Biarkan Sayapku Terus Mengepak

3
217

Aisyah Shinta Balqis, namaku. Kolaborasi tiga wanita hebat pada zamannya. Aisyah, istri Rasul, lambang kecerdasan dan kesalehan. Shinta, tokoh legendaris dalam Balada Ramayana, pencerminan kelembutan dan kesetiaan. Sedang Sang Ratu Saba, Balqis, menjadi simbol sosok yang kuat dan penuh wibawa.

Entah apa maksud Ayah dan Bunda memberiku nama yang seagung itu. Seandainya harapan mereka adalah sebuah perpaduan antara kecerdasan, kesalehan, kelembutan, kesetiaan, sekaligus wibawa… alangkah malangnya mereka, karena harapan itu terpenggal. Terpenggal oleh pencarian sebuah diri yang mengklimaks, sebuah kepuasan. Jujur kukatakan bahwa tolak ukur pencarian itu adalah kepuasan. Puas akan aksistensi diri.

Jika orang-orang hebat yang menghuni rumah telah sibuk, maka di sini pun aku sibuk melukis bayangan. Membangun istana impian yang akan kutempati kelak, dimana seluruh penghuninya mengatakan aku orang hebat.
Ya, aku orang hebat…!

Kata-kata itu telah kudengar. Dan demi itu, aku rela menetap di sini. Sel sempit yang lembab dan pengap. Ditemani satu batalion nyamuk yang siap menggempur malam-malamku. Tempat aku merancang istana itu. Lalu kubayangkan sebuah slide yang berputar. Tentang seorang Shinta yang menjadi ratu. Muara pencarian yang panjang dan berliku.

Dulu, aku hanya seekor Puyuh di tengah populasi Merak. Orang-orang di sekitarku adalah burung Merak. Ayah Burung Merak, karena kaya dan sukses. Perusahaannya bertebaran di mana-mana. Beliau hebat dan terhormat. Bunda Burung Merak, karena ningrat dan penuh wibawa. Kakak-kakakku pun burung-burung Merak. Mas Tejo, doktor dengan predikat cum laude. Mas Rhama entertainer sejati, ulet dan tangguh. Mbak Sari cantik dan dinamis, prototipe eksekutif handal. Sedang Mbak Widya shaleh dan dangat cerdas. Meski masih mahasiswa, prediksi kesuksesannya bukan suatu hal yang ganjil.

Mereka populasi Merak. Sedang aku Puyuh. Sekian lama Puyuh itu dibuat badminton. Mengkerut dalam sarang megah yang terlalu mewah untuk seekor Puyuh.

Ya, aku hanya Puyuh. Pernah mereka mereparasiku untuk menjadi Merak. Mendandaniku dengan baju mereka. Namun aku malah merasa menjadi badut yang lebih rendah dari sekedar Puyuh.

Ayah yang cenderung sekuler—istilahnya Mbak Widya—memasukkan aku ke sekolah top dengan biaya selangit. Protes dari Mbakku yang shaleh itu diabaikan. Lantas Bunda membebaniku dengan segudang keharusan: les matematika, bahasa inggris, piano, komputer, dan lain-lain. Tapi semua tak mengubah aku menjadi Merak. Aku tetap Puyuh.

Pernah pula Mbak Sari, Mas Tejo, dan mas Rhama merenovasiku dengan cara mereka. Aku dimasukkan ke sekolah mode.

“Kau tidak terlalu jelek. Barangkali kau bisa jadi model terkenal.”
Renovasi itu pun gagal. Terakhir Mbak Widya, dan terapi itu sebenarnya mujarab.
“Kekuranganmu adalah tak punya kelebihan,” katanya, “namun kekuranganmu, justru karena kamu tidak punya kekurangan….”


Setahun tinggal di pesantren memang tidak lantas menyulapku menjadi Merak. Tetapi anggapan aku adalah Puyuh yang tinggal di Populasi Merak mulai terkikis. Aku bukan Puyuh dan mereka bukan Merak, kami sederajat. Dan di mata Allah, kami sama. Yang membedakan hanya ketaqwaan.

Sayang, mereka mulai tak senang sejak Mbak Widya berjilbab dan aktif berdakwah. Mereka menganggap Mbak Widya radikal! Perang dingin pun berlangsung sekian lama antara Mbak Widya vs Ayah didukung Bunda, Mas Tejo, Mas Rhama, dan Mbak Sari. Kemudian perang itu berlanjut menjadi letusan Baratayudha. Ujungnya adalah pengusiran Mbak Widya dari rumah. Aku pun ikut terpuruk. Aku akhirnya keluar paksa dari pesantren, yang dianggap menyebarkan bibit-bibit kekerasan. Aku tak tahu, apa yang mereka maksud. Di pesantren, sesungguhnya aku menemukan kelembutan dan kedamaian. Tetapi, Ayah memiliki pendapat lain. Dan beberapa saat kemudian, kutemukan kembali bahwa aku Puyuh dan mereka Merak.

Akhirnya aku mencoba menjadi merak dengan caraku sendiri. Dan aku berhasil. Bukan sebagai Merak memang, namun jelas lebih gagah dan punya kebanggaan, terutama tentu saja dibanding Puyuh.

Awalnya Boris dan Lusi, teman satu SMU memperkenalkanku pada alkohol. Aku pun terobsesi menelan air keras itu. Menjadi peminum berat. Sampai pujian itu menggetarkan sukmaku.

“Kamu hebat Shinta! Aku pun tak sekuat itu….”
Aku hebat karena ada yang mengatakan aku hebat.
“Kamu pengen lebih keren? Isap ganja!”

Tak ada dua bulan, aku pun menjadi penghisap ganja yang mahir. Lantas dari ganja berganti putauw. Pernah juga ekstasi. Dan itulah kulminasi pencarian sebuah eksistensi. Eksistensi yang selama ini terjepit di tengah habitat yang penuh gebyar.
Sampai saat itu, aku masih burung Puyuh. Vonis setahun penjara dari hakim menguatkan aku sebagai Elang. Di penjara wanita yang sempit ini, aku merasakan kebahagiaan. Dan suatu saat akan kubuktikan, bahwa aku bisa tinggal kembali di sini dalam waktu yang lebih lama.

Aku tersenyum menang. Tak ada lagi pembangkangan karena aku sudah punya status. Punya identitas. Sebuah harga diri. Aku puas.
“Shintaaaa, ada kunjungan…!” suara petugas LP.
Nah, ada sesuatu yang tak kusuka. Kunjungan adalah bentuk penolakan terhadap statusku sebagai Elang.

Ternyata pengunjung itu Mbak Widya, satu-satunya anggota keluargaku yang masih menaruh respek padaku. Ah, salah… tepatnya satu-satunya anggota keluargaku yang masih menginginkan aku menjadi merak. Utopis, haha… ingin aku menertawakan wajah polos itu.

“Yakinlah, bahwa aku bahagia dengan jalan yang kupilih, Mbak…,” ucapku tegas. Mbakku yang shalehah dan ayu itu tersenyum lugu.
“Aku pernah merasakan, betapa indahnya hidup ketika kita mulai mengenali siapa kita. Saat identitas itu terkuak. Tantangan seberat apapun kan menjadi mudah karena kita punya izzah, kemuliaan, untuk mengatakan bahwa itu yang terbaik. Tetapi, yakinkah Shinta, kalau pilihanmu itu yang terbaik? Tak terpikirkah suatu identitas yang lebih baik?”

“Baik menurut siapa? Aku? Mbak Widya? Ayah? Atau Bunda?”
“Tentu saja menurut sumber kebaikan itu sendiri. Dzat yang berada di puncak kerucut sudut pandang… Yang paling obyektif dari segala yang obyektif ialah Sang Pemberi identitas pada setiap manusia itu sendiri.”

Aku tertawa sumbang. Berbulan-bulan dalam kesendirian membuatku mampu mencerna kata-kata bijak itu. Tetapi aku adalah Shinta. Aku burung Elang, dan tak akan menjadi Puyuh, bahkan Merak. Dan Mbak Widya pulang dengan kehampaan.
Tak seorang pun bisa memaksaku. Tidak Mbak Widya… apalagi kumpulan pongah Merak-merak itu. Sudah lama aku hidup dalam pemaksaan. Sekarang kutemukan bahwa itu nikmat… sangat indah. Aku menghabiskan hari-hariku dengan melukis bayangan. Dan aku berpetualang dalam gumpalan fantasi yang kureka-reka. Kadang kurentangkan sayapku, terbang tinggi menggapai hegemoni, menjadi ‘ratu dirgantara’.

Sampai populasi Merak itu datang, dan aku menguping kicauan mereka yang nyaring. Pembicaraan mereka dengan petugas LP.
“Bagaimana putri saya?” suara Ayah.
“Shinta, putri Anda sepertinya…”
“Sepertinya apa?!”
“Agak terganggu ingatannya. Saya anjurkan dia dirawat di rumah sakit jiwa.”

Aku tersenyum. Ya, aku memang tidak mau keluar dari penjara. Tapi tawaran rumah sakit jiwa itu, cukup menarik juga. Barangkali aku akan menemukan elang-elang yang sama di sana. Dan aku akan menjadi panglima dari elang-elang itu. Panglima yang hebat. Maka, biarkan sayapku terus mengepak….

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here