Sambara dan Ikan Bawal

0
106

Di suatu siang yang terik, duduklah seorang anak laki-laki di dalam bayang-bayang pohon kecapi. Jemarinya menggenggam kertas dan sebatang pena. Di depannya mengalir air sungai yang jernih. Sesekali ikan menyembul, tenggelam, melompat dan terjun lagi ke dalam.

Orang-orang menyebut sungai itu Dermawan, dan memanggil si bocah dengan nama Sambara. Semalam, anak itu bermimpi didatangi seekor ikan bawal. Tubuhnya sebesar pohon kecapi itu. Matanya menumpahkan air mata keruh yang beraroma sampah.

“Tolong! Manusia bertudung hitam itu mau membunuhku!” teriak si Ikan.
“Siapa kamu? Dan siapa yang akan membunuhmu?” tanya Sambara kebingungan.
“Tak penting siapa diriku bagimu. Tapi kau harus membantuku.”
“Apa yang bisa kulakukan?”
“Gambarlah aku! Berikan pada orang bertudung hitam itu!” pinta si Ikan. Di kulitnya yang abu-abu terpancar api berkobaran. Bola matanya terus mengalirkan cairan hitam nan kental.

“Namamu Sambara, kan? Kau adalah sang pembela kebenaran!” celetuk si Ikan.
Sambara tersentak. Kemudian ia mengamati keadaan di sekitar: hanya tempat yang gelap. Bau busuk Ikan Bawal pun terus menyiksa rongga hidungnya.

“Orang itu juga akan menghancurkan lingkungan di desamu! Pikirkan nasib warga jika lingkungan mereka tercemar!” ujar si Ikan.
“Tapi bagaimana kalau orang itu malah membunuhku?” tanya Sambara ragu.
“Lihatlah api ini, Sambara! Gas di dalam tubuhku sangat besar. Aku yang akan memberinya pelajaran, tapi kau harus bisa menggambarku terlebih dahulu!” tukas Ikan Bawal mantap.

Sambara menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Baiklah, akan kucoba. Kau bisa dipercaya, kan?”
“Hanya kau yang bisa membantuku! Kita harus menyelamatkan desa ini, Sambara!” ucap Ikan Bawal tegas, kemudian dalam sekejap tiba-tiba lenyap dari pandangannya. Sambara menoleh ke kanan-kiri mencari sosok makhluk aneh tadi. Tapi hanya suara ikan itu yang menggema.

“Ingat Sambara! Kau harus menggambar wajahku dengan benar!” seru Ikan Bawal untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya anak itu kembali ke dunia nyatanya lagi.

Dan di sanalah Sambara sekarang—di tepi Sungai Dermawan—sedang mengingat-ingat wujud si Ikan. Ia merasa bahwa mimpinya semalam benar-benar nyata. Ia pun memenuhi permintaan si Ikan untuk menggambarnya.

Pertama kali ia menggambar lingkaran sebagai kepala. Kemudian, ia membuat badan dengan ujung yang kerucut, dan di ujung tersebut ditambahkan ekor yang lancip. Ia juga membuat sisik di sepanjang badan dan sirip di sebelah kanan-kiri tubuh ikan. Setelah itu Sambara menggambar insang berupa tiga garis lengkung, kemudian menambahkan mata dan lubang hidung yang cukup besar. Tapi begitu sampai di bagian mulut, ia lupa seperti apa bentuknya. Tangannya mencoba berbagai bentuk, namun belum juga berhasil.

“Bagaimana jika mimpi itu benar-benar terjadi?” Ia kesal. Ditatapnya air sungai dengan tajam. Bayangan pohon jambu, kecapi, dan bambu mengapung di sana. Kicauan burung cekakak yang hinggap di dahan pohon terdengar, kupu-kupu bersayap kuning keemasan beterbangan mengelilinginya.

Sambara melihat gemercik air yang jatuh di sudut sungai; ia pun jadi teringat saat mandi di sana bersama ketiga kawannya. Di antara bebatuan besar, beberapa ibu biasanya mencuci pakaian dan saling berbincang dengan sukacita. Kemudian ketika sore hari, ia bisa melihat pemuda-pemuda atau bapak-bapak memancing di sepanjang tepian sungai.

“Kalau tak ada ikan di sini, mungkin aku akan kekurangan gizi,” gumam Sambara.

Semenjak ayahnya meninggal tujuh tahun lalu, ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan tiga puluhan tahun itu menyulap beragam tanaman di kebunnya menjadi makanan untuk dijualnya ke pasar. Sesekali ada juga tetangga yang memesan.

Kadangkala, si Ibu membuat keripik bayam di musim penghujan. Tanaman hijau itu suka berkerumun di atas tanah berhumus di sekitar rumah. Ia juga mengolah buah dan umbi-umbian menjadi cemilan yang menggugah selera. Perempuan itu jarang mengeluh; hari-harinya diliputi senyum dan membuat Sambara tumbuh menjadi anak yang patuh.

Sambara merenungkan pengaruh sungai tersebut: betapa banyak warga desa yang menggantungkan kehidupan padanya. Namun jika sungai itu ikut tercemar, bagaimana nasib mereka nantinya?

“Sambara!” Kali ini suara ibunya memanggil dari arah rumah. Lelaki itu pun menoleh. Terlihat wajah perempuan yang membalut kepalanya dengan kerudung biru muda.
“Iya, Bu!” jawabnya dengan suara yang tak sekeras perempuan itu.
“Tolong antarkan pesanan Pak Kades!”
“Waduh! Gambaranku belum selesai,” keluhnya pelan.
“Sambara!” si Ibu berteriak lagi.

Anak itu tak pernah menolak permintaan Ibunya. Dengan terpaksa ia beranjak dari sungai lalu menghampiri perempuan itu. Sesampai di rumah, ia menyimpan gambar tadi di meja belajar. Tangannya lantas mengangkat dua kantong plastik yang berisi ikan bakar dan keripik pisang.

Sambara mengayuh sepeda dengan semangat; melintasi jembatan; menindas kerikil-kerikil; menggilas tanah berpasir dan jalan setapak yang membelah persawahan. Namun ketika tiba di hamparan luas yang hijau itu, tiba-tiba ban sepedanya bocor.

“Waduh, bagaimana ini?” Sambara menuruni sepeda, “makanan ini harus segera disajikan.”
Dipandangnya keadaan sekitar: tanpa sengaja ia menjumpai beberapa orang asing. Mereka mengelilingi sawah dengan ponsel di genggaman, dan salah satu di antaranya mengenakan tudung hitam. Sambara pun terkejut.

“Apakah orang itu yang dimaksud Ikan Bawal?” Sambara mengamati mereka. Lelaki bertudung itu tampak galak dengan kumis tebal dan pakaian serba hitam. “Oh, tidak! Sepertinya apa yang dikatakan Ikan Bawal di dalam mimpiku benar!”

Keringat Sambara mulai bercucuran, sementara rumah Pak Kades masih sangat jauh. “Jangan-jangan merekalah tamu Pak Kades. Tapi mau apa mereka ke tempat ini?” Sambara pura-pura memperbaiki sepeda, lalu mendengarkan pembicaraan mereka.

Si Tudung Hitam itu sedang menelepon seseorang. Ia menyebut kata ‘perusahaan’ dan tertawa terbahak-bahak, sementara orang lainnya tampak sedang mengukur sawah. Sambara pun mulai paham, mereka akan mendirikan perusahaan di sana.

“Lebih baik terlambat mengantar pesanan daripada terlambat menyerahkan gambar. Tapi, bagaimana dengan sepedaku?” Bocah itu berpikir keras. Wajahnya semakin basah dengan peluh. Jantungnya berdebar kencang.

Di seberang sana, ia melihat sesosok lelaki paruh baya sedang berteduh di dalam gubuk. Sambara pun berniat menitipkan sepeda kepadanya. Dan beruntunglah Sambara, karena lelaki paruh baya itu mengizinkan. Dengan gegas, Sambara langsung berlarian pulang.

Sampai di persimpangan jalan, tiba-tiba ada seorang kakek yang mengendarai sepeda motor menyapanya. Lelaki tua itu berhenti tepat di samping Sambara.

“Mau ke mana kau, Nak? Bawaanmu akan berantakan jika kau berlarian,” kata lelaki berusia tujuh puluhan itu. Sambara kaget menatap muka Si Kakek, dilihatnya sepeda motor yang juga sama tua dengan pengemudinya.
Seketika Sambara membayangkan wajah Ibunya yang murung karena masakan itu awut-awutan. Mendadak hati anak itu gusar.

“Saya mau pulang, Kek! Sepeda saya bocor dan saya titipkan ke gubuk orang.”
“Ayo kuantar! Rumahmu di tepi sungai, kan?”
“Wah, kebetulan, Kek!” kata Sambara.
“Ayo naiklah!” Sambara pun bergegas naik, ditaruhnya dua plastik itu di tengah-tengah. Namun ketika Kakek itu mau menghidupkan motor, rupanya mesin tidak bisa menyala.
“Kenapa, Kek?” tanya Sambara.
“Biasa, minta digenjot! Kau turun dulu ya?”
“Baiklah,” ucap Sambara.

Si Kakek pun juga turun. Kemudian mulutnya berkomat-kamit, dan kakinya mencoba menggenjot empedal. Dalam sekali tarikan, sepeda motor itu langsung berbunyi. Si Kakek menyapu wajah dengan kedua tangan dan Sambara memerhatikannya.

“Sekarang sudah nyala, ayo naik!” Anak itu mengikuti perintah Si Kakek. Di sepanjang jalan, Sambara bertanya-tanya tentang sosok lelaki di depannya. Di usia yang renta, Kakek itu masih berani mengendarai sepeda motor. Sambara pun melihat caping yang dipakai Si Kakek.

“Apa Kakek habis dari sawah?” tanya Sambara.
“Iya, Nak,” jawabnya, “apa lagi yang bisa kulakukan? Anak-anakku tak ada yang mau ke lumpur bersamaku. Sampai generasi ini habis, mungkin tak ada lagi yang mau jadi petani. Kau lihat kan, tadi? Ada orang asing yang akan membangun pabrik besar di tempat kita.”
Sambara terenyuh mendengar pernyataan sang kakek.

“Barangkali perasaan Si Kakek lebih kusut dibanding keriput kulitnya. Jikalau lahan pertanian benar-benar habis dan tak ada lagi yang mau bercocok tanam, bagaimana manusia bisa makan? Apa mereka mau menelan uang?” batin Sambara. Anak berumur empat belas tahun itu mencoba memikirkan masa depan.

“Kakek, apa menurutmu tanah bisa menangis?”
“Menangis? Ia bahkan bisa mengamuk! Ha ha ha!”
“Sungguh? Lalu apa yang terjadi?”
“Mungkin … mereka akan menimbun orang yang telah merusaknya. Ha ha ha!” Kakek itu terus tertawa. Giginya yang tanggal dua tampak kekuning-kuningan. Sementara bara api mulai tersulut di hati Sambara, seperti kilatan di dalam tubuh Ikan Bawal.
“Perbuatan orang-orang tadi harus dihentikan,” kata Sambara lirih.

Tak terasa mereka pun tiba di rumah Sambara. Ia mengucapkan terima kasih pada Si Kakek. Selepas Kakek itu pergi, Sambara tergopoh-gopoh masuk mengambil kertas gambarnya. Ia merasa beruntung karena Ibunya sedang tak ada—mungkin jika ada—perempuan itu akan menghujani pertanyaan kenapa pesanan belum diantarkan.

Sambara kembali berpikir keras. Tangannya gemetar, detak jantungnya terasa lebih cepat dibanding detik jarum jam. Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat mulut ikan semalam, namun yang tampak malah wajah Kakek tadi. Tepat di saat Kakek berkomat-kamit seperti mengucapkan sesuatu. Sambara berpikir lagi hingga akhirnya ia menyadari sesuatu.

“Oh, mungkinkah aku harus berdoa seperti Kakek itu? Barangkali aku perlu mencobanya,” gumam Sambara.

Anak itu kemudian meniru Kakek tadi. Bibirnya bergerak-gerak melafazkan sesuatu. Tanpa diduga, tiba-tiba bayangan huruf ‘B’ menghampiri benaknya. Ia jadi teringat jika mulut si ikan persis seperti itu. Dengan cekatan, ia menyelesaikan gambarnya, lalu bergegas mengantar pesanan.

Langit mulai gelap, angin berembus kencang: seakan-akan menerbangkan kaki Sambara untuk sampai di tujuan dengan cepat. Gayung pun bersambut, orang yang dicarinya sedang berada di depan rumah Pak Kades.

“Permisi, Tuan.” Sambara melangkah ke arah orang bertudung hitam itu.
“Siapa kau?” Si Tudung Hitam melotot, kumis tebalnya naik-turun.
“Saya sedang mencari kawan saya.”
“Kawan? Anak ingusan hanya berkawan dengan ingusan. Kau salah tempat!” gertak Si Tudung Hitam.
“Tapi, saya juga ingin mengantar pesanan Pak Kades, Tuan.” Sambara menunjukkan barang bawaannya. Orang itu terdiam. Tanpa menunggu lama, Sambara pun beraksi. Diperlihatkannya lukisan tadi tepat di depan wajah Si Tudung Hitam, “apa Tuan tadi melihat teman saya ini?”

Mendadak muka Si Tudung Hitam panas. “Apa-apaan ini! Lancang sekali kau!” Si Tudung Hitam mendorong Sambara, tubuhnya merangsek ke semak-semak bersama kertas gambarnya. “Pukul anak itu! Ia berusaha mencelakaiku!” Ketiga anak buahnya berbondong-bondong menarik tubuh Sambara.
Buuuk! Buuuk! Buuuk!

Darah segar keluar dari hidung Sambara. “Habisi ia!”
Buuuk! Buuuk! Dhuaak!
Tubuh anak itu menghantam tiang rumah. Sambara sempoyongan. Dalam setengah sadar, ia kembali mengingat Si Kakek merapalkan doa, dan Sambara pun mengikutinya. Tiba-tiba … Buuus! Kertas di tangan Sambara terbang, berputar-putar mengelilingi Si Tudung Hitam dan ketiga anak buahnya. Gambar tadi menyemburkan api yang besar dan mengepung keempat orang asing itu.

Pak Kades dan beberapa orang pun berdatangan. Mereka terheran-heran menyaksikan pemandangan di hadapan. Keempat orang tadi kebingungan. Api semakin tinggi dan siap melahap tubuh mereka.

“Tolong! Ampuni kami! Tolooong!” rintihnya, “akan kuberikan semua permintaanmu! Sekarung emas? Uang? Katakaaan!”

Sambara mengerahkan seluruh kekuatan, berdiri tegak dan berbicara lantang, “Pergi dari sini! Jangan rusak desa kami!”

Mereka tercengang. Sementara sebagai seorang pemimpin, Pak Kades hanya bergeming. Seolah memberi isyarat jika ia tak bisa berbuat apa-apa. Si Tudung Hitam pun akhirnya menyetujui permintaan Sambara.

Bagi orang bertudung itu, keselamatannya lebih penting dibanding kekayaan yang akan diraupnya. Seketika angin bergulung-gulung datang memadamkan api dan menerbangkan kertas tadi. Kertas melayang-layang di udara dan jatuh ke dalam sungai. Menyadari kekalahannya, orang asing itu pun bergegas meninggalkan desa. Mereka berjanji tak akan mengganggu warga lagi.

Dari kejauhan, sebuah cahaya bersinar dari Sungai Dermawan, merambat lurus ke atas dan menembus angkasa. Awan bergumpal-gumpal membentuk bayangan Ikan Bawal. Sambara tersenyum. Ia berterima kasih pada Si Ikan dan Sang Pencipta alam semesta. (*)


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here