Ayah sedang sekarat. Sungguh! Aku tak kuasa memandangi wajahnya yang memucat. Seluruh sanak keluarga hanya bisa terisak dengan rasa takut. Khawatir kalau-kalau sesuatu yang kami semua tak inginkan menjadi kenyataan. Hanya aku yang masih bertahan di sisi ayah tanpa setetes air mata pun yang berjatuhan.
Samar-samar kulihat pria tua berjas hitam berdiri di ujung pintu yang sudah beberapa hari ini selalu mengekoriku. Apa dia tidak tahu bahwa kondisi kami tak memungkinkannya untuk menagih hutang?
“Haaah… Haaah,” ayah memanggilku semampunya. Sentuhannya yang dingin dan gemetar menggenggam tanganku lemah.
“Iya, Yah!” meski aku sedih, keras kepalaku tak mau berkesudah.
“Hauhid… Hauhid!” ayah membuat isak di kamar ini menjadi kian melebat.
Kami tahu yang ayah maksud, ia memintaku tuk menuntunnya membacakan kalimat tauhid. Perlahan, bibirku yang kaku pun mulai menuntun ayah mengucapkan kalimat itu. Hingga di ujung kalimat, setelah ayah benar-benar menyelesaikan kalimatnya, ia terpejam dan tidak lagi membuka matanya untuk selama-lamanya.
Tangis memecah, ibu terjatuh, ayah telah berpulang ke rahmatullah. Aku menunduk pasrah, teringat akan impian terbesar ayah yang ingin ke ka’bah. Sedang aku putra tunggalnya, hanya seorang guru honorer biasa dan belum sempat mengabulkan impiannya hingga di nafas terakhir ayah.
*****
Tujuh hari seusai kepergian ayah, semua orang tampak belum bergairah. Termasuk aku yang sedari tadi hanya duduk termangu di teras rumah. Hari ini usiaku tepat 40, dan aku masih belum bisa mengabulkan satu impian dari puluhan daftar impianku ditambah satu impian ayah.
Semua ini karena kesederhanaan Ayah yang hanya ingin menjadikanku seorang guru bahasa Arab, sehingga aku tak bisa mengamini mimpi ayah yang ingin menunaikan haji di Makkah Al-Mukarramah. Maaf, Ayah! Jika ingin ke Mekah, seharusnya dulu, Ayah jadikan aku sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab, bukan sebagai guru bahasa Arab.
Belakangan aku seperti tak waras jika sudah memikirkan keadaanku. Akan menjadi apa nasibku setelah ayah meninggalkanku? Siapa yang akan menafkahi ibu? Lalu bagaimana persiapan pernikahanku dengan Liyah? Aku hanya seorang tenaga pengajar honorer bergaji 300 ribu rupiah. Itu pun baru mendapatkan gaji setelah 3 bulan bekerja dengan lelah.
“Hans!” panggilan dari depan sana membuyarkan lamunanku.
“Ah! Pak Ustaz!” Namanya adalah Ustaz Yahya, orang yang dulu paling ayah idolakan semasa hidupnya. Sekarang dia di sini, bukan untuk mengajak ayah ke masjid seperti biasa, melainkan mendatangiku yang benar-benar tidak mood untuk berbicara hari ini.
“Assalamu’alaikum, Nak! Bagaimana kabar kamu hari ini?”
“Alhamdulillah masih seperti ini, Pak Ustaz!” jawabku seadanya. Sungguh aku tak berselera.
“Mungkin tidak ada kata ataupun nasihat dari bumi yang bisa mengobati orang yang tengah berduka!” ujar Ustaz Yahya melanjutkan. Itu Pak Ustaz tahu! Kumohon pergilah dariku!
“Tapi saya hanya mau bilang, SELAMAT ya, Hans! Karenamu, impian ayahmu sudah terkabul!”
Aku melongo seperti orang dungu. Kurasa satu kampung kami, bahkan kampung tetangga tahu benar apa impian ayah sejak dulu. Masak Ust. Yahya yang sudah menjadi best friend ayah sejak lama tidak tahu. Bahwa ayah hanya menginginkan haji sekali saja dalam hidupnya, itu yang selalu ayah koarkan saat kumpul bersama tetangga bahkan sampai ke tukang jual kue putu semasa hidup dulu. Dan itu jelas belum terwujud.
“Impian apa yang ayahanda harapkan, Pak Ustaz? Seperti yang Pak Ustaz lihat, saya hanya seorang bujang tua yang penuh kesusahan.”
Pak Ustaz hanya tertawa seraya menyentuh pundakku. Hal itu sama sekali tidak lucu bagiku.
“Kamu benar! Tapi ayahmu hanya punya impian kecil dan sederhana. Alhamdulillah kamu sudah mewujudkannya.” Mataku menyipit menanti kelanjutan ceritanya. “Ayahmu hanya bermimpi satu, suatu hari nanti saat raganya sudah kaku, kamu ada di sebelahnya untuk menyucikannya dan membantunya sampai ke kubur.”
Sontak aku terkikik mendengar pengakuan Ustaz Yahya. Ayah tidak sesederhana itu soal agamanya. Sejak meninggalnya ayah, ini adalah tawaku yang pertama.
“Ustaz, mana bisa hal sekecil itu menjadi sebuah impian. Hans anak ayah, mengurus jenazah ayah adalah suatu kewajiban bagi Hans.” Aku terkikik lagi sampai menyeka air mataku yang entah mengapa jadi berjatuhan.
“Ya, kamu benar! Itu impian kecil ayahmu. Hanya itu saja! Mimpi itu bukan tentang besar kecilnya, Hans! Melainkan seberapa besar kesungguhanmu dalam mewujudkan impian itu. Perlu kamu ketahui bahwa impian besar tanpa aksi besar adalah khayalan namanya.” Aku tak bisa membantah orang bijak seperti Ustaz Yahya.
“Dan satu lagi yang perlu kamu ketahui! Tidak semua ayah di bumi ini–yang ingin segala urusan jenazahnya diselesaikan oleh anaknya sendiri– bisa merasakannya, Hans! Ayahmu adalah orang yang beruntung!”
Deg! Aku tak pernah merasa sebermanfaat ini sebelumnya bagi kedua orang tuaku. Setiap kali merasa tidak adil, ayah selalu menjadi akhir dari kekesalanku. Kenapa dia begitu sederhana? Kenapa dia selalu mematriku dengan agama? Tapi, apa yang baru disampaikan oleh Ustaz Yahya barusan seperti cambuk bagiku. Perkataan yang sangat aku harapkan saat tidak waras begini. Seperti vitamin untuk kepalaku yang terlanjur lesu.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Hans! Sudah menjelang zuhur, saya harus melantunkan azan dahulu sebelum anak-anak kurcaci itu berebutan mikrofon di masjid,” ustaz Yahya mulai beranjak pergi. “Ah! Saya jadi teringat, dahulu saat kamu masih bocah, pertama kali ayahmu mendengar kumandang azanmu, dia menangis terharu sampai menjelang isya.”
“Benarkah itu, Pak Ustaz?” Kantung mataku memenuh, ada gumpalan air yang siap terjun kapan saja dari sana.
“Ya! Saya katakan pelafalanmu bagus seperti orang Arab. Karena itu ia sangat ingin kamu bisa berbahasa Arab.” Kini air mataku benar-benar jatuh. Wajah Ayah yang tersenyum berbayang di bola mataku.
“Mau adzan di masjid, Hans? Sudah lama kami tidak mendengar kumandang adzanmu yang indah.”
Ah! Aku hampir saja terharu dengan semua bualan Ustaz Yahya barusan. Tapi seolah aku tersadar, kalau aku baru saja dihipnotis olehnya. Aku tidak yakin hanya akan mengumandangkan azan satu kali saja. Kurasa, inti dari semua perbincangan panjang ini adalah ia merekrutku secara diam-diam untuk dijadikan Nazir Masjid Nurul Huda.
“Ustaz, apa ini juga bagian dari keinginan ayahku?”
“Ya, tentu saja!”
*****
Empat puluh hari setelah kepergian ayah, sedihku belum juga sembuh. Kepadanya rinduku kian hari kian bertambah. Aku rindu cerewetnya, rindu nasihatnya, dan rindu akan contoh sikaf baik ayah.
Karena ayah, sekarang aku ada di sini. Selain menjadi pengajar, kini aku menjadi nazir masjid kami. Rutinitasku sehari-hari adalah mengumandangkan adzan, dan terkadang mencabuti rumput liar di sekitaran sini. Sering aku merasa lelah dan ingin menyudahi semua ini. Namun aku masih bertahan karena kilasan wajah ayah yang tersenyum di dalam bola mataku. Kuharap dengan cara ini ayah mau memaafkan pembangkanganku.
“Melamun lagi, Hans?” tubuhku terangkat saat mendengar suara Pak Ustaz. Entah nasihat apa lagi yang akan ia sampaikan padaku kali ini.
“Kenalkan, Hans! Ini Pak Ramli! Abang dari penjual kue putu yang sering berjualan di kampung kita ini.”
Kulirik pria tua yang kini duduk di hadapanku tepat, sekaligus menyalami tangannya yang kurus dan keriput. Astaga! Aku baru ingat kalau pria tua ini adalah pria berjas hitam yang dulu slalu mengekoriku bahkan sampai ke pemakaman ayah.
“Nak Hans inilah yang jago dan fasih berbahasa Arab, Pak Ramli!” terang ustaz Yahya. Aku hanya menyengir tanda merendah meski sebenarnya aku bangga tapi tak kubuat kentara. Entah apa lagi kali ini? Apa ayah sudah membualkan tentangku di hadapannya dan sudah memberitahu impian berhajinya sampai ke seluruh keluarga besar penjual putu?
Ya! Jika ditanya apa yang aku bisa, maka berbahasa Arablah jawabannya. Tidak ada yang lain lagi yang aku kuaai di luar bahasa surga.
“Syukurlah!” Pak Ramli melipat kakinya seakan mulai membicarakan hal yang serius, membuat kerongkonganku mendadak tandus. Seberapa besar ayah meninggalkan hutang pada bapak yang terlihat kaya ini
“Langsung saja, Pak Hans! Kebetulan saya ini memiliki travel untuk wisata Islami. Jadi begini, seharusnya sayalah yang akan mendampingi calon jama’ah haji untuk berangkat ke Makkah. Namun karena alasan kesehatan, saya tidak bisa ikut mendampingi. Apakah Pak Hans mau menggantikan saya sebagai pendamping jama’ah yang akan berhaji?”
Jantungku seolah berhenti, apakah ini sebuah mimpi? Masak iya impian ayah terkabul semudah ini? Aku mencubit pipi lalu ke lengan kiri, rupanya terasa nyeri. Hal ini nyata, bukan mimpi. Ustaz dan Pak Ramli sampai menertawai.
“Bagaimana, Hans! Cepat dijawab sebelum Pak Ramli mencari kandidat lain untuk diberangkatkan ke Mekah!”
Aku menenggak saliva berat saat Ustaz Yahya bertanya kepadaku. “Pak Ustaz! Pertanyaan ini tidak berhak untuk aku beri jawaban. Ini adalah perintah Tuhan, bukan sebuah pilihan.”
“Maa syaa Allah walhamdulillah!” jawab keduanya serempak.
Aku tak percaya hidupku jadi jauh berubah begini. Aku yang semula hanya seorang guru honorer dan nazir masjid, bisa menginjakkan kaki di tanah suci. Bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Pertemuanku pada Pak Ramli kurasa bukanlah sebuah ketidaksengajaan. Melainkan sudah menjadi sebuah skenario terindah dari Tuhan. Aku menjadi pegawai Pak Ramli selama setahun. Setelahnya, kalian tak akan menyangka aku ada di mana?
Ya, kini aku bertempat tinggal di Riyadh. Pertemuanku dengan Pak Ramli membawaku bertemu dengan salah seorang staf pekerja di Kedutaan Besar di Riyadh. Aku pun direkrut dan sekarang bekerja di sini.
Aku percaya semua ini berasal dari impian sederhana ayahku. Aku bisa sampai di sini karena dibawa oleh doanya yang tiada pernah berhenti. Luar biasa, kita tidak akan pernah tahu rencana Tuhan yang sesungguhnya. Selagi kita berusaha, aku percaya semesta dan seluruh malaikat akan bekerja sama untuk mewujudkan segala impian kita.
Benar kata mereka, perkataan baik orang tua tidak baik dilalaikan.
*****
MasyaaAllaah…keren banget…benar-benar menginspirasi
Bagus karya. Sukses selalu