Setangkai Anggrek Bulan

3
83

Wajah Bulan terlipat sedih. Setiap kali mamanya membicarakan bunga-bunga anggreknya, Bulan seperti dilempar jarak dengan mamanya. Interval yang cukup jauh sehingga Bulan seperti tak lagi mengenal mamanya.

“Lihat Nduk, anggrek itu namanya brassavola, bunganya bagus, yang milik mama itu kuning ada totol-totolnya seperti macam,” mama masih melanjutkan bicaranya. Entah untuk yang ke berapa kali dia menyebut nama-nama anggreknya.

“Yang itu aphyllum, batangnya menjulur ke bawah dan bunganya wangi,”

Bulan mendesah. Bukan itu yang diharapkan dari mamanya jika ngobrol berdua begini. Bulan ingin ditanya bagaimana pelajaran sekolahya, siapa saja teman mainnya, atau acara seru apa yang bakal mereka lalui akhir pekan ini. Bulan ingin mamanya seperti mama Nafiza, yang gaul abis menemani Nafiza ke acara-acara, atau bahkan hang out bareng .

Nafiza lahir saat mamanya berusia 22 tahun, sehingga saat Nafiza sweet seventeen, mamanya masih 39 tahun. Muda dan energik. Sedangkan Bulan, hadir tak terduga di usia mama yang hampir 45 tahun, usia melahirkan resiko tinggi. Kakak Bulan yang tertua bahkan hampir lulus kuliah saat itu, kakak kedua masih semester awal kuliah, dan kakak ketiga kelas 2 SMU. Selisih 17 tahun kemudian Bulan lahir. Penuh perjuangan, kata almarhum papa.

“Tahukah mengapa engkau kuberi nama Bulan?” lagi-lagi mama bertanya. Bulan sudah bosan menjawabnya.

“Karena kau seperti keindahan anggrek bulan, Nduk,”

Bulan bergeming. Justru yang dibayangkannya adalah betapa asyiknya Nafiza yang punya mama energik dan bisa menemaninya ke mana-mana. Sedangkan mamanya? Beberapa tahun lalu mama pensiun dan lebih banyak mengurusi kebun anggreknya. Kondisi kesehatannya tak memungkinkan untuk sering-sering keluar. Justru Bulan yang harus sering di rumah menemani mama.

Tes. Bulir bening jatuh di pipi Bulan. Sungguh. Dia ingin mama menanyakan hal-hal yang diinginkannya. Apakah jarak usia yang jauh ini menjadi kendala komunikasi.

“Obatnya sudah diminum, Ma?” tanya Bulan akhirnya.

“Sudah.  Tadi mama sudah minum.”

“Tadi pagi setelah sarapan? Ini sudah siang Ma, sudah jam 2 siang. Bulan sudah pulang dari sekolah,” agak tinggi nada suara Bulan.

Mama mengerutkan kening.

“Kenapa, Nduk? Kau marah karena mama lupa minum obat?” tanya mama sambil meninggalkan anggrek-anggreknya, duduk di kursi sebelah Bulan.

“Namanya juga sudah tua, wajar kalau lupa,” mama terkekeh.

Bulan menghela nafas, lalu beranjak ke ruang makan mengambil obat dan segelas air putih untuk mamanya.

Tiga kakak laki-laki Bulan telah bekerja dan berkeluarga, mempunyai rumah sendiri yang jauh dari rumah mama.

Bulan sering berpikir, betapa tidak adilnya hidup ini padanya. Besar bersama seorang mama yang mulai menua. Energi muda mama telah dihabiskan ketiga kakak laki-lakinya. Tugas Bulan selalu melayani, bukan untuk berbahagia. Bulan ingat betul ketika gurunya berkata bahwa dirinya dewasa melebihi usianya. Uh,  bagi orang lain itu pujian, tapi bagi dirinya itu semacam belas kasihan.

Di usia SMA ini, betapa sering Bulan menolak ajakan teman-temannya dengan alasan menemani mama. Apalagi saat papa berpulang 3 tahun lalu saat Bulan kelas 2 SMP. Pulang sekolah selalu mama, mama, dan mama. Hang out bareng teman-teman itu seperti mimpi di siang bolong.

*****

“Kakak ngertiin aku nggak sih?” hampir menjerit Bulan di dekat hp-nya. Nama kakaknya tertera di layar.

“Mengapa sih, Dik?” suara itu terdengar menenangkan.

“Bulan capek, Kak, Bulan lelah dengan semua ini!”  tangis Bulan akhirnya pecah juga. Suaranya sesenggukan. Ditumpahkan semua kejengkelan hatinya beberapa hari belakangan ini. Kakaknya diam mendengarkan.

“Sudah?” tanya Kak Fandi setelah Bulan terdiam sejenak.

“Bulan ingin jalan-jalan sama teman-teman? Kapan, nanti Kakak agendakan pulang untuk menemani mama. Sebulan sekali Bulan tandai kalendernya ya acara keluarnya, bulan-bulan berikutnya gantian Kak Ferdi dan Kak Fatih yang jaga mama,”

Tangis Bulan masih terdengar. Bukan itu yang Bulan maksud. Kakaknya tak pernah memahaminya karena mereka tak mengalami seperti yang Bulan jalani. Mereka semua telah mendapatkan segalanya dari mama, lalu saat meniti karier dan rumah tangga, Bulan yang harus menjaga mama. Padahal Bulan masih ingin seperti teman-teman lainnya.

“Dik…” suara Kak Fandi membuyarkan lamunan Bulan. “Bagaimana?”

“Hmmm…”

“Jangan sedih gitulah. Mama nanti sedih juga lho kalau kamu kayak gitu,”

“Aku masih di sekolah ini, mama nggak tahu,” sanggah Bulan.

“Besok Kakak pulang?” tanya Kak Fandi lagi.

“Terserah,” Bulan menjawab jengkel, lalu menutup telepon selulernya.

Di seberang Fandi menghela nafas panjang. Usia Bulan sepantaran anaknya yang pertama, lebih muda dua tahun. Fandi ingat dulu pas wisuda sarjana agak minder dengan teman-temannya karena mama melahirkan adiknya. Adik perempuan yang sangat diinginkan sebenarnya, tapi hadir tak terduga dan hampir merenggut nyawa mama karena usianya yang resiko tinggi. Setahun berikutnya Fandi menikah dan tahun berikutnya dia punya bayi perempuan. Meskipun hanya bertemu setahun sekali saat lebaran, Aisyah dan Bulan cukup akrab. Hingga saat ini mereka sama-sama remaja.

*****

“Waaah, kejutan ini Fandi datang bukan saat liburan,” ujar mama menyambut kedatangan Kak Fandi. Bulan mesem, mencium tangan kakaknya dan meletakkan oleh-oleh yang dibawanya dari Bogor.

“Iya, Ma. Kangen nih sama mama,” takzim Fandi mencium tangan mama, lalu merebahkan dirinya di sofa.

“Gimana istri dan anak-anak, sehat kan?”

“Alhamdulillah. Mama gimana?”

“Hehehe… biasa mama sih, kadang lupa minum obat,” Mama tersenyum. “Bulan mungkin bosan mengingatkan mama,”

“Ah, ya nggak bosan lah,” sergah Fandi.

“Anggrek mama sekarang dah banyak jenisnya, kau lihat tadi pas datang?” tanya mama.

Bulan yang kembali ke ruang tamu membawa minum melirik kakaknya, seakan memberi kode bahwa begitulah selalu yang diomongkan mama.

“Mama sudah bosan koleksi dendrobium. Sekarang mama punya oncidium, miltasia, brassia, brassavola, aphyllum, anosmum dan  lain-lain. Bahkan jenis pandurata atau anggrek hitam mama sekarang jenisnya banyak. Nanti mama tunjukkin, bunganya emmmm…. indah indah,” mama berbinar sambil mengangkat jempolnya.

“Iya, ma. Tangan mama ada apanya sih? Dari dulu kalau menanam anggrek kok bisa hidup?” gurau Fandi.

“Ih, ya bukan karena tangan mama, karena Allah yang menghidupkan,”

“Iya, bercanda Ma… soalnya itu Intan istriku nanam anggrek beberapa aja mati mulu. Nggak jodoh sepertinya, hahaha….”

“Oh, itu Intan belum tahu caranya saja. Coba besok pas liburan ke sini mama ajarin. Menanam anggrek itu sebenarnnya mudah, asal kita tahu karakter setiap jenisnya. Misalnya anggrek dendro ya… yang paling gampang aja, bisa ditanam di tempat yang cahaya mataharinya cukup. Beda dengan anggrek bulan, yang ….”

Suara mama begitu bersemangat menjelaskan soal anggrek di depan Fandi. Bulan terdiam sambil berkelana pikiran. Cerita seperti itu sudah berkali-kali Bulan dengar. Tapi hebatnya Kak Fandi, dia mampu mengimbangi obrolan ringan itu, hal yang sama sekali tak Bulan lakukan. Bulan kadang bosan. Bulan memilih masuk ke dalam kamarnya setelah memberi isyarat pada kakaknya.

*****

“Kau masih ingat kisah papa saat kamu lahir, Dik?”

Bulan mengangguk. Segala resah telah dia tumpahkan di depan kakak tertuanya itu.

“Orang tua merawat anaknya dengan sepenuh pengharapan demi kehidupan anaknya. Tapi anak yang merawat orang tuanya… menunggu kematiannya,” tercekat kalimat itu di kerongkongan Fandi.

Bulan tersentak. Matanya memanas.

“Sabar dik, ini tak selama orang tua merawat kita dulu. Masalahmu tak sesulit yang dihadapi mama dulu saat membesarkan kita. Belajarlah mencintai apa-apa yang disukai mama sehinngga nyambung saat diajaknya ngobrol. Merawat anggrek itu pelampiasan beliau karena tak bisa lagi merawat kita. Beliau sirami, beri vitamin, berharap mekar bunga yang indah dipandang. Bunga yang tak akan pergi, tak seperti anak-anaknya ini,”

Air mata itu udah tumpah di pipi Bulan.

“Kalau mama mau, aku sejak dulu ingin merawatnya di Bogor. Tapi mama tak pernah mau meninggalkan rumah ini bukan?”

“Maafkan aku, Kak.”

*****

Keesokan harinya sepulang sekolah, Bulan mampir ke toko bunga anggrek. Dipilihnya anggrek bulan terindah yang mama belum memilikinya di rumah. Wah, harganya ternyata lumayan menguras uang saku Bulan. Tak apa, ini hadiah terindah buat mama. Bulan sudah membayangkan betapa bahagia ekspresi wajah mama saat menerimanya.

Ini permintaan maaf Bulan, Ma.

*****


Previous articleIstriku dan Tetes-Tetes Air
Next articleKeranjang Buah Misterius
Rianna Wati
Rianna Wati, lahir di Wonogiri 5 November 1980, saat ini tinggal di Surakarta bersama keluarga kecilnya. Aktivitas menulis dilakukannya sejak SMA dan bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) sejak kuliah di Fakultas Sastra UNS. Saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS. Gelar S2 diraihnya dari prodi Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Kajian Budaya UNSBuku-buku fiksi yang pernah terbit diantaranya Elegi Cinta di Karimunjawa, Jatuh Cinta Pada Bunga, Ramai-Ramai Masuk Surga, Biar Cinta Bicara, Cinta adalah Luka, Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Arvayuna, Romansa, Petrichor, Salju Sungai Seine, Simfoni Hati dan beberapa buku kolaborasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Bisa dihubungi di email: riannawati@staff.uns.ac.id, FB Rianna Wati, Twitter @riannawati dan IG Rianna Wati.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here