Tubuh Omar bergetar, bergerak sendiri sejauh beberapa sentimeter. Dia memandang sekeliling. Didapatinya ibu, kakak, dan adiknya juga bergoyang-goyang. Seisi rumah berguncang seperti terkena gempa bumi. Air muka ibu Omar berubah panik. Dia mengajak ketiga anaknya bergegas keluar rumah. Kakak Omar membuka pintu dan mendahului. Ibu Omar menyusul sembari menggandeng Omar dan adiknya.
Dua ledakan besar tertangkap gendang telinga. Bangunan kafe, restoran, toko, dan rumah di sekitar hangus dan runtuh. Jalanan berlubang. Darah berceceran. Orang-orang berlarian di jalan. Beberapa dari mereka terluka dan berlumuran darah di beberapa bagian tubuh. Isak tangis saling bersahutan.
Omar menatap ke belakang. Didapati rumahnya yang sudah menjadi puing-puing bangunan. Detak jantung Omar berpacu kencang. Karena tidak memperhatikan jalanan, kaki Omar tersandung. Pegangan tangannya pada sang ibu terlepas. Satu dentuman besar kembali menggelegar. Dinding toko yang ambruk menimpa tubuh kecil Omar.
Sudah ratusan serangan ke wilayah tersebut dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Dimas Satya yang hendak meliput serangan yang kembali dilakukan Israel ke Distrik Rimal, Gaza terhenti langkahnya. Retinanya menangkap sosok Omar dalam posisi telungkup di jalan. Ibu Omar berusaha menyelamatkan tubuh anak laki-lakinya dari reruntuhan. Darah segar mengalir dari pelipis Omar.
Dimas bergegas memasukkan kamera dan catatannya ke dalam tas selempang. Pemuda itu membantu membopong Omar dan membawanya ke tempat pengobatan terdekat. Semoga saja bangunan rumah sakit tidak berubah menjadi puing-puing bata.
***
Rentetan suara tembakan tertangkap gendang telinga. Namun, seorang anak laki-laki bertubuh kecil masih asyik menekuri lembar demi lembar mushaf yang berada di tangannya. Matanya setengah terpejam, khusyuk murajaah hafalan.
“Omar, cepat pergi dari sini!” Dimas menarik lengan kiri Omar, setengah menyeretnya pergi.
Omar mengalihkan pandangannya sekilas. Menatap Dimas dan menggeleng.
Dimas mengernyit. Kedua alisnya saling berkait. “Di sini tidak aman, Omar. Ayolah!”
mar mematung. Dia malah membalik lembar mushafnya. “Qālat innī a’ụżu bir-raḥmāni mingka ing kunta taqiyyā.”
Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari bibir Omar seolah menghipnotis Dimas. Niatnya untuk mengajak bocah kecil berkepala plontos itu pergi ke tempat yang lebih aman buyar. Suara merdu Omar membuat Dimas terpaku di tempat. Ada getar damai yang menyeruak ke dalam relung hatinya. Rasa syahdu memeluknya erat.
Dimas mendongakkan kepala sembari mengerjapkan mata. Mencegah kristal bening yang hendak pecah di matanya. Ah, entah sudah berapa lama dia tidak membaca Al-Qur’an. Berduaan dengan-Nya untuk menekuri ayat-ayat cinta-Nya. Terakhir kali mungkin dulu saat dia masih menjadi murid di TPQ. Mushaf yang diletakkan di rak buku rumahnya pasti sudah dihinggapi debu setebal beberapa senti.
Desingan peluru yang bertebaran di atas kepala menyadarkan Dimas. Tanpa pikir panjang, Dimas membopong tubuh Omar. Setengah berlari, Dimas membawa bocah enam tahun itu ke tempat yang lebih aman. Omar menutup mushafnya tepat saat keduanya sudah berada di kamp tempat para wartawan berada. Sementara Dimas mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
“Omar, apa kau baik-baik saja?” Dimas memeriksa sekujur tubuh Omar, memastikan anak itu tidak terluka.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kenapa kau tidak lari tadi? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk berlindung?” Dimas melipat kedua lengan di depan dada dan memasang wajah galak.
“Aku sedang berlindung tadi,” jawab Omar tenang.
“Apa maksudmu? Kau tidak lihat peluru-peluru beterbangan di atas kepalamu dan kau dengan tenangnya membaca Al-Qur’an.”
“Aku tengah meminta pertolongan pada Allah. Bukankah Dia sebaik-baik pelindung?”
“Ya, aku tahu. Tapi, maksudku kau bisa lari dulu atau sembunyi di tempat yang aman atau apalah.”
“Di sini, kami sudah terbiasa mendengar desingan peluru.”
Dimas geleng-geleng kepala. Dia benar-benar tak memahami pemikiran bocah itu. Omar pernah bercerita bahwa ayahnya syahid tertembus peluru saat terjadi konfrontasi dengan pasukan Israel. Dia juga bercita-cita syahid.
“Omong-omong, suaramu merdu sekali, Omar. Aku sampai merinding dibuatnya.”
“Pekan depan Insya Allah ada acara pemuliaan (takrim) bagi penghafal Al-Qur’an. Jadi, aku ingin mempersiapkan diri dengan baik,” cerita Omar sembari menampakkan barisan giginya yang bersih. Wajahnya tampak semringah.
“Umurmu kan baru 6 tahun, Omar. Dan kau sudah hafal 30 juz!” seru Dimas takjub. Dia jadi merasa malu karena hafal Juz Amma pun tidak.
“Masya Allah, alhamdulillah. Semua karena Allah yang memudahkan,” sahut Omar bijak.
Dari awal, Dimas sudah tertarik dengan bocah berkepala plontos itu. Seolah ada magnet yang menariknya untuk mengenal Omar lebih dekat. Benar saja, ada sesuatu yang istimewa pada bocah itu. Memang semua anak Palestina mengagumkan. Bisa istikamah dan fokus menghafal Al-Qur’an di tengah kondisi yang berkecamuk memanas di negaranya. Daya ingat mereka pun luar biasa. Terlebih Omar. Dia menjadi hafiz termuda di usianya yang baru 6 tahun. Dimas jadi terpikir untuk meliput tentang hafalan Al-Qur’an Omar.
“Bagaimana kalau kau membaca beberapa ayat Al-Qur’an untuk kuliput? Kau luar biasa, Omar. Aku ingin menulis tentang dirimu di berita.”
Omar menggeleng tak setuju. “Hafalan Al-Qur’an ini hanya untuk Allah, abi, dan umi. Aku berharap menjadi hamba yang kelak diberi keistimewaan untuk bisa memandang-Nya langsung. Aku juga ingin berbakti pada kedua orang tuaku. Semoga aku bisa mempersembahkan mahkota untuk abi dan umi kelak.”
Masya Allah …. Dimas tersentak mendengar jawaban Omar. Anak sekecil itu, yang di Indonesia mungkin masih asyik bermain-main di TK. Tapi, Omar berbeda. Pola pikirnya sungguh lebih dewasa dari usianya. Dimas sendiri yang sudah berusia kepala dua tak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, hidup cukup diisi dengan berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama. Berbakti pada orang tua adalah dengan cara membuat keduanya bangga atas pencapaian dan prestasi Dimas. Ternyata cita-citanya masih sebatas duniawi.
“Omar… Omar….” Seorang wanita Palestina berhijab hitam memasuki kamp. Kepalanya celingukan menyisir sekitar.
“Omar di sini.” Dimas melambaikan tangan.
Ibu Omar menghampiri anaknya. “Kau ke mana saja? Ibu mencarimu ke mana-mana.”
“Aku tidak ke mana-mana. Dia yang membawaku pergi.” Omar menunjuk Dimas.
Dimas terbelalak dan menjelaskan kondisi yang beberapa menit lalu mereka alami.
“Jazakallahu khair,” ucap Ibu Omar pada Dimas. “Omar memang sering lupa waktu dan keadaan kalau sudah berduaan dengan Al-Qur’an.”
Masya Allah …. Dimas kembali merasa tertampar. Dia sendiri sering lupa waktu kalau sudah memegang gadget. Sungguh berbeda jauh dengan Omar. Sedikit-sedikit Dimas bisa memahami rasa cinta Omar pada Allah dilihat dari interaksinya dengan Al-Qur’an. Alangkah mengagumkan, di hati anak sekecil itu tertanam kecintaan yang begitu dalam kepada Rabbnya.
“Bagaimana bisa Omar menghafal Al-Qur’an di usianya yang baru 6 tahun?” Dimas tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Sejak kecil, Omar senang mendengar bacaan Al-Qur’an dari para ulama besar, seperti Syekh Minsyawi, Thablawi, dan Abd Al-Basith. Saat umur 4 tahun, dia sudah menghafal surat Al-Baqarah. Dengan menciptakan lingkungan bernuansa Islami telah banyak membantu Omar meraih pencapaian itu. Kuncinya ada pada pembiasaan. Kami memang mengawalnya untuk menambah hafalan Al-Qur’an dan murajaah di waktu-waktu tertentu. Tapi Omar juga masih bisa bermain dengan teman-temannya.”
Lagi-lagi Dimas hanya bisa berucap Masya Allah.
***
Serpihan bom yang menembus kepala Omar membuatnya terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang operasi. Dimas menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Detik-detik berlalu lebih lambat baginya. Beberapa jam telah lewat tapi dokter belum juga keluar ruangan. Ketika waktu shalat isya tiba, Dimas memutuskan menunggu di musala sembari melantunkan munajat panjang untuk kesembuhan dan keselamatan Omar.
Selesai berdoa, tangan kanan Dimas mengambil mushaf Al-Qur’an yang tergeletak di sebuah bangku panjang. Jemarinya membuka lembaran paling belakang. Dengan terbata-bata, Dimas mulai membaca Juz Amma. Dia berharap bacaan Al-Qur’an itu bisa menjadi hadiah untuk kesembuhan Omar. Lima belas menit berlalu. Dimas menutup mushaf di tangannya. Ada seberkas cahaya hangat yang seakan menyiram tubuhnya. Kekhawatirannya saat melihat kondisi Omar yang berlumuran darah perlahan sirna. Dimas hanya bisa berharap yang terbaik untuk bocah kecil itu.
Saat kembali ke depan ruang operasi, seorang dokter laki-laki tengah bercakap-cakap dengan ibu Omar. Wanita itu dipersilakan memasuki ruangan di sebelah ruang operasi. Rupanya Omar telah dipindahkan. Namun, dari jauh, raut wajah ibu Omar tampak muram. Dimas mengekor masuk ke dalam ruangan yang dituju ibu Omar.
Sebuah kain putih dengan bercak darah di kepala membungkus tubuh mungil itu. Ketika disingkap, terlihat wajah Omar yang begitu tenang seperti tengah tertidur. Ibu Omar mengecup kening hafiz kecilnya. Kedua tangannya terangkat mendoakan Omar. Rintik bening meluncur mulus di pipi wanita itu.
Dimas tak percaya dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bocah berkepala plontos itu tampak bahagia menemui cintanya. Bekalnya bahkan lebih dari cukup untuk anak yang belum balig dan tak punya dosa seperti Omar. Dimas teringat wisuda tahfiz Omar seminggu lagi. Harusnya Omar ada di sana, menjadi hafiz termuda. Namun, Allah berkehendak lain. Hujan sempurna turun dari pelupuk mata Dimas. []
PROFIL PENULIS
Mega Anindyawati, editor lepas dan freelance content writer. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media cetak dan online. Buku-bukunya antara lain Sabar Menanti Buah Hati (Pro-U Media, 2019), Sepotong Kenangan dan Senja yang Memakannya (Jejak Publisher, 2021), Unconditional Marriage (JWriting Soul Publishing, 2022), Miracles of Love (Harfa Creative, 2022), Manusia Setengah Udang (Jejak Publisher, 2022), dan puluhan antologi. Penulis dapat dihubungi via facebook Mega Anindyawati dan IG @mega.anindyawati.
MasyaAllah.. Semoga semakin banyak cerita epik seperti ini.. Menghangatkan hati🤗
insyaAllah siap Sobat Filmi