaran.

Lalu jawabnya, “Nggak ada apa-apa, Cuma nanya!”

Keesokan harinya, saat istirahat berlangsung ia berkata terus terang padaku. Hatinya benar-benar tertambat pada si dia gadis belia putri tokoh kiyai itu.

Benar-benar tertambat? Menurutnya begitu. Ia berkata jujur padaku, “Cong, aku suka sama si dia!”.

Mendengarnya, aku tertawa. Terkekeh. Kemudian lanjutnya, “Cong, kan dia punya adik. Bagaimana kalau adiknya itu untuk kamu, dan dia untukku. Kita barengan kirim suratnya?”

Menatap raut wajahnya yang lugu saat ia merajukku, aku semakin tertawa kencang. Terpingkal-pingkal tak karuan.

Ah, lupakan saja sejenak semua itu. Semua keluguannya. Sebab, besok ada waktu yang begitu spesial. Pak Rubaie, kepala sekolahku menyampaikannya pada semua murid di semua kelas. “Semua harus masuk!” katanya lantang.

Salah seorang temanku bertanya, “Emang ada apa, Pak?”

Pak Rubaie menjawab panjang, “Ada pembagian telur matang dari pemerintah, seperti setahun yang lalu pembagian seragam cuma-cuma. Semua murid mendapatkannya. Pokoknya, semua harus masuk!”
***

Gubrak…‼ Aku terjatuh. Aku menoleh ke belakang, dia masih mengejarku. Aku berusaha bangkit, namun keburu dia telah menangkapku. Untung saja di sana ada teman karibku yang kebetulan lewat di lorong sempit itu.

“Cong, cepat pergi. Lari! Biar aku yang urus anak ini!” Begitu kelakarnya sok jagoan.

Aku lari, pergi menjauh dari tempat itu. Entah apa yang terjadi kemudian.
Satu jam berlalu, aku ke rumah teman karib yang satu itu. Sesampainya di sana, aku mendengar jeritan tangisnya. Segeralah aku masuk tanpa permisi.

Kemudian Ibunya bertanya padaku dengan nada getir, “Cong, ini berkelahi sama siapa?”

Aku tidak menjawab malah bertanya, “Kawan, kamu kalah tanding, ya?”
Aku melihat di betis kirinya keluar darah bercampur nanah. Darah bercampur nanah itu keluar dari gundukan bisul yang membengkak. Seolah diriku juga merasakan sakitnya.

Kejadiannya berawal dari sebuah tim medis postu kesehatan yang ada di desaku sedang melakukan penyuntikan imunisasi difteri. Penyuntikan dimulai dari kelas satu. Aku yang melihatnya dari jendela kelas nampak tim medis berseragam putih-putih dengan menenteng peralatan medisnya. Sebenarnya mereka biasa-biasa saja tidak satupun yang berwajah garang. Hanya saja aku yang takut akan jarum suntik ini seperti mengikuti arahan syetan yang membisik telingaku, “Cong, kabur lewat pintu depan lalu lari sekencangnya”.

Kemudian, dari arah yang cukup jauh, salah seorang guru memekik, “Kejar dia!”

Akhirnya, si Abdul yang jabatannya ketua kelas mengejarku hingga ke lorong-lorong sempit perkampungan. Adegan kejar-kejaranpun terjadi seperti sinema televisi.

Inikah yang dimaksud Pak Rubaie pembagian telur matang kemarin itu? Inikah hari spesial itu? Uh, Pak Rubaie tega-teganya mengibuli kami semua.
***

Satu minggu berlangsung, surat kami layangkan. Surat yang kami tulis itu sebenarnya isinya aku sendiri tidak memahaminya. Dua surat yang kami tulis itu isinya teramat singkat. Satu untuk gadis yang disukai sepupuku, dan satunya lagi untuk si dia yang terpaksa aku sukai.

Dua surat itu sebenarnya isinya sama. Hanya beda di corak tulisan tangan saja. Yang satu tulisan tanganku yang semrawut, dan satunya lagi tulisan tangan sepupuku yang lebih semrawut.

Akhirnya sampailah juga surat itu ke tangan dua gadis berdarah biru itu. Namun sayang, saat mereka membukanya, mereka berdua di tempat yang sama. Di antara mereka dengan mudahnya bertukar surat yang mereka terima.

Nahas benar nasib surat cinta itu. Mereka, kedua gadis itu tidak mampu membacanya. Satu karena belum bisa membaca, buta aksara. Satunya lagi si Padma, gadis yang tatapan matanya membinar dan senyumnya siluet senja memancarkan keanggunan itu tidak bisa membaca tulisan tangan kami. Surat kami berakhir di perut tong sampah, bahkan di depan mata kami. Sungguh mengenaskan.

Hah, cinta ternyata benar-benar tak mesti dimiliki. Sekedar bersambut balaspun tidak. Tragis.

“Tenang saudaraku masih banyak kertas yang bisa kita tulis!” bisikku pelan.

“Ya, untuk mereka buang di tong sampah!” balas sepupuku seraya memandang kecut wajahku.

*****

*) Penulis seorang guru dan penulis buku tinggal di sebuah pulau di Sampang, Madura.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here