Kenalkan, namaku Mimin. Aku mempunyai tiga saudara. Adikku bernama Ijat, Maman, dan si bungsu bernama Memen. Kalau disingkat, nama kami jadi salah satu merek kartu prabayar terkenal, IM3. Entah perusahaan itu yang terinspirasi dari anak-anak emak atau emak yang terinspirasi dari perusahaan itu, tak pernah kutanyakan hingga kini.
Kok, nama Ijat beda sendiri? Jangan-jangan dia anak tiri. Beberapa temanku memang pernah menanyakan itu. Nama Ijat sebenarnya Momon. Mak dan bapak sebenarnya punya alasan memberikan kami nama itu. Katanya biar tidak susah memanggil kami, cukup sebut, “MinManMenMon!” jadi datang semuanya. Ide bagus juga.
Lalu kenapa Momon berubah jadi Ijat? Ceritanya begini. Ketika adik laki-lakiku lahir, mak sangat bahagia. Tetapi sayang, sejak usia bayi, adik laki-lakiku yang bernama Momon selalu sakit-sakitan. Waktu lahir langsung masuk inkubator, kata dokter karena kuning. Padahal pasti keren juga jika punya adik berwarna kuning. Sempat kudoain biar adikku yang berikutnya berwarna hijau atau biru. Tapi tidak terkabul, Maman dan Memen berkulit persis sama denganku. Impianku punya keluarga seperti pelangi tak terwujud.
Momon tumbuh seperti bayi normal lainnya. Bedanya, ia sering sakit. Satu minggu ia sehat, satu bulan berikutnya jatuh sakit. Untunglah setahun berikutnya tidak meninggal. Banyak dokter sudah didatangi, mulai dari dokter kandungan, dokter bedah, dokter spesialis kelamin, tapi sakit Momon tak sembuh juga. Aneka obat juga sudah diminum oleh Momon, mulai obat cacing, obat panu yang oles dan juga tablet, hingga obat kumur pewangi mulut, tetapi sakitnya Momon tidak sembuh-sembuh.
Akhirnya atas saran tetangga, mak dan bapak mencoba menggunakan pengobatan alternatif. Namanya memang keren, tapi aku lebih senang menyebutnya dukun. Masa balita Momon dihabiskan dengan berobat dari satu dukun ke dukun lain. Hingga saat berobat pada dukun terakhir, nama adikku berganti menjadi Mustajab, atau biasa dipanggil Ijat. Kata sang dukun, nama Momon nggak cocok dengan adikku. Apalagi sang dukun juga memelihara monyet yang juga dipanggil Momon. Pernah kutanyakan pada sang dukun, apakah monyetnya punya saudara bernama Mimin? Sang dukun hanya menggeleng-geleng bingung.
***
Ijat ini sangat istimewa. Ia sangat suka dengan kuburan. Aku sih tidak heran. Lebih dari lima kali gonta-ganti kontrakan sampai akhirnya punya rumah sendiri, rumah kami selalu berada tak jauh dari kuburan. Ijat yang rambutnya keriting, berkulit sawo matang dan berbadan kurus selalu menjadikan kuburan tempat bermain bahkan jadi markasnya. Mungkin karena dari kecil sudah berteman dengan dukun kali ya?
Hari itu, ada orang yang curi jambu depan rumah kami. Anak-anak gang rumah juga. Setiap mereka ketahuan, maka agar tidak dicari mereka larinya pasti ke kuburan. Maman dan Memen sangat suka jambu di depan rumah kami. Ijat yang sangat sayang pada kedua adiknya itu, tidak rela jambunya diambil tanpa izin. Bersembunyilah ia di balik-balik batu nisan, untuk mengerjai anak-anak pencuri jambu itu.
“Kamu yang pakai baju biru,” katanya menirukan suara seperti kakek-kakek. “Jangan duduki batu nisanku, nanti kamu kentut, bau.”
“Siapa yang bicara?” kata anak berbaju biru terlihat pucat.
“Iya saya, nisan yang kamu duduki. Ganggu saya tidur saja, apalagi cium kentutmu,” jawabnya.
“Hhhantuuu!!!” teriak mereka lari terbirit-birit karena takut. Jambu yang tadi mereka curi, dikumpulkan Ijat dan dibawa pulang. Lumayan nggak perlu capek lagi ambilnya.
Ijat memang suka menakut-nakuti anak komplek yang suka nakal.
Suatu ketika, remaja-remaja komplek main-main gitar depan gang. Sambil cekakak-cekikik tidak tahu jadwal, siang ataupun malam.
“Jreng…jreng…” suara ribut mereka sudah mulai.
“Selamat malam…duhai kekasih…” dangdutan koplo mulai dimainkan padahal orang lagi dengar ceramah di mesjid. Ijat pun beraksi.
“Malam….malam…aku sendiri….” Teriaknya dengan suara cempreng dari dalam areal pekuburan yang ada di samping masjid, menyambut nyanyian para remaja itu.
“Lho, bukannya tadi kita nyanyi dangdut, kok nyambungnya lain. Siapa yang barusan nyanyi?” tanya pemuda baju kotak yang pecinya miring sementara sarung dijadikannya selempang. Temannya yang metik gitar jadi berhenti.
“Coba kita nyanyi lagi.” Usul yang pakai celana koyak di lututnya. Lalu mereka kembali membawakan lagu tadi.
“Malam…. malam… aku…. Sendiri! Tanpa dirimu lagi… hihihi….” Ijat bernyanyi dengan semangat di balik pagar pembatas kuburan.
“Kabuuurrr!!!” teriak mereka serentak, salah seorang ada yang terinjak sarungnya dan terjatuh. Gigi depannya lepas satu. Saat keesokan harinya ditanya Ijat, ia menjawab semalam melawan maling pas ngeronda dan giginya patah.
“Oh, kirain karena lari terbirit-terbirit dan sarungnya terinjak Bimo, terus jatuh,” jawab Ijat.
“Eh, kamu tahu dari mana?” tanyanya pada Ijat.
“Bimo yang cerita.” Jawab Ijat asal. Sejak kejadian itu, mereka takut duduk di depan gang yang berdekatan dengan masjid.
***
Bagi Ijat, tinggal dekat komplek pekuburan ini sangat menyenangkan. Apalagi kalau pas jadwal musim ziarah, kapan lagi kalau bukan mau masuk bulan Ramadhan dan mau lebaran. Ijat ambil kesempatan membersihkan kuburan dan diupah seharga lima ribu perak perkuburnya. Kalau dalam satu hari ada sepuluh makam yang bisa dibersihkan, Ijat dapat uang lima puluh ribu. Lumayan.
Saudara laki-laki mak yang tinggal di Sibolga yang biasa kami panggil Uwak, juga sangat sayang pada Ijat. Setiap mau lebaran, Uwak pasti telepon Ijat dan tanyakan kabarnya kalau mereka tidak pulang kampung.
“Ijat mana?” tanya Uwak dari seberang sana, pada suatu ketika.
“Di kuburan, Wak.” jawab Maman yang hari itu tinggal di rumah.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun, kapan?” tanya Uwak suaranya bergetar.
“Dari tadi pagi, Wak.” jawab Maman tidak mengerti kenapa suara Uwaknya terdengar sangat terkejut. Maman baru berusia 7 tahun kala itu.
“Mana Mak, kalian?” tanya Uwak semakin gusar.
“Lagi ke warung, Uwak.” Kemudian sebelum Maman tutup teleponnya, Mak sudah di sampingnya.
“Siapa, Man?” tanya Mak yang lagi gendong Memen yang berusia tiga tahun.
“Uwak, Mak. Tadi bilang Innalillahi.” jawab Maman.
“Siapa yang meninggal? Sini Mak bicara sama Uwak,” minta Mak pada Maman. “Hallo, siapa yang meninggal Bang?” tanya Mak juga gusar.
“Tapi kata si Maman tadi, Ijat udah di kubur sejak pagi. Kok malah bertanya padaku pula. Kenapa kau tidak kabari kalau Ijat meninggal….. ”
“Apa!!!” Mak langsung pingsan dan ponsel terlepas dari tangannya.
Maman teriak-teriak memanggil tetangga. Tidak berapa lama orang pun berkumpul, tetangga dan bapak pun risau.
“Michelle, ada apa?” tanya bapak yang duduk di sebelah Mak, begitu Mak membuka matanya.
“Bang Radit, Mustajab…. Mustajab…” Mak tidak sempat melanjutkan kata-katanya saat melihat Ijat ada di samping bapak. Mak kembali pingsan. Maman kemudian menceritakan apa yang terjadi.
***