Gadis dalam Kereta

0
86

Kamu selalu mendapati gadis itu di gerbong yang sama di antara jejalan penumpang lainnya. Setiap pagi dan petang kamu selalu melihat kehadirannya di sana. Tepat di tepi pintu yang secara otomatis membuka dan menutup sendiri setiap kali singgah di stasiun. Dan sudah barang tentu–baik kamu ataupun dia–tak memiliki keberuntungan untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Stasiun keberangkatanmu tepat berada di tengah-tengah peta jalur kereta sehingga penumpang sudah penuh ketika kereta itu singgah di stasiun terdekat dari tempatmu menetap.

Aku tahu, jilbab lebar dan kacamata bulatnya selalu menarik perhatianmu. Terkadang tak sengaja kamu bersitatap dengannya, sehingga kamu berpikir bahwa mata indah itu begitu akrab dalam pandanganmu. Hanya saja gadis itu selalu memalingkan muka.

Terkadang kau disergap rasa ingin tahu, di mana kiranya dia bekerja? Tidaklah mungkin gadis itu bekerja di bilangan Sudirman dengan jilbab lebar dan gamis kedodoran yang hampir saja menyapu lantai kereta. Lagi pula, kamu juga tidak tahu di stasiun yang mana gadis itu turun karena kau yang lebih dulu turun dari kereta andalanmu itu.

Kamu sangat ingin mengenalnya dan kamu tidak memungkiri ada ketertarikan yang tak bisa dibantah. Hanya saja kamu tidak memiliki cukup keberanian untuk sekadar menyapa, berkenalan atau lebih dari itu. Kamu diam-diam selalu melihat jemarinya ketika gadis itu mengangkat lengannya untuk berpegangan. Dan kamu tidak menemukan cincin kawin di jari manisnya. Saat itu kamu lega. Hanya saja kamu hanya diam. Bahkan ketika berbulan-bulan lamanya kamu sering melihatnya di jam pergi dan pulang kerja.

Dalam lamunanmu, kamu berandai-andai dengan khayalan yang tinggi. Kamu membayangkan bahwa kamu mempunyai keberanian untuk menyapa dan berbasa-basi. Ah, itu terkesan norak dan murahan, begitulah pikirmu. Harus ada cara supaya kamu dan dia bisa saling mengenal. Tapi kamu kehabisan akal ketika memikirkannya.

Hingga pada suatu hari, entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja ide yang kau anggap jitu hinggap di kepalamu.

‘Kau harus berdiri di samping gadis itu. Kemudian jatuhkan saja bolpoin atau notes kecil. Pastikan bahwa gadis itu menyadari ada sesuatu yang jatuh dari ransel atau sakumu. Pada saat itu kamu harus berlagak tak tahu apa-apa. Kamu yakin dia gadis yang baik dan sudah barang tentu dia akan memberitahumu bahwa bolpoin atau notes itu jatuh dari tasmu.’

Lalu bagaimana setelah itu? Tanyamu pada akal bulusmu.

‘Gampang saja. Kau ucapkan terimakasih sebagaimana umumnya orang yang tahu rasa syukur terhadap pertolongan orang lain. Setelah itu, kau secara refleks bisa menyebutkan namamu dan menanyakan namanya. Itu saja cukup. Setidaknya, ketika kalian sudah saling mengenal, kau tak lagi memiliki beban setiap kali menyapa dia ketika bertemu di gerbong kereta. Pada momen itu kamu tak perlu takut dianggap sok akrab atau norak.’

Keesokannya, kau sengaja membawa bolpoin di sakumu. Kau berusaha berdiri di samping gadis itu meski kau harus mendapatkan makian dari seorang pria paruh baya karena sepatunya yang mengkilap terinjak. ‘Hati-hati, tolol!’ bentaknya dengan wajah murka. ‘Maaf,’ katamu dengan jantung berdebar. Pertama, jantungmu berdebar karena bentakan orang asing dan rasa bersalah. Kedua, jantungmu berdebar karena ini menyangkut usaha mengenal gadis kau kagumi itu.

Pada akhirnya kau bisa berdiri di samping gadis itu. Seperti biasa, dia terlalu asyik dengan ponselnya. Ketika kau mencuri pandang pada layar ponsel itu, kau menemukan aplikasi Alquran yang terpampang di sana. Selepas itu kau memandang wajahnya dari samping dan kau temukan bibir merah delima itu bergumam-gumam. Masya Allah, bisikmu takjub. Dia tilawah di mana pun dia sempat. Benar-benar gadis idaman. Tidak salah jika kau mengaguminya dan berharap banyak.

Jantungmu berdebar lagi. Kemudian kau mulai menjatuhkan bolpoin yang kau genggam. Benda kecil itu cukup mudah tergelincir karena tanganmu berkeringat dingin. Kau menunggu beberapa detik. Setelah itu menunggu beberapa menit. Tapi gadis itu bergeming. Ah! Dia tidak menyadarinya! Rutukmu dalam hati.

Aku tahu kau tak patah arang untuk usaha mendapatkan atensi gadis salihah itu. Keesokan harinya, kau jatuhkan benda yang lebih besar. Kali ini kau jatuhkan novel ‘Hotel Prodeo’ karangan Remy Sylado. Sengaja kau memilih buku itu karena memang itulah buku paling tebal yang kau punya. Jumlahnya seribu halaman lebih. Kau berharap bunyi debam benda berat itu mampu membuat gadis itu menoleh.

Aku tahu kamu perlu diapresiasi untuk usaha kali kedua ini. Karena usahamu ini memang berhasil menarik perhatian. Gadis itu menoleh ke sumber suara jatuh di sampingnya. Tapi gadis itu kalah cepat oleh seorang pria berambut cepak dan berkaus oblong yang dengan segera membungkuk, meraih ‘Hotel Prodeo’ itu dan menyerahkannya padamu. “Bukunya jatuh mas,” ujarnya sembari tersenyum lebar.

“Terimakasih,” jawabmu dengan sedikit tekanan. Agak sebal juga karena rencanamu tak sesuai ekspektasi.

Kau bisa melihat bahwa gadis itu sempat menoleh sebentar dan kembali asyik dengan gawainya. Buku jatuh itu tak lebih seperti peristiwa kecil remeh-temeh layaknya melihat seekor lalat nangkring di lutut penumpang lain.

Pada dasarnya, kamu menganggap dirimu naif dan bodoh dengan sifat introvertmu itu. Kalau mau, kau bisa saja to the point berbasa-basi dengan gadis itu. Kamu bisa saja memulainya dengan sapaan seperti ini;

‘Assalamualaikum. Apa kabar. Saya sudah terlalu sering melihatmu di gerbong yang sama. Iya, kita sering satu gerbong ya.’

Tapi kamu cepat menggeleng. Membayangkannya saja kamu merasa malu setengah mati saking noraknya.

Yang bisa kamu lakukan hanya diam dengan tersiksa. Sekali lagi, sembari mengkhayalkan apa pun yang selalu hinggap di benakmu. Kau bayangkan kau bisa berkenalan, kemudian gayung tersambut dan singkat carita kau dan dia saling jatuh cinta dan menikah. Kelak, pada anak-anakmu yang terlahir dari rahim gadis itu, kau akan bercerita tentang pertemuanmu dengan ibu mereka.

‘Bagaimana cara ayah dan ibu berkenalan satu sama lain?’ ujar salah satu anakmu.

Kamu tersenyum dan menjawab, ‘Ibu dan ayah tak sengaja berkenalan di gerbong kereta Bogor-Jakarta, nak. Bla…bla…bla…’

Berbulan-bulan kamu hanya memilih diam dan tak melakukan hal apa pun selain membiarkan kepalamu berisik.

Hingga pada suatu hari kamu tidak menemukannya. Empat hari gadis itu menghilang. Dia tak muncul di pintu gerbong kereta di stasiun itu. Stasiun di mana dia selalu muncul. Kau pun bertanya-tanya di dalam hati. Apakah dia sakit? Atau dia resign atau dimutasi?

Di hari kelima, dia kembali muncul. Kau sedikit lega sekaligus penasaran kenapa gadis itu absen selama empat hari.

Di hari kelima itu gadis itu datang dengan mengepit novel ‘Gadis Kretek.’ Lagi-lagi ide itu muncul di benakmu. Kamu ingat betul bahwa kamu pernah membaca novel itu. Jadi ini pertanda baik untuk memulai sebuah percakapan.

Kamu terbatuk. Mencoba membersihkan tenggorokanmu yang tiba-tiba saja terasa gatal.

‘Ehm, novel ini bagus.’

Gadis itu masih merespon. Tampaknya dia tidak sadar bahwa kamu bicara padanya.

‘Mbak baca ‘Gadis Kretek’ ya. Itu bagus ceritanya.”

Pada kalimat kedua itulah, si gadis menoleh. ‘Iya. Mas sudah baca juga?’

“Sudah,” jawabmu pendek.

“Gimana, Mas. Bagus tidak ceritanya?”

“Bagus.”

“Oh, cerita ini settingnya era pasca kemerdekaan, kan?”

“Iya.”

Dia dan kamu sama-sama diam. Hanya sebatas itu. Kemudian kamu mencoba memutar otak untuk kembali bersuara.

“Oh iya, tumben empat hari ini kamu tidak kelihatan. Saya pikir kamu sakit atau pindah kerja.”

Gadis itu mengerutkan kening. Wajahmu merah padam. Sudah kau duga, gadis itu pasti berpikir kamu diam-diam selalu mengamatinya selama ini.

“I-iya. Saya ambil cuti kemarin.”

“Cuti?”

“Iya. Saya baru menikah empat hari yang lalu. Ambil cuti menikah. Dan novel ini hadiah dari suami saya,” pungkasnya sembari menunjuk novel Gadis Kretek itu.

Detik itu kamu menyadari ada cincin yang tersemat di jari manisnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here