“Kalau mau dipikir-pikir, barangkali saya bisa gila,”
Suara Akbar sebenarnya normal saja. Tapi terdengar mencekam. Ada rasa nyeri tiba-tiba di hatiku. Bukan apa-apa sebagai teman, sebenarnya kami cukup dekat. Namun, pengakuan Akbar benar-benar membuatku terpukul.
Kami dekat sejak kuliah. Teman nongkrong, teman main, dan teman usil. Pekerjaan dan pernikahan membuat kami sulit bertemu. Biasanya kami bersua ketika lebaran atau ada undangan saja.
“Sudah setahun ini kejadiannya, Tor.”
Astaga teman macam apa aku ini. Sudah setahun dan aku baru tahu malam ini. Padahal pertemuan kami sebenarnya tanpa rencana. Kalau saja aku tidak singgah sholat di masjid kantor ini, barangkali kami tidak akan bertemu.
Kantorku memang letaknya strategis. Persis di tengah kota Palu. Dekat dari taman GOR yang kerap dijadikan lokasi kegiatan Pemda atau organisasi masyarakat di akhir pekan. Beberapa langkah darinya ada pusat pertokoan, berdampingan dengan Transmart Galara Palu.
Tidak heran banyak yang kerap melipir sholat di sini. Termasuk aku yang tengah membawa keluarga kecilku untuk sekedar menyantap bakso di pusat jajanan dekat Taman GOR. Usai dari belanja bingkisan untuk agenda tukar kado esok hari, di acara pelepasan TK anak sulungku. Dan disinilah aku, bertemu Akbar tanpa sengaja.
Rasa malu hinggap ketika awal pembicaraan kami dimulai dengan keluhanku tentang biaya sekolah. Aku memang memilih sekolah favorit yang unggul bukan hanya di akademik tapi juga keislaman. Namun, resiko menyekolahkan anak bukan di sekolah negeri adalah biaya yang tidak sedikit.
Akbar mendengarkan dengan seksama. Beberapa kali ia manggut-manggut. Seolah mengamini. Bahwa menyekolahkan anak di tempat terbaik saat ini merupakan bagian dari perjuangan keluarga muda seperti keluarga kami.
Namun, selanjutnya aku seperti tertampar. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali tiap mendengar kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibirnya.
“Jangankan kau yang kerja kantoran, aku yang jobless lebih nelangsa lagi,” begitu katanya yang membuat keningku berkerut.
“Tapi, Alhamdulillah rezeki anak, apalagi untuk menuntut ilmu selalu saja datang dari arah yang tidak disangka-sangka.” ungkap Akbar tersenyum.
Akbar dengan cepat menangkap raut kebingungan dan terkejut yang begitu kentara di wajahku.
“Jangan kaget, Tor,” katanya sembari memegang lututku. “Saya sudah kerja serabutan sejak setahun belakangan,”
Lidahku kelu. Tidak membayangkan bagaimana hidup Akbar selama ini. Kehilangan pekerjaan, istrinya hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan sampingan, anak empat yang semuanya sekolah di sekolah swasta. Belum cicilan rumah yang nominalnya tidak sedikit. Benar kata Akbar, rasanya mau gila. Bahkan sekedar memikirkan. Apalagi mengalami langsung.
“Saya dipecat, Tor. Karena keteledoranku, perusahaan rugi lebih dari 3 M,” katanya.
Aku kembali terperangah. Nilai yang tidak sedikit. Terlalu banyak bagiku yang bertahan hanya dengan upah UMR dari pemda Palu.
“Tapi, selama masa menunggu keputusan pimpinan itu. Saya berusaha bagaimana caranya supaya tidak rugi sampai sebanyak itu. Apalagi ini karena masalah miskomunikasi saja.”
Akbar masih mengenang masa perjuangannya di detik-detik terakhir bekerja.
“Alhamdulillah pihak ketiga mau mengembalikan dana sebesar 3 M. Tersisa 80 juta lagi. Nah ini yang mereka jadikan alasan agar saya tidak bisa menerima pesangon. Katanya ganti rugi yang 80 juta itu.” Akbar menghela napas.
“Padahal kalau dihitung-hitung masa kerjaku 10 tahun di sana, masak sih sama sekali tidak ada pesangon. Berapa proyek yang sudah berhasil saya dapatkan untuk perusahaan. Jangankan 3M, saya menghasilkan keuntungan triliyunan selama bekerja,” kenang Akbar lagi.
Aku tahu betul di antara kami berteman, Akbar yang lebih dulu bekerja di perusahaan peti kemas. Tempat cukup basah dengan gaji bersih tidak kurang dari 8 juta perbulan. Belum termasuk tunjangan dan bonus dari proyek.
Sejak itu, ia kerap menjadi pak bendahara yang membayarkan makanan di acara tongkrongan kami, temannya yang kere dan pengangguran. Bahkan setelah menikah, ia tidak berubah. Masih saja ringan tangan membantu.
Setahuku, setelah menikah, ia langsung membeli sebuah rumah elit. Tidak tunai, masih kredit. Tapi, tentu saja kredit yang tidak sedikit tiap bulan. Ketika empat anaknya lahir, kami melihat keluarganya sebagai keluarga impian. Rasanya jauh dari cobaan. Semuanya serba mudah.
Tapi malam ini, aku tahu bahwa semuanya sudah berubah.
“Ada saja bantuan, Tor. Tiba-tiba ada rejeki yang bisa saya pakai bayar cicilan rumah, termasuk keperluan dalam rumah hingga sekolah. Meskipun ya tidak kontan kayak dulu, serba dicicil-cicil. Alhamdulillah Tor, saya bisa belajar hemat dari keterpurukan ini,” katanya disambut tawanya.
Aku tidak tahu bereaksi bagaimana. Yang pasti rasa malu mencuat sebab tadinya sempat mengeluh dengan biaya perpisahan sekolah yang tidak sedikit.
Kami akhirnya berpisah setelah Akbar menolak kutawarkan untuk makan bakso bersama. Seperti biasa, Akbar memacu kendaraannya bersama tiga orang anaknya. Namun tidak menggunakan mobil seperti biasanya, melainkan motor. Motor yang dipakainya semasa kuliah dulu.
Masjid tengah kota ini kembali terasa lengang. Seperti hatiku yang mencelos sejak tadi.